Kolom  

Kenaikan PPN dan Subsidi BBM – Double Additional Cost

Oleh : Sam Salam*

PENDAPATAN Negara yang paling banyak memang dari pajak; sebagai penentu keberlanjutan bernegara. Diyakini bahwa kenaikan pajak bukan hal yang dirancang “sesuka-hati” oleh pemerintah seperti makanan siap saji. “Indak ado pitih – naikan pajak”.

Kenaikan pajak tentu sudah dirancang beberapa tahun sebelumnya. Simpelnya suatu proposal ; Pendapatan dan Cost (biaya negara) yang dikeluarkan tentu sudah diperhitungan dalam suatu study kelayakan dalam jangka waktu tertentu, apalagi kalau dikaitkan dengan hutang negara.

Hal ini dapat dipastikan bahwa kenaikan pajak dan penghapusan subsidi BBM sudah “terprogram sebelum kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Membanding-bandingkan nominal PPN dengan negara maju dan negara sedang berkembang tentu tidak seluruhnya tepat.

Ini Indonesia bro, memang negara maju nominal PPN-nya sebagian lebih tinggi dari pada republik ini dan sebagian lagi ada yang dibawah 12%. Kebijakan kenaikan PPN 1%, sepertinya tidak bisa ditawar, tentu akan ada pro dan kontra, namun pembuat kebijakan ”have no way probably”.

Dilain pihak, akan ada penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi dan kenaikan PPN adalah persoalan yang krusial; bisa dianggap double additional cost; Subsidi dihapus, PPN naik. Akan berat memang apabila diberlakukan dengan waktu yang bersamaan.

Objectively, memang pemberian subsidi BBM kepada yang tidak layak menerimanya harus dihapus, sebaiknya semua yang berbentuk subsidi harus dihapus, namun dengan cara “gradually” (mengurangi subsidi “pelan-pelan”) sampai pada saat tertentu “subsidi berakhir”.

Tak logis juga pendapatan pemerintah berasal dari pajak “yang dinaikan”, yang bersumber dari multi-lapisan selanjutnya disubsidi kepada yang tak layak menerimanya.

Disamping itu, Republlik ini tentu tidak bisa terlepas dari “ancaman” Net Zero Emmision (NZE) yang disepakati “para pemimpin bumi” yang diratifikasi oleh 191 negara dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil; batu bara, minyak bumi dst.-nya yang memiliki dampak negatif pada lingkungan dan cadangan energi terbatas, untuk dihentikan pada tahun 2050, sedangkan Republik ini meminta pengunduran untuk diberlakukan pada tahun 2060.

Selanjutnya Program NDC (National Determined Contribution), Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih banyak mempergunakan energi fosil dalam program NZE (Net Zero Emmision), dalam transisi energi memprogramkan Electrifying for the Future (strategi hijau untuk akselerasi NZE hingga tahun 2030. PLN akan memulai juga di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat.

Dalam hal pencapaian “Indonesia Emas 2045”; satu abad Indonesia Merdeka, upaya-upaya pemerintah yang telah dan akan berjalan untuk pencapaian Indonesia Emas 2045 antara lain; mengharmoniskan aturan-aturan melalui konsep Omnibus Law, Hilirisasi enerji yang terbatas, memperbaiki tingkat kecerdasan melalui “stunting” dan “makan gratis” memperbaiki sistim pendidikan (manusia yang berilmu pengetahuan) dan perbaikan kesehatan masyarakat. Disamping itu perlu the older build bridges for the youngs (membangun jembatan kesuksesan bagi yang muda) untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

“Beban” dimasa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bersama Kabinet Merah Putihnya perlu konsentrasi dan kerja keras melalui dukungan semua lapisan masyarakat.

Penulis adalah Ketua Umum Kamar Enterprenuer Indonesia (KEIND) Sumatera Barat

Exit mobile version