Menjadi Filantropis di Era Mahasiswa: Dari Proyek Sesaat ke Gerakan Nurani

Oleh : Afdal Salputra*)

Di tengah era ketika banyak anak muda sibuk mengejar prestasi pribadi, kepedulian sosial sering kali hanya muncul sebatas program seremonial yang selesai begitu acara berakhir.

Ironisnya, banyak yang beranggapan filantropi hanyalah milik orang kaya atau lembaga besar. Tapi benarkah peduli harus menunggu mapan? Sebuah buku baru justru membongkar cara pandang keliru itu.”

Pada 10 September 2025 dalam rangka Festival Literasi Daerah Sumatera Barat, saya menghadiri bedah buku Nurani Filantropis: Realita, Edukasi, dan Gagasan Gerakan Kemanusiaan karya Musfi Yendra di Aula Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumatera Barat.

Acara ini menghadirkan banyak pandangan segar tentang bagaimana filantropi bukan sekadar aktivitas memberi, melainkan cara hidup yang berakar dari nurani.

Buku setebal lebih dari 600 halaman ini berisi 152 tulisan yang lahir dari pengalaman nyata penulis saat memimpin Dompet Dhuafa Singgalang (2011–2016). Di sana, Musfi Yendra menuliskan wajah-wajah kemiskinan, sekaligus menawarkan gagasan agar kepedulian tidak berhenti pada simpati, melainkan berkembang menjadi aksi pemberdayaan.

Sebagai mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang yang aktif menulis di media massa, saya melihat kecenderungan menarik sekaligus mengkhawatirkan di kalangan mahasiswa. Gerakan sosial memang cukup ramai dilakukan, tetapi seringkali hanya berhenti pada program pengabdian masyarakat. Begitu kegiatan selesai, semangat sosial pun ikut padam.

Fenomena ini menandakan bahwa bagi sebagian mahasiswa, kepedulian sosial masih dipandang sebagai proyek sesaat sesuatu yang baru bisa dijalankan ketika ada wadah formal. Padahal, sebagaimana ditegaskan Musfi Yendra dalam bukunya, “kepedulian adalah pakaian hidup, bukan atribut sementara”.

Filantropi sering dipahami sebatas memberi uang atau harta. Padahal, esensinya jauh lebih luas. Ia bisa hadir dalam bentuk tenaga, waktu, ilmu, bahkan sekadar telinga yang mau mendengar cerita orang lain.

Dr. Agus Widiatmo, M.SI dalam ulasan bukunya menyebut, filantropi sejati adalah pemberdayaan. Artinya, bukan sekadar menolong, tapi membuat orang lain bisa bangkit dan mandiri. Sementara Dr. Sudarman, M.A., menambahkan bahwa buku ini menyentuh karena lahir dari pengalaman nyata, bukan sekadar wacana akademik.

Dua pandangan ini seolah menegaskan bahwa filantropi adalah proses panjang, bukan hanya peristiwa sekali jadi.

Lantas, bagaimana cara anak muda bisa menumbuhkan jiwa filantropis di tengah keterbatasan materi, gengsi, atau rasa malu?

Pertama, kita perlu mengubah mindset. Kepedulian tidak harus menunggu mapan. Justru di usia muda, energi dan idealisme bisa menjadi modal utama. Misalnya, mahasiswa bisa mengajar anak-anak di kampung, menginisiasi komunitas baca, atau mendampingi pedagang kecil dalam digitalisasi usaha.

Kedua, konsistensi. Gerakan sosial harus dipandang sebagai kebiasaan, bukan proyek musiman. Jika mahasiswa terbiasa menyisihkan sebagian waktu untuk kegiatan sosial, perlahan ia akan tumbuh menjadi karakter yang melekat, bukan sekadar aktivitas tambahan.

Ketiga, membangun jaringan. Kepedulian akan lebih kuat jika dijalankan bersama. Komunitas, organisasi, maupun media sosial dapat menjadi ruang kolaborasi yang memperluas dampak gerakan filantropi.

Bagi saya, pelajaran terbesar dari bedah buku Nurani Filantropis adalah bahwa literasi bisa menggerakkan hati dan perilaku. Buku ini menunjukkan bagaimana pengalaman bisa ditransformasikan menjadi gagasan, lalu menginspirasi banyak orang untuk menempuh jalan kepedulian.

Lebih jauh, literasi juga bisa menjadi media refleksi diri: apakah kita selama ini hanya menjadi penonton dalam realitas sosial, atau sudah benar-benar hadir di tengah masyarakat?

Kita hidup di era ketika informasi begitu mudah diakses, tetapi kepedulian justru sering terjebak dalam simbol-simbol digital. Banyak orang cepat bersimpati lewat unggahan media sosial, namun enggan hadir nyata di lapangan.

Buku Nurani Filantropis dan diskusi yang melingkupinya mengingatkan kita: kepedulian sejati dimulai dari nurani, diwujudkan dalam aksi, dan dijaga dengan konsistensi.

Bagi generasi muda, terutama mahasiswa, inilah saatnya mengubah cara pandang. Jangan tunggu kaya, jangan tunggu wadah resmi. Mulailah dari langkah kecil yang bisa dilakukan hari ini. Sebab, ukuran manusia bukan hanya terletak pada apa yang ia raih, tetapi juga pada apa yang ia bagi untuk sesama. []

Uda Literasi Duta Kampus, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang 2025, Mahasiswa Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *