PADANG, FOKUSSUMBAR,COM– Era digitalisasi terus bergerak. Melintasi ruang dan waktu. Lajunya tak dapat dihentikan. Ia seakan berlari dalam kecepatan tinggi dengan menghadirkan varian baru.
Perkembangannya menjadikan alternatif beragam kegiatan, bagi setiap orang yang dapat memanfaatkannya. Diantara varian yang dihasilkannya berkembang dalam kemasan digital yang merupakan modernisasi teknologi yang berhubungan dengan teknologi komputer dan internet.
Sejak internet masuk ke rumah, tahun 1990-an dan mudah diakses, peran digilitasi yang mengubah banyak kegiatan dari manual ke dalam bentuk digital, menghadirkan pula harapan dan tantangan tersendiri. Kini aktivitas terbaru bagi mereka yang mengelola konten digital, disebut sebagai konten kreator.
Beragam platform memberikan ruangan seluas-luasnya kepada setiap mereka yang mampu memanfaatkannya. Tak butuh biaya besar, tapi bisa dikelola dengan peralatan minimal, namun sajiannya bisa mendunia dan juga memberikan pendapatan kepada mereka yang memanfatkan tersebut.
Salah satu sisi negatif dari mudahnya orang memanfaatkan teknologi tersebut, mereka bisa menghasilkan konten apa saja dan kapan saja. Ketika tayangan itu disaksikan oleh orang yang tidak bisa memfilter, maka mereka akan menilai bahwa tayangan tersebut adalah sebuah pembenaran. Kebenarannya tidak bisa dijamin sepenuhnya.
Di sisi lain, ada pemikiran untuk memproduksi konten berbasis kearifan lokal. Hal ini ditujukan untuk menjaga jati diri di era informasi. Keinginan tersebut tidaklah berlebihan karena di tengah arus informasi global yang massif, kearifan lokal seringkali berisiko terpenggirkan, kemudian dilupakan.
Menurut Srisaparmi,ST, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, tak bisa dipungkuri, anak muda hari ini sudah sangat akrab dengan digitalisasi dan memiliki akun media sosial yang beragam. Tinggal bagaimana mereka selalu didekatkan pada norma, nilai dan kearifan lokal.
“Saatnya mereka diberi sentuhan dengan mendekatkannya kepada kearifan lokal, sehingga diharapkan mereka turut memproduksi konten-konten berbau kearifan lokal. Ketika hal tersebut dilakukan, maka dengan sendirinya akan turut menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang selama ini sudah ada,” kata Srisaparmi.
Tindaklanjutnya, butuh strategi pengembangan konten literasi yang relevan, menghadirkan kearifan lokal, sehingga tetap mendekatkan masyarakat, khususnya generasi muda kepada kondisi alamiah, berdasarkan adat budaya dan kearifan lokalnya.
Sesi ini diharapkan dapat memberikan panduan praktis tentang bagaimana memanfaatkan potensi kearifan lokal di ranah digital. Tujuan Sesi Sesi ini bertujuan untuk: Memberikan panduan praktis kepada peserta dalam mengembangkan konten literasi digital berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan minat baca dan memperkuat identitas budaya masyarakat.
Firdaus Abie, wartawan senior, pendiri Bengkel Literasi Indonesia dan juga seorang konten kreator, berbagi dengan pelajar dan mahasiswa. Ia menyigi perihal mengapa kearifan lokal penting dalam literasi, menjabarkan konten yang dekat dengan kehidupan masyarakat dan lebih mudah diterima, kiat pelestarian nilai-nilai budaya melalui platform digital hingga menjelaskan bagaimana bentuk konten dan memproduksi konten literasi berbasis kearifan lokal, termasuk memaparkan dengan sejumlah contoh.
Sesi ini sangat menarik bagi peserta.
Mawar Indah Kasturi, mahasiswi Universitas Baiturrahmah menyebutkan, semula saya membayangkan kegiatan ini, ya seperti lokakarya biasa. Ketika proses berjalan, banyak ilmu yang saya dapatkan, apalagi cara menyampaikannya sangatlah menarik, sehingga mudah dipahami. Termasuk kesempatan diskusi yang diberikan oleh pemateri.
“Saya sangat puas sekali,” katanya sembari menyebutkan, terobosan yang dilakukan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Limapuluh Kota sangat diapresiasinya karena telah membuka wawasan generasi muda.
Melza Mutia Sari, pelajar SMAN 1 Suliki, menyebutkan bahwa mulanya Ia tertarik mengikuti kegiatan ini karena berharap mendapatkan pengetahuan bagaimana memproduksi konten bermuatan kearifan lokal. Ketika proses berlangsung, Ia mendapatkan materi yang melebihi ekspektasinya.
“Banyak hal yang didapatkan, semuanya daging semua,” katanya.
Muhammad Rizki, mahasiswa Politeknik Pertanian Payakumbuh merasakan, bekal yang didapatkan sangat banyak. Tak hanya tentang bagaimana memproduksi konten, tetapi dirinya mendapatkan ilmu terkait dengan budaya dan kearifan lokal.
Muhammad Yusuf Ramadhan, mahasiswa ISI Padangpanjang menyebutkan, awalnya hanya membayangkan sebuah seminar, tetapi dirinya mengaku mendapatkan banyak tambahan ilmu baru, terutama terkait dengan konten kreator dan nilai-nilai kearifan lokal.
Kegiatan Lokakarya Literasi Digital diadakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Limapuluh Kota, diikuti 60 pelajar dan mahasiswa. Menghadirkan dua narasumber. (jiga)