Cerpen : Yuwanda Efrianti*)
Aku kecil, bukan seperti anak-anak tetangga yang pagi-pagi disuruh orang tua menyapu halaman atau menata buku pelajaran dengan suara seragam perintah. Aku kecil, dan dunia pertama yang mengenalkanku bukanlah ayah atau ibu, melainkan tangan kasar dan hangat kakek yang menggendongku di pelataran rumahnya, di mana pepohonan tua berbisik pada angin dan tanah selalu harum setelah hujan. Kakekku, seorang pria dengan rambut putih seperti kapas terbakar di ujung matahari, adalah dunia pertamaku.
Di bawah naungan rumah kayu tua itu, aku belajar membaca dunia sebelum aku membaca huruf. Kakek tidak pernah menulis buku, tapi setiap kata-katanya adalah pelajaran. “Cucuong,” katanya suatu hari, “nilai itu bak bintang di langit; ada yang terlihat, ada yang tersembunyi. Tapi jangan mengejar bintang yang jatuh. Kejar bintang yang bersinar, dan dunia akan mengikutimu.”
Aku tidak mengerti sepenuhnya. Tapi setiap kali aku menutup mata, aku melihat bintang-bintang yang berkedip di langit hati kakekku, dan di sanalah aku merasa aman.
Sekolah pertamaku di SDN 05 Kolok Mudik ini adalah medan kecil, tetapi penuh perhitungan. Bangunan tua dengan papan tulis yang sering berderit, lantai berdebu, dan bau kapur yang menempel pada rambut, menjadi panggung bagi pengalaman awal.
Setiap mata pelajaran adalah cerita tersendiri. Tetapi yang paling dinantikan bukan hanya pelajaran, melainkan ponten hadiah yang diberikan saat angka rapor menembus ambang tertentu. Nilai delapan puluh bukan sekadar angka, itu adalah emas kecil yang menempel pada jari, sebagai tanda dunia mengakui usaha yang dilakukan.
Dengan setiap ponten, rasa haus akan pencapaian tumbuh, seperti benih yang menyerap cahaya, membentuk akar ambisi yang tersembunyi di balik tawa riang saat istirahat, di balik rasa sakit ketika terjatuh dari sepeda, atau di balik tatapan penasaran guru di kelas.
Tidak ada yang mengajarkan bahwa ambisi bisa menjadi teman sekaligus musuh, selain pengalaman sehari-hari yang menguji kesabaran dan ketelitian. Berjalan dari kelas ke kantin, melewati teman yang berlarian, mendengar gurauan yang kadang menusuk diam-diam, dan melihat angka-angka yang berubah di rapor, semua itu adalah bagian dari laboratorium hidup pertama.
Setiap tragedi kecil yang jatuh, kehilangan uang ponten, ditegur karena PR yang terlambat, menjadi bahan bakar untuk belajar membaca dunia, bukan sekadar menghitung angka. Mata yang jeli melihat ekspresi, telinga yang peka menangkap nada, dan hati yang waspada menyimpan cerita, semuanya menjadi instrumen awal memahami manusia dan takdir yang tersembunyi dalam setiap detik.
Aku ingat, suatu kali aku mendapat 79 di Bahasa Indonesia. Hanya satu angka di bawah “bintang” yang ditunggu. Aku pulang, menyerahkan rapor ke kakek, dan menatapnya diam-diam. Matanya tidak marah, tidak kecewa. Ia tersenyum, tapi ada sesuatu yang bergetar di udara seperti nada yang hilang dari lagu lama yang hanya kudengar dalam mimpi.
“Besok, ke kejar lagik angka tu ya,” katanya. Dan keesokan harinya, aku belajar lagi, menulis lagi, menghitung lagi, bukan hanya untuk ponten, tetapi untuk merasa bahwa diriku mampu menaklukkan langit kecilku sendiri.
Sekolah memang bukan hanya tentang angka. Ada guru-guru yang menjadi karakter dalam cerita hidupku. Pak Edi, guru Matematika, selalu berbicara seperti puisi: “X dan Y bukan hanya angka, mereka adalah cerita, Yuwanda.
Pelajari mereka, dan kau akan memahami dunia.” Aku kecil, dan kata-katanya membuat angka di papan tulis menari, berputar-putar, berubah menjadi sesuatu yang hidup, sesuatu yang bahkan kakekku belum pernah bicarakan.
Teman-teman? Mereka seperti planet yang kadang berputar terlalu dekat, kadang terlalu jauh. Ada yang membuatku tertawa sampai perut pegal, ada yang menusuk hati tanpa sadar. Tapi aku belajar membaca mereka, seperti membaca puisi tanpa judul.
Dunia sosial di SDN 05 Kolok Mudik adalah laboratorium kecilku, eksperimen pertama tentang manusia, tentang rasa sakit, tentang kegembiraan, tentang ambisi yang tumbuh dari hadiah rapor.
Aku juga belajar dari tragedi kecil, jatuh dari sepeda yang saat itu juga bukan punyaku, sepeda sewa yang kadang kakek suka kasih kepadaku, saat membawa rapor pulang, kehilangan uang ponten di jalan, atau ditegur guru karena lupa mengerjakan PR.
Setiap kejadian, sekecil apa pun, menjadi laboratorium pengalaman, di mana aku mencatat, merasakan, dan menafsirkan. Aku menulis semuanya dalam buku catatan yang kakek berikan kulitnya sudah retak,lusuh, tetapi setiap halaman adalah medan perang kecil di mana aku melatih diri untuk memahami hidup.
Dan di sinilah aku mulai mengerti bahwa ambisi bukan sekadar mengejar angka, bukan sekadar uang, bukan sekadar pujian. Ambisi adalah peta untuk menavigasi dunia yang belum kupahami, peta yang digambar oleh kakek, diperkuat oleh guru, diwarnai oleh teman, dan dipahat oleh tragedi kecil masa kanak-kanak.
Saat itu ketika lampu semprong (lampu minyak) di kamar kecilku berkedip, aku menatap langit-langit rumah dan membayangkan angka-angka di rapor itu menari seperti bintang yang jauh. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah bintang itu nyata, atau hanya ilusi yang membuatku ingin lebih dari sekadar anak kecil di Kolok Mudik? Jawaban itu belum kutemukan. Tapi aku tahu, perjalanan baru saja dimulai.
Aku masih kecil, tetapi dunia sudah berbicara padaku melalui angka, kata, dan rasa sakit yang lembut. Setiap langkah adalah laboratorium baru, setiap orang adalah narasumber tak resmi dalam investigasi hidupku sendiri. Dari jendela kecil di rumah papan, dunia tampak luas, tetapi berat seperti besi yang terlepas dari pabrik.
Bunda dan papa pergi sebelum matahari terjaga sepenuhnya. Kedua kaki mereka menapak jalan-jalan tanah yang masih basah, menyisir Ombilin (Sungai besar), sungai yang menelan banyak cerita orang tua. Tiga puluh kilometer bukan jarak, tetapi medan percobaan yang menuntut kulit, otot, dan iman.
Arusnya deras, batu-batunya licin, lumpurnya menempel di kulit sampai gatal tak tertahankan. Ia merendam diri di dalamnya setiap hari, menyaring pasir, memandulang emas, sedikit, cukup untuk memberi kita makan, tetapi langkahnya tak mundur, sungai itu bukan musuh, tapi guru yang mengajari tentang harga sebuah hari.
“Ndut… hidup kitak kadang menegakkan punggungmu, bukan untuk menyakiti, tapi agar kau berdiri lebih tegak dari yang kau kira.”
Aku hanya menelan kata-kata itu, rasa getir bercampur dengan rasa aman yang aneh. Tidak ada kemarahan, tidak ada keluhan hanya kesadaran bahwa hidup adalah mandulang tanpa panduan, dan emas sesungguhnya bukan di sungai, tapi di setiap langkah yang mampu menahan arus.
Malam itu lagi, ketika lampu semprong bergetar di dinding rumah, aku duduk memandang buku yang telah terbuka, kata-katanya seperti air yang jatuh perlahan di kepala yang haus.
“Hidup,” aku membaca, “tidak akan selalu berjalan seperti bayangan yang kau lukis di langit. Kadang hilang, kadang berubah, tapi setiap titik gelap adalah panggilan untuk mencari cahaya sendiri.” Suara buku dan arus sungai bersatu, mengajar lebih banyak daripada lembutnya kakek atau rapi guru SD.
Aku belajar memotong kelegaan dari setiap detik. Saat membantu bunda mengangkat ember, lumpur menempel di tangan, bau sungai menempel di hidung, aku menyadari bahwa cinta dan perjuangan tidak selalu terlihat. Kadang, mereka hanyut, kadang tersangkut di batu-batu keras di sungai Ombilin.
Dan aku, di antara derasnya arus dan bengkaknya tangan bunda dan papa, memahami, manusia belajar berdiri bukan dari yang mudah, tetapi dari yang menekan dada dan menantang lutut.
Sambil memandang ke arah arus yang membawa serpihan kayu dan debu, aku mengerti bahwa kehilangan yang kurasakan, mereka tak selalu dekat, tapi bahasa Allah untuk menulis peta hidupku sendiri. Jalan yang dipilih-Nya mungkin berlumpur, mungkin menyakitkan, tapi selalu mengarah pada langit yang menunggu di ujung.
Dan ketika malam membungkus rumah, Ombilin masih berdansa dengan bulan, membawa bisikan-bisikan yang menempel di dinding kamar, di rambut yang berbau asap kayu, di tangan yang kaku oleh kerja keras. Semua itu menjadi guru pertama tentang kemandirian, tentang ambisi, tentang cara melihat dunia bukan dari permukaan, tapi dari kedalaman arus yang menyelubungi setiap langkah.
Sungai Ombilin perlahan-lahan tidak lagi sekadar tempat bunda menanam tubuhnya di lumpur, tapi menjadi kaca besar tempat aku mengukur diriku sendiri. Airnya yang dingin, kadang keruh, kadang bening, memantulkan wajah yang semakin asing, semakin jauh dari kanak-kanak. Aku menatap riak, dan di sana tubuh mulai bertanya, apakah arus bisa menjadi guru sebaik buku?
Di tepian, orang-orang dewasa sibuk dengan dulang, menyaring butiran emas yang mungkin tersisa. Aku memilih berlari ke dalam air, membiarkan tubuhku ditelan, seakan ingin tahu rahasia yang tak pernah mereka gali. Sungai tidak menawari harta, tapi menawarkan kebebasan, kebebasan untuk terapung, untuk jatuh, untuk tenggelam dan kembali lagi. Setiap kali paru-paru menahan nafas lebih lama, ada semacam bisikan “hidup pun begitu, jika kau berani menahan, kau akan muncul lebih kuat di permukaan.”
Bunda pernah menegur, setengah marah, setengah cemas.
“Ndak bosan kau berlama-lama di aia itu, Nak? Orang lain ke sungai menambang, kau malah bermain.”
Aku hanya tersenyum, lalu bergumam pelan, “Bunda, orang mencari emas dengan dulang. Aku mencarinya dengan badan.” Mereka tertawa, mengira itu lelucon. Padahal, hanya di dalam air aku merasa tubuhku memiliki takdir sendiri. Setiap kali menyibak arus, ototku seperti disulam ulang, lebih liat, lebih tegas. Sungai itu diam-diam sedang menuliskan bab baru, tanpa papan tulis, tanpa pena.
Di sekolah, aku mulai sering dibandingkan. Tidak lagi soal angka di rapor yang bisa ditukar uang, tapi soal tenaga, soal keberanian. Teman-teman menyaksikan aku berenang menyeberangi sungai yang mereka takuti. Ada yang bersorak, ada yang mencibir. Aku tahu, setiap sorakan maupun cibiran hanyalah tepian yang harus kutinggalkan. Di dalam arus, hanya ada aku dan waktu.
Sore itu, ketika matahari menurunkan wajahnya di balik bukit, aku sering memandangi lengkungan air yang berwarna tembaga. Ada keheningan aneh, semacam doa tanpa kata. Aku tak pernah menyangka bahwa dari kebiasaan sederhana ini, tubuhku sedang dipersiapkan untuk panggung yang lebih keras, yang belum kutahu bentuknya.
Papa kadang mengangguk pelan setiap kali melihatku pulang dengan rambut basah.
“Air itu bukan hanya membasuh, Nak. Ia bisa mengajarkan caranya menjadi lentur sekaligus keras. Orang yang paham air, paham hidup.” Aku hanya mengingat itu diam-diam, tanpa tahu kapan kalimat itu akan menjadi kenyataan.
Ada masa di mana suara-suara tak lagi lahir dari mulut, melainkan dari dinding, dari bayangan, bahkan dari permukaan air yang bergelombang. Di sekolah, SMP N 9 Sawahlunto tepatnya, aku sering merasa seperti ikan yang dilempar ke kolam asing.
Ada suara-suara yang tidak selalu jelas, namun menusuk telinga, bisik-bisik, tawa setengah menahan, tatapan yang seperti ujung pisau. Aku berenang di kolam kehidupan yang tidak lagi sekadar air, tapi penuh karang tajam.
Pulang membawa tubuh lelah, dan setiap langkah terdengar lebih berat dari langkah biasanya. Seolah jalan kecil itu ikut menyimpan rahasia. Aku ingin bertanya, pada siapa saja, tapi lidah terasa kelu. Satu-satunya tempat aku bisa bicara hanyalah lubuk (air) itu.
Sungai menjadi ruang yang lebih jujur daripada manusia. Namun kejujuran itu pun tidak pernah utuh. Air tidak menyangkal, tapi juga tidak menjawab. Setiap kayuhan tanganku seperti membuka pintu ke ruang lain, ruang yang tidak bisa dijelaskan pada siapa pun. Kadang aku merasa ada bisikan yang tak perlu ditafsirkan, hanya perlu didengar.
“Kau terlalu cepat.”
“Kau tak seharusnya di sini.”
“Kemenanganmu bukan milikmu.”
Tidak jelas dari mana asalnya. Dari kepala? Dari arus? Atau dari mereka yang diam-diam ingin aku tenggelam?
Aku mulai terbiasa pada keganjilan. Catatan hilang, kursi bergeser sendiri, halaman buku penuh garis silang tanpa tinta. Aku tidak lagi mencari siapa pelaku. Karena semakin kucari, semakin kusadari, pelaku itu mungkin bukan satu orang, mungkin bukan manusia, mungkin bukan makhluk. Mungkin hanya sebuah arus yang bergerak melalui banyak wajah.
Teringat saat itu lomba renang di kolam teratai, Padang. Ketika tubuh terhempas ke dalam air, seakan lintasan itu lebih panjang daripada biasanya. Seperti terowongan yang tak berujung. Suara tepuk tangan di atas terdengar makin jauh, makin asing, seakan aku berenang di ruang antara hidup dan mati.
Tanganku menembus air, tapi terasa seperti menembus kaca yang tebal. Terus berjuang, bukan melawan lawan di sebelah, tapi melawan sesuatu yang ingin menarikku ke dasar. Aku tidak tahu apa itu. Mungkin iri, mungkin kutukan, mungkin hanya bayanganku sendiri.
Ketika akhirnya tubuhku muncul di permukaan, orang-orang bersorak. Mereka melihat kemenangan. Aku melihat tanda tanya.
“Kau tahu, Wanda, orang bilang kau terlalu keras mengejar apa yang kau mau. Nilaimu, lomba-lombamu, renangmu. Orang-orang mulai tidak suka. Hati-hati.” Kata ini ku dengar disaat semuanya mulai di genggam.
“Apakah salah kalau aku berenang lebih cepat dari mereka?”
Dia menunduk, tak menjawab.
Mentari itu kembali bersinar, rutinitas selalu berulang namun tidak dengan coretan aneh di meja itu,
“ikan sombong akan mati di darat.”
Aku berusaha menganggap itu sekadar lelucon murahan, tapi diam-diam, aku tahu aku sedang dilatih arus lain arus kebencian yang tak terlihat, tapi deras. Ironisnya, hanya ketika menyelam aku merasa aman.
Di bawah permukaan, tidak ada suara tawa atau cibiran. Hanya gelembung-gelembung kecil yang pecah, mengingatkanku bahwa dunia bisa hening. Aku sering menahan nafas lebih lama, seakan ingin lari dari riuh darat.
Bagaimana jika aku benar-benar tak kembali ke permukaan? Apa mereka akan menyesal, atau justru bersorak lega?
“Setiap orang punya lawan gaib, Nak. Kau mungkin sudah ditantang air. Jangan anggap remeh. Bukan hanya manusia yang iri, alam pun bisa begitu.” ujar papa.
Kembali mengulang pagi di usia yang sudah belasan tahun hidup di desa ini, jalanan Kolok Mudik masih basah. Gerobak sayur melintas, meninggalkan jejak roda yang cepat sekali hilang ditelan debu kering. Dari arah pasar, terdengar riuh ayam jantan yang belum juga lelah meski matahari sudah tinggi.
Di antara riuh itu, sepasang tubuh dewasa berjalan tergesa ke sungai. Keduanya bukan wisatawan, bukan pula pemancing. Mereka adalah suami-istri yang saban hari menggantungkan hidup pada air yang keruh air yang menyimpan sisa oli, lumpur, dan arus yang ganas, tapi siapa sangka air keruh itu turut membangun sebuah rumah utuh tanpa harus mencari tumpangan.
“Kalau bukan karena anak-anak, tak mungkin ia bertahan,” ujar Si ek seorang tetangga ku samping rumah. Lelaki itu menyesap kopi pahitnya, lalu menambahkan,
“Emas bukan untuk kaya. Emas hanya penunda sekarat.”
Ayahnya, lelaki kurus berkulit legam, ikut merendam tubuh di arus. Tangannya cekatan, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Di pasar, ia dikenal jarang bicara. Di surau, ia dikenal rajin. Namun di sungai, ia hanyalah sebutir pasir yang tak penting.
Suatu sore, banjir besar melanda. Ombilin mengamuk. Perempuan itu hampir hanyut terbawa arus. Orang-orang berteriak dari tepi, tapi sungai menelan teriakan mereka. Ketika tubuhnya akhirnya diselamatkan, ia menggigil. Sejak itu, badannya semakin lemah, kulitnya semakin rusak.
“Bukan karena tak sayang,” bisik seorang kerabat,
“tapi Tuhan ingin anak itu belajar sendiri arti kehilangan.”
Kalimat itu berulang-ulang diucapkan orang. Di warung, di sawah, bahkan di sekolah dasar. Semua seolah sepakat, kehidupan keluarga itu adalah pelajaran terbuka bagi siapa saja yang mau membaca.
Maka anak yang ditinggalkan belajar tentang dunia dengan caranya sendiri. Dari buku-buku pinjaman, dari papan tulis, dari rapor yang dijadikan mata uang oleh kakeknya. Tiap angka delapan puluh dibarter dengan selembar uang. Dorongan itu menjadikannya ambisius, haus nilai, sekaligus haus arti.
Tetapi ia juga tahu, hidup tidak selalu sesuai rencana. Buku yang dibacanya berkata begitu, dengan kalimat dingin: hidup berjalan di luar kendali manusia.
Pelajaran itulah yang membuatnya cepat matang. Ia melihat bundanya pulang dengan tubuh bengkak. Ia mendengar bapaknya selalu lelah karena terlalu lama menghirup kabut lumpur sungai. Ia tahu: dunia tidak memberi janji, hanya ujian.
Dan dari orang tuanya, ia belajar satu hal yang tak tertulis di rapor: kemandirian.
“Besok, mungkin sungai tak memberi apa-apa,” kata ayahnya
suatu malam. “Kalau itu terjadi, jangan salahkan siapa pun”
”Kita hanya numpang hidup.”
Kalimat itu menempel di dinding kamar, di ingatan anak-anak mereka, di kepala orang-orang kampung. Tak seorang pun bisa membantah, karena sungai sudah menjadi saksi paling setia bahwa hidup manusia tidak pernah sepenuhnya digenggam.
Masa itu tiba tanpa tanda trompet, hanya dengan bangku kayu panjang dan papan tulis yang warnanya pudar, di sebuah sekolah menengah atas di jantung kota kecil, SMA N 3 Sawahlunto. Kehidupan keluarga mulai beringsut, pelan-pelan keluar dari genangan lumpur yang dulu menahan langkah.
Ia yang dulu berbasah-basah di sungai kini mulai mendapat pekerjaan lebih tetap, bukan lagi sekadar menggali pasir emas, melainkan dipercaya menjadi pekerja di tambang batubara.
Ya, benar batubara, kata yang menggambarkan Sawahlunto.
Orang-orang bilang keluarga kecilku sudah lumayan mapan, anak-anaknya tidak lagi harus berpikir dua kali sebelum membeli buku tulis baru. Namun di balik perbaikan yang tampak, ada pertempuran lain yang tidak kelihatan. Sekolah makin tinggi tentu prestasi juga harus dikejar. Ada yang menganggapnya terlalu ambisius, terlalu haus tepuk tangan, terlalu ingin menguasai ruang.
Ada pula yang diam-diam kagum, tapi memilih menutup kekaguman dengan cemoohan. Di setiap ujian, tatapan mata kawan-kawan seolah bertanya-tanya: apakah nilainya murni kerja keras, atau ada trik yang tak diketahui? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah dijawab secara terang, karena sebagian memang lahir dari rasa iri yang tak pernah diakui.
Konflik datang bukan dari buku, melainkan dari tubuh sendiri. Kecintaan pada air, pada olahraga renang yang sejak kecil menjadi satu-satunya hiburan di tengah susah, menjelma menjadi medan tempur baru. Kompetisi demi kompetisi, menyandang medali yang gemerlapnya sempat menyilaukan kampung halaman. Namun setiap kemenangan melahirkan lawan yang tak kelihatan.
Buk Rina Novalia, seorang guru sejarah, yang jarang bicara tapi selalu menatap dengan mata tajam, beliau pernah berucap lirih seusai kelas: “Jangan biarkan orang lain menulis riwayatmu. Tulis sendiri, meski dengan darah.” Kalimat itu, pendek saja, tapi cukup untuk membuatku bertahan.
Maka masa SMA itu berjalan seperti musim hujan yang aneh, kadang deras mengguyur, kadang cerah mendadak, kadang mendung panjang tanpa hujan turun-turun. Kehidupan keluarga lebih baik, tapi bayangan luka lama masih ada. Prestasi diraih, tapi rasa asing justru makin tebal.
Dan di antara semuanya, renang tetap menjadi medan, bukan lagi sekadar hobi. Air tidak bisa memilih siapa yang tenggelam, siapa yang mengapung semuanya bergantung pada cara tubuh bertarung melawan arus.
Hidup itu, diingat-ingat lagi, mirip hujan yang jatuh di atap seng rumah lama. Bunyi pertamanya riuh, menakutkan, lalu lama-lama jadi musik yang menemani tidur. Masa SMA berlalu seperti itu, deras, lalu reda, lalu tinggal jejak basah yang tak kering-kering. Dan di tengahnya, aku belajar air tak pernah bisa dipaksa, ia punya jalannya sendiri.
Sore hari di Kolok Mudik selalu membawa semacam ingatan yang tak bisa kuhalau. Jalan tanah yang lengket habis hujan, suara ayam jantan di kandang yang basah, aroma kayu terbakar dari dapur. Semua seperti hendak berkata: “Pulanglah, jangan kau lupakan di mana kau mula.” Tapi pulang itu tak selalu ke rumah. Kadang pulang hanya berarti kembali ke dirimu sendiri, ke tubuh yang basah kuyup melawan arus, ke hati yang tak pernah berhenti gelisah.
“Wanda, ndak ka kau teruskan?” suara samar itu muncul entah dari mana, entah dari lorong ingatan atau sekadar bisikan hati. Aku tak menjawab, hanya menunduk ke permukaan air kolam. Wajahku memantul, pecah berkeping-keping setiap kali riak kecil muncul.
Seolah aku melihat banyak versi diriku sekaligus, yang kecil berlari di SDN 05 Kolok Mudik mengejar nilai delapan puluh demi selembar uang hadiah. Yang remaja, ditinggal bunda dan papa menyelam di sungai keruh untuk mandulang emas, yang kini, berdiri sendiri, berusaha percaya bahwa semua luka itu memang ditakdirkan.
Orang sering bilang: “Hidup tak selalu seperti yang diharapkan.” Kalimat itu dulu terasa seperti nasihat basi, tapi kini aku tahu betapa benar adanya. Siapa sangka sungai yang sama yang menghidupi, bisa pula menggerogoti tubuh ibuku hingga bengkak dan gatal?
Siapa sangka papa yang dulu kutatap penuh bangga, harus rela berhari-hari menyusuri lumpur hanya untuk sekepal rezeki? Dan siapa sangka aku, anak yang ditinggal karena keadaan, justru menemukan jalan lain lewat air yang jernih di kolam renang?
Konflik itu kadang datang tanpa aba-aba. Di sekolah, wajah teman-teman penuh tawa, tapi aku menyimpan sesuatu yang tak bisa mereka pahami.
“Kenapa kau selalu serius, Wan?” mereka bertanya.
Aku hanya tersenyum, tak ada jawaban. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa di balik senyum itu ada sungai sepanjang tiga puluh kilometer yang setiap detiknya menelan doa orang tuaku? Bagaimana aku bisa menceritakan bahwa tubuh yang tampak sehat ini ditempa bukan oleh latihan biasa, melainkan oleh kehilangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
Renang mengajarkan sesuatu yang tak diberikan buku pelajaran. Bahwa tubuh bisa jatuh, bisa tenggelam, bisa nyaris mati lemas. Tapi yang menentukan bukan air, melainkan keputusan, apakah kau akan menyerah atau terus mengayuh. Sama persis dengan hidup. Tak ada yang bisa memilihkan jalannya untukmu. Bahkan doa orang tua hanya bisa jadi angin, pendorong yang lembut. Sisanya, tetap kau yang menentukan.
Malam-malam menjelang ujian, aku sering duduk di teras rumah. Angin Kolok membawa suara-suara samar, katak dari rawa, desah pohon bambu, atau mungkin bisikan dari masa kecil. “Kau masih mengejar ponten itu, Nak?” seolah kakek bertanya dari balik kabut waktu.
Aku tersenyum getir. Dulu, ponten delapan puluh berarti selembar uang di genggaman, tapi kini angka tak lagi penting. Yang kukejar bukan hadiah, tapi keberanian untuk tak lagi ditentukan oleh orang lain.
Tapi bukan berarti perjalanan itu mulus. Ada saat ketika aku ingin berhenti. Ketika rasa asing di tengah keramaian sekolah begitu menyesakkan, ketika medali yang digantungkan di leher terasa tak lebih dari logam dingin. “Untuk apa semua ini?” tanyaku pada cermin. Cermin, tentu saja, tak pernah menjawab. Ia hanya memantulkan wajah yang sama: letih, tapi tak boleh berhenti.
Kadang aku berandai-andai, bagaimana kalau bunda tak hanyut di sungai itu? Bagaimana kalau papa tak harus bermandi lumpur setiap hari? Mungkin aku akan tumbuh biasa-biasa saja, dengan senyum ringan tanpa beban. Tapi Tuhan, rupanya, punya cara lain. Ia menaruhku di jalan yang berliku, agar aku belajar melihat bukan hanya lurus ke depan, tapi juga ke kiri, ke kanan, ke dalam diriku sendiri.
“Apa kau dendam pada nasibmu?”
Suara itu lagi, samar, entah dari siapa. Aku tak menjawab. Karena sesungguhnya bukan dendam yang kutanggung, melainkan pelajaran. Pelajaran bahwa luka bisa jadi kompas, menunjukkan arah ke mana aku harus melangkah.
Dan begitulah, masa SMA pun habis. Bukan dengan pesta meriah, bukan dengan tawa yang memekakkan, tapi dengan perasaan ganjil, seperti hujan yang reda tiba-tiba. Genting tua masih basah, tanah masih becek, tapi langit sudah biru. Aku berjalan keluar halaman sekolah itu, membawa bukan hanya ijazah, tapi juga bekas luka yang kini kuterima sebagai bagian dari diriku.
Kolok Mudik masih ada di belakang, dengan segala cerita sungainya, dengan segala riuh pasar dan sawahnya. Aku masih mendengar bisik kakek, masih merasakan letih ayah, masih melihat tangan bunda yang bengkak. Tapi semua itu kini menjadi air yang terus mengalir dalam nadiku.
Sebab aku tahu, perjalanan ini tak pernah selesai. Tak akan pernah selesai. Hidup hanya tahu satu hal: mengalir. Mengalir, meski seribu batu menghadang. Mengalir, meski arus berusaha menenggelamkan. Mengalir, sampai entah di mana akhirnya aku berhenti.
Terimakasih, Kolok Mudik. Kini aku Merantau. []
Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang*)