“Danau Matano: Ketika Langit Menyentuh Kedalaman Jiwa”

Danau Matano bukan hanya sumber kehidupan, melainkan cermin bagi manusia yang belajar memulihkan bumi.

Essay : Nurul Jannah*)

Di Antara Langit dan Air Danau Matano

Langit Sorowako siang itu membentang biru bagai doa yang baru saja diucapkan. Aku berdiri di tepian Danau Matano, dan waktu seolah berhenti. Angin datang membawa aroma air tua, tenang, lembut, dan penuh rahasia. Di hadapan bentang biru itu, hatiku bergetar, inilah rumah bagi segala kesunyian yang hidup.

“Bu Nurul,” suara lembut Ibu Rizki Pratiwi, Specialist Environment Sustainability PT Vale Indonesia Tbk, terdengar di antara desir angin.

“Lihatlah…Ini salah satu hal yang kami jaga, kebanggaan Sorowako.”

Aku menatap jauh ke tengah danau. Permukaannya berkilau seperti kaca, menampung langit, menelan cahaya. Dan tiba-tiba, aku merasa kecil, seolah alam sedang menatap balik, mengajarkan arti paling purba dari kata tunduk dan mencintai.

Jejak yang Tersimpan di Dasar Air

Jutaan tahun lalu, bumi menggeliat, melahirkan celah besar yang kini bernama Danau Matano, danau terdalam di Indonesia, terbentuk dari luka tektonik yang disembuhkan waktu. Airnya jernih bagai kristal, menembus hingga ratusan meter ke dalam tanah, menyimpan kehidupan purba yang tak ada duanya di dunia.

Kini, Danau Matano menjadi urat nadi bagi PT Vale Indonesia dan masyarakat Sorowako. Menyediakan air bersih, memberi energi bagi PLTA, dan menjadi rumah bagi ikan butini, udang kecil, dan siput endemik yang hanya hidup di sini. Namun di balik fungsi ekologisnya, tersimpan hal yang lebih besar, jiwa bumi yang diajarkan kembali untuk bernafas.

Percakapan di Bawah Cahaya Wallacea

“Kenapa Matano begitu dijaga?” tanyaku pelan.

Ibu Rizki tersenyum, menatap air yang berkilau di bawah matahari siang.

“Danau Matano adalah bagian dari kehidupan di Sorowako, bu. Menjaga kelestariannya itu bagian dari amanah kita bersama terhadap sang pencipta bukan cuma tugas, tapi cerminann keseimbangan alam dan manusia.”

Aku tertegun. Di sinilah letak kebijaksanaan sejati, menjaga air bukan semata urusan tanggung jawab, tapi tindakan spiritual. Ikhtiar manusia untuk menebus kesalahan terhadap bumi. Di tepian Matano, ilmu dan iman tak lagi berdiri di dua sisi, melainkan menyatu dalam satu keheningan yang bekerja diam-diam.

Sains yang Berjiwa dan Cinta yang Bertumbuh

Di bawah gazebo yang menghadap danau, aku melihat teknisi muda memeriksa alat ukur air dengan wajah serius. Ia menatap layar, lalu berkata lirih, “Setiap angka ini bukan data, Bu, tapi doa. Kalau air tetap jernih, berarti kita masih dipercaya bumi.”

Kata-katanya menembus batas logika. Inilah bentuk cinta yang paling tulus, cinta yang diwujudkan dalam disiplin. Manusia yang menjaga, metode yang dirancang hati-hati, teknologi yang tidak mencederai, sarana yang ramah, dan dana yang dikelola dengan nurani. Semuanya bekerja bersama, seperti orchestra yang menabuh lagu kesetiaan antara manusia dan alam.

Kedalaman yang Mengajarkan Rendah Hati

Kami berjalan di tepi air. Langit menunduk di atas permukaan, dan burung-burung menari di kejauhan. Aku bisa merasakan betapa Danau Matano bukan hanya bentang alam, tetapi ruang batin tempat manusia bisa menemukan kembali dirinya sendiri.

“Kadang orang hanya melihat tambang dari luka di tanahnya,” ucap Ibu Rizki lirih, “padahal di balik itu, ada tangan-tangan yang menanam kehidupan.”

Aku tersenyum. Ya, di sini reklamasi bukanlah kata teknis, melainkan cara bumi dan manusia saling memaafkan. Danau itu adalah puisi panjang tentang pertobatan ekologis, tentang bagaimana cinta yang tulus bisa menumbuhkan kembali yang pernah hilang.

Simfoni Lima Unsur Kehidupan

Setiap pagi, matahari menyalakan pantulan emas di permukaan air, sementara di sekitarnya tumbuh semak, bambu, dan pepohonan yang berbisik. PT Vale tak hanya berdiri di antara alam, tapi berdialog dengannya, melibatkan pemerintah, akademisi, komunitas, dan media dalam harmoni kolaborasi.

Inilah wajah nyata pentahelix yang hidup, bukan konsep di atas kertas, melainkan persaudaraan ekologis yang bekerja tanpa sorotan. Di Sorowako, industri dan alam tidak berjarak. Mereka saling menyapa dengan rendah hati, saling menguatkan di bawah langit yang sama.

Ketika Bumi Menitipkan Pesan

Siang Terik di Danau Matano. Langit mulai berubah warna, dari biru lembut menjadi lebih benderang. Airnya bergetar lembut diterpa angin, seperti napas panjang bumi yang lega.

Aku memandangi danau itu lama sekali. Di sana, tidak hanya ada keindahan, tapi juga pengampunan. Pengampunan dari alam kepada manusia yang belajar menunduk, dan dari manusia kepada diri sendiri, karena akhirnya berani mencinta tanpa pamrih.

Sebelum melangkah melanjutkan perjalanan, aku menatap sekali lagi ke permukaan air. Bayangan langit terpantul utuh di sana, tanpa retak, tanpa cela. Dan di saat itu aku sadar, Matano sesungguhnya tidak sedang diam, ia sedang berdoa, agar manusia tak lagi memutuskan ikatan suci dengan bumi.

Aku menutup mata, menghirup udara dalam-dalam, dan hatiku berbisik lirih: “Selama kita masih mau mendengar bisikan air, masih ada harapan yang tak akan pernah tenggelam.”🌹❤‍🔥🎀

Bumi Allah, 30 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *