Yang Penting jadi Ketua : Potret Mahasiswa yang Kehilangan Arah Perjuangan

Oleh : Ervin Sandri*)

Ketika nama kita akhirnya terukir di plakat “Ketua Umum”, coba tanyakan pada diri kita: Apa yang sebenarnya kita pimpin? Sebuah gerakan dengan ruh perjuangan, atau sekadar gerbong kosong yang berjalan menuju portofolio CV kita? Tepuk tangan kemenangan mungkin riuh, tapi sering kali itu adalah bunyi paling nyaring yang menutupi sunyinya sebuah pengkhianatan terhadap tujuan awal.

Lupakan sejenak soal idealisme. Singkirkan dulu jargon “agent of change” atau “social control” yang sering kita dengar di ruang-ruang seminar. Mari jujur pada diri sendiri. Di banyak sudut kampus hari ini, ada sebuah kredo baru yang lebih sering diamalkan daripada diucapkan: “Yang penting jadi ketua.” Sebuah mantra yang mengubah arena intelektual menjadi sekadar gelanggang adu pamor, dan mengubah semangat pengabdian menjadi ambisi pribadi yang telanjang.

Gerakan mahasiswa, yang dulunya menjadi momok menakutkan bagi rezim yang korup, kini terancam menjadi sekadar sekolah latihan bagi para politisi transaksional masa depan. Pertanyaan kritisnya bukan lagi “Program kerja apa yang akan kita bawa untuk membawa perubahan?”, melainkan “Dengan posisi ini, apa yang akan aku dapatkan?”. Selamat datang di era di mana jabatan lebih agung daripada fungsi, dan CV lebih penting daripada kontribusi.

Diagnosa Penyakit Kronis: Mengapa “Jadi Ketua” Begitu Menggoda?

Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab. Ia adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam, yang perlahan menggerogoti semangat kolektif mahasiswa.

CV Pergerakan: Di tengah persaingan dunia kerja yang semakin ketat, label “Ketua BEM”, “Ketua Hima or HMPS”, atau “Direktur UKM” dianggap sebagai tiket emas.

Organisasi tak lebih dari sekadar kolom yang harus diisi di LinkedIn atau Curriculum Vitae. Aktivitas di dalamnya diukur bukan dari dampak sosialnya, tapi dari seberapa mentereng bunyinya di atas kertas. Program kerja dijalankan untuk dokumentasi, bukan untuk dedikasi.

Krisis Validasi Diri: Kampus adalah sebuah ekosistem sosial yang kompleks.

Bagi sebagian mahasiswa, jabatan adalah jalan pintas menuju pengakuan. Rasa hormat, kesempatan berbicara di depan umum, dan jejaring dengan para petinggi kampus menjadi candu yang memuaskan ego. Tanpa jabatan, mereka merasa bukan siapa-siapa. Kekuasaan menjadi satu-satunya cara untuk merasa berharga, menutupi rasa insecure yang mungkin terpendam. Betul kan?

Pragmatisme yang Membutakan: “Kita harus realistis,” begitu dalihnya.

Pragmatisme ini membuat mahasiswa lebih memilih untuk “main aman” menjaga hubungan baik dengan birokrasi kampus demi kelancaran proposal daripada menyuarakan kritik yang esensial. Idealisme dianggap naif, sementara lobi-lobi dan kompromi dianggap sebagai kecerdasan politik. Akibatnya, nalar kritis yang seharusnya menjadi senjata utama mahasiswa, perlahan tumpul dan tak terpakai.

Dampak Nyata: Ketika Nakhoda Kehilangan Peta

Ketika seorang pemimpin lebih mencintai posisinya daripada misinya, seluruh kapal akan kehilangan arah. Inilah yang terjadi pada organisasi yang dipimpin oleh mereka yang hanya haus kekuasaan:

Organisasi yang Stagnan: Program kerja menjadi repetitif, hanya mengulang apa yang sudah ada. Tidak ada inovasi, tidak ada terobosan. Energi organisasi habis untuk konflik internal dan politik perebutan pengaruh, bukan untuk menciptakan karya nyata.

Matinyanya Demokrasi Internal: Pemimpin yang haus kuasa cenderung anti-kritik. Ia akan mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang hanya bisa berkata “iya”, sementara suara-suara sumbang dari anggota akan disingkirkan atau diabaikan. Ruang diskusi yang sehat mati, digantikan oleh kultur kepatuhan buta.

Cikal Bakal Korupsi: Pola pikir “jabatan untuk keuntungan pribadi” yang dipupuk di kampus adalah miniatur dari perilaku koruptif yang kita saksikan di level negara. Sikap menghalalkan segala cara untuk menang, politik uang dalam skala kecil, dan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan kelompok adalah bibit-bibit yang jika tidak dicabut, akan tumbuh subur saat mereka memegang kekuasaan yang lebih besar.

Mengembalikan Arah: Ini Bukan Tentang Kamu, Ini Tentang Kita

Lalu, haruskah kita pesimis dan meninggalkan gelanggang? Tentu tidak. Justru kesadaran ini harus menjadi titik balik untuk merebut kembali makna sejati dari kepemimpinan mahasiswa.

Pertama, definisikan ulang makna sukses. Sukses di organisasi bukanlah saat namamu terpampang di spanduk pelantikan, melainkan saat idemu berhasil membantu satu orang mahasiswa yang kesulitan, saat program kerjamu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar, atau saat kritikanmu berhasil mengubah satu kebijakan kampus yang tidak adil.

Kedua, fokus pada karya, bukan jabatan. Pengaruh sejati tidak datang dari Surat Keputusan (SK). Ia datang dari gagasan, integritas, dan kerja nyata. Kamu tidak perlu menjadi ketua untuk memimpin sebuah perubahan. Jadilah anggota yang paling aktif, paling kritis, dan paling solutif. Itulah kepemimpinan yang sesungguhnya.

Ketiga, jadilah oposisi yang sehat. Jika kamu melihat pemimpinmu mulai kehilangan arah, jangan diam. Suarakan kritik dengan cara yang membangun. Ingatkan ia pada janji-janji kampanye dan tujuan mulia organisasi. Sebuah organisasi yang sehat adalah yang memberi ruang bagi perbedaan pendapat.

Pada akhirnya, setiap mahasiswa yang memutuskan masuk ke dalam sebuah organisasi akan dihadapkan pada persimpangan jalan ini. Sebelum namamu tertulis dalam surat keputusan sebagai ketua, tanyakan sekali lagi pada nuranimu: perjuangan siapa yang sedang kamu bawa? Perjuangan kolektif mahasiswa, atau sekadar perjuangan untuk memuaskan egomu sendiri?

Pilihan ada di tanganmu..[]

Anggota Bidang SOSGAM Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Bahasa dan Sastra Arab UIN Imam Bonjol Padang*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *