Cerpen M. Pajri Zullian*
Ada masa-masa dalam hidup yang tak pernah kita rencanakan, tapi saat ia datang… rasanya seperti pulang. Dan seperti rumah, ia tak harus megah—cukup memberi rasa tenang, meski hanya sementara.
Mungkin hanya sebulan. Mungkin hanya pelatihan. Tapi untuk dua orang yang bertemu di tengah-tengah hari sibuk dan langit-langit asrama yang berisik itu, ada yang lebih dari sekadar nama absen dan tawa formal.
Ada semacam jeda dari dunia. Sebuah ruang kecil di mana waktu berjalan lambat, dan hati boleh bernapas tanpa takut.
Raka datang dengan beban sendiri. Ia sudah memiliki seseorang—perempuan yang bersamanya sejak lama, yang menemani di segala musim perjuangan.
Tapi saat itu, datang sosok lain. Nadia. Perempuan muda yang periang, ringan diajak bicara, dan entah bagaimana, membuat Raka merasa ingin menjaga.
Niatnya bukan untuk bermain hati. Niatnya hanya ingin melindungi.Namun hati adalah makhluk yang tak pernah pandai tunduk pada niat.
Ia berjalan sesukanya, melampaui batas, bahkan saat otak telah memberi peringatan. Setiap interaksi kecil, tawa ringan, obrolan singkat… menjadi bara yang menyala pelan.
Raka sadar betul, ia tak boleh melangkah lebih jauh. Ia berusaha mengingat siapa yang menunggu di ujung telepon, siapa yang pernah menangis dan tersenyum bersamanya.
Tapi tetap saja, ada bagian dari dirinya yang mulai merasa nyaman di samping Nadia.
Hingga suatu hari, Nadia mulai dekat dengan laki-laki lain. Ironisnya, laki-laki itu adalah rekomendasi Raka sendiri. Ada sedikit ruang di dada yang retak.
Cemburu.
Bukan karena cinta, tapi karena kehilangan peran. Karena merasa tergantikan.
Padahal sejak awal, ia tak pernah memiliki.Ia menarik diri pelan-pelan.
Menjauh, bukan karena benci, tapi karena takut makin dalam. Tapi dia juga tak ingin tiba-tiba hilang. Ia ingin tetap hadir, meski dari jauh. Ingin tetap jaga, meski tak bisa punya.
Waktu pun berlalu.
Pelatihan selesai. Keduanya kembali ke dunia nyata. Dunia di mana janji dan status menjadi nyata, dan rasa hanya bisa disimpan dalam diam.
Penutup
Waktu yang Bernama KitaSekarang, mereka menjalani hidupnya masing-masing. Raka dengan tugas dan deadline yang kembali menyita.
Nadia dengan langkah baru yang perlahan menumbuhkan harapan.Keduanya tersakiti. Tapi keduanya juga belajar.
Tak ada pesan lanjutan. Tak ada sesi nostalgia. Tapi mereka tahu, ada masa dalam hidup yang tidak perlu dilanjutkan—cukup dikenang.
Suatu malam, Raka membuka galeri ponselnya. Ada satu foto yang tak pernah ia hapus: potret buram Nadia di bawah langit senja, wajahnya hanya terlihat separuh, tapi senyumnya utuk.
Raka menatapnya lama, lalu tersenyum pelan.
“Nad udah bahagia dan itu cukup.
“Ia meletakkan ponsel dan membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Untuk pertama kalinya, ia mengizinkan dirinya merasa kehilangan sepenuhnya.
Sebulan bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membuat seseorang tinggal lama dalam ingatan.
Karena sesungguhnya, waktu tidak diukur dari panjangnya hari, tapi dari dalamnya rasa yang tertinggal setelah ia pergi.
Dan kisah ini… bukan tentang siapa memiliki siapa, tapi tentang siapa yang sempat hadir dan menjadi rumah, walau hanya sementara.
Maka, cerita ini bukan tentang “aku dan dia,” tapi tentang kita, yang pernah ada dalam satu bulan.
Dan itu cukup. Cukup untuk membuat hati tahu, bahwa pernah ada waktu dalam hidup… yang pantas disebut Sebulan Bernama Kita. (*)
*) Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Sekarang berdomisili di Balimbiang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat