Profil Inspiratif: Muhammad Eko Nurcahyo, Ketua LPPM Arutmin Senakin
Essay : Nurul Jannah*)
Sore di Ruang Kecil Penuh Cahaya
Sore itu, aroma es kopi susu berpadu dengan udara lembap yang menembus dinding ruangan sederhana. Di meja hitam berkilau, duduk seorang lelaki berseragam hijau. Senyumnya bersahaja, tapi tatap matanya menyala seperti bara yang tak padam.
Dialah Muhammad Eko Nurcahyo, Ketua LPPM Arutmin Senakin. Namun lebih dari jabatan itu, ia adalah seorang guru, meski kini medan baktinya bukan lagi ruang kelas, melainkan di desa-desa lingkar tambang yang ia sebut sebagai medan pengabdian.
Di sebelahnya, Ramona Dayanti, sang bendahara lembaga, teman seperjuangannya membangun desa, nampak tersenyum bangga.
Tak jauh dari mereka, Pak Yudo Prakoso, Superintendent Community Development PT Arutmin Indonesia, ikut menyimak pembicaraan sore itu. Tatapannya teduh, kebapakan, seolah sedang melihat tunas-tunas kecil pemberdayaan yang mulai tumbuh subur dari tangan timnya.
Begituah cara hati bekerja, senyap tapi mengubah begitu banyak kehidupan.
Dari Kapur ke Tambang: Kisah Awal Seorang Guru
Eko memulai langkahnya bukan dari dunia industri, melainkan dari papan tulis dan kapur putih.
Ia pernah mengajar di sekolah dengan keyakinan sederhana bahwa setiap anak berhak punya masa depan yang layak. Namun ketika bergabung dengan LPPM Arutmin, ia menemukan “murid-murid baru”, para warga desa di lingkar tambang yang tak harus duduk di bangku sekolah.
“Saya tidak pernah berhenti menjadi guru,” katanya pelan, “Bedanya, sekarang ruang kelas saya adalah 24 desa, dan papan tulisnya adalah bumi Senakin.”
Mimpi yang Bernama Pemberdayaan.
Dari tangan dinginnya lahirlah berbagai program yang bukan hanya kegiatan sosial semata, melainkan gerakan perubahan yang menghidupkan martabat warga.
Di bawah koordinasi dan pendampingan langsung dari Pak Yudo Prakoso selaku Superintendent Comdev PT Arutmin Indonesia bersama Tim Comdev Arutmin, Eko bersama tim LPPM meneruskan program-program yang membumi dan berdampak nyata.
Pelatihan-pelatihan seperti menjahit untuk ibu-ibu agar bisa mandiri, komputer untuk anak muda agar siap menghadapi dunia digital, membuat mebel dan paving blok, agar kaum laki-laki desa memiliki keahlian yang memberi nilai ekonomi.
Setiap pelatihan bukan hanya kegiatan rutin, tapi doa yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
“Kalau nanti tambang berhenti,” ujarnya sambil menatap gelas kopinya yang mulai tandas, “desa ini harus tetap menyala. Bukan karena bantuan, tapi karena kemampuan.”
Pak Yudo menimpali, suaranya pelan namun penuh keyakinan, “Itulah makna pembangunan sejati. Kita tidak memberi ikan, tapi mengajari cara memancing, bahkan cara membuat kailnya.”
Lingkar 24 Desa: Sekolah Kehidupan
Wilayah binaan Eko dan timnya meliputi 24 desa di sekitar tambang Senakin. Di mana setiap desa punya kisah dan wajah sendiri, namun benang merahnya sama, keinginan untuk berubah.
Eko dan tim hadir bukan sebagai “pemberi”, melainkan penyala. Mereka mengajarkan cara menggali potensi, menumbuhkan harga diri, dan menemukan kekuatan dari dalam diri sendiri.
“Masyarakat di sekitar tambang bukan objek,” ujarnya tegas.
“Mereka subjek. Mereka punya mimpi, punya daya, hanya perlu ada yang percaya.”
Di titik ini, Pak Yudo berperan sebagai jembatan antara kebijakan perusahaan dan denyut kehidupan masyarakat. Ia memastikan agar setiap langkah program LPPM tak hanya memenuhi target Comdev, tetapi juga menyentuh nurani, membangun kemandirian, dan menyalakan martabat.
Dari Hati untuk Hati
Eko tidak hanya memimpin dengan hati, tapi juga dengan sistem. Ia menyebut pendekatannya menggunakan 5M, sebuah filosofi sederhana namun sarat makna. Manusia, program boleh menunggu, tapi manusia tak boleh tertinggal. Metode, pembelajaran yang dilakukan berbasis praktik nyata, bukan teori yang kering. Material, memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar, sekecil apa pun. Mesin, menggunakan alat sederhana agar masyarakat bisa berproduksi mandiri. Money, bangun sistem ekonomi warga melalui tabungan sosial dan koperasi kecil.
Pendekatan ini sederhana, tapi membangkitkan rasa percaya diri baru di dada masyarakat. Kini, mereka mulai berani berdiri di atas kaki sendiri.
Cita-cita Mulia: Membangun SMK di Senakin
Eko menatap jauh ke luar jendela, seolah melihat masa depan yang sedang berproses di kejauhan.
“Saya ingin di Senakin ini berdiri SMK dan Balai Latihan Kerja,” katanya lirih tapi tegas.
“Agar anak-anak desa tak perlu jauh mencari ilmu. Dengan begitu, mereka bisa membangun desanya sendiri dengan penuh kebanggaan.”
Pak Yudo nampak berbinar mendengar ucapan itu.
“Itu mimpi yang mulia,” katanya, “karena sesungguhnya pendidikan adalah tambang itu sendiri. Tambang pengetahuan yang tak akan pernah habis digali.”
Tentu saja itu bukan mimpi belaka. Itu adalah panggilan jiwa. Eko ingin akar pendidikan tumbuh kuat di tanah tambang ini.
Dialog Kecil yang Menggetarkan
“Kenapa masih semangat, padahal tak mudah bekerja di lapangan seperti ini?”
“Karena saya percaya, setiap pelatihan kecil yang kami buat bisa mengubah satu keluarga. Dan dari satu keluarga, bisa tumbuh perubahan besar.”
Ramona, sang bendahara lembaga, ikut menambahkan, “Kami tidak sedang bekerja. Kami sedang berbakti.”
Pak Yudo menatap keduanya dengan bangga.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Senja merambat turun di langit Senakin. Kopi dingin di atas meja telah habis, tapi semangat di dada Eko tetap hangat.
“Kalau nanti orang bertanya, apa warisan dari tambang ini,” katanya sambil tersenyum, “jawabnya jelas, warga desa yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk berdiri di tanahnya sendiri.”
Dan sore itu, aku tahu, Muhammad Eko Nurcahyo bukan hanya ketua lembaga. Ia adalah nyala kecil yang membuat 24 desa tak lagi gelap. Dan di balik cahaya itu, ada tangan-tangan tulus seperti Pak Yudo dan tim Comdev Arutmin, yang ikut menjaga agar nyala itu tak pernah padam.
Tambang Bisa Habis, Tapi Cahaya Tak Pernah Padam
Tambang bisa menua, batu bara pun bisa habisi. Tapi cahaya dari hati seorang guru tak akan pernah padam. Eko telah membuktikan bahwa membangun desa bukan soal besar kecilnya dana, melainkan dalam tidaknya cinta yang ditanamkan.
Ia tidak hanya menyalakan lampu-lampu di rumah warga, tetapi juga menyalakan semangat di dada warga. Dan kelak, ketika tak ada lagi gemuruh alat berat di Senakin, yang tersisa bukanlah lubang bekas tambang, melainkan sekolah-sekolah kehidupan yang tumbuh dari tangan seorang guru bernama Muhammad Eko Nurcahyo, dan dari kepemimpinan visioner seorang Superintendent Comdev bernama Yudo Prakoso.
Karena sesungguhnya, bumi hanya bisa sembuh jika manusianya mau belajar.🌹❤🔥🎀
Bogor, 23 Oktober 2025



