Oleh : Yurnaldi Paduka Raja*)
Belakangan ini semakin sering kita jumpai fenomena aneh dalam dunia literasi: sebuah lembaga meluncurkan buku antologi yang bukan diterbitkannya, dengan hanya menghadirkan satu penulis dari sekian banyak kontributor.
Acara itu dikemas megah, penuh seremoni, bahkan dipublikasikan seakan-akan lembaga tersebutlah motor di balik lahirnya buku.
Secara sepintas, hal ini tampak sebagai bentuk apresiasi. Namun bila ditelaah lebih jauh, tindakan seperti ini justru menimbulkan pertanyaan etis yang serius: apakah benar ini apresiasi, atau sekadar menunggangi karya orang lain untuk mendongkrak nama sendiri?
Buku antologi adalah karya kolektif. Di dalamnya ada puluhan bahkan ratusan penulis, editor, serta penerbit yang bekerja keras. Mengangkat hanya satu penulis, tanpa memberi tempat bagi penulis lain, apalagi tanpa menyebut peran penerbit yang sah, sama artinya dengan mengaburkan fakta dan mereduksi nilai kolektif dari buku itu sendiri.
Lebih jauh, bila tujuan utama sebuah lembaga adalah mencari pamor atau penghargaan, maka acara peluncuran buku berubah fungsi: dari ruang intelektual menjadi sekadar panggung pencitraan. Inilah yang mencederai esensi literasi—literasi seharusnya mendidik, memperluas cakrawala, bukan alat branding instan.
Tindakan semacam ini tidak hanya berisiko mencoreng nama baik lembaga itu sendiri, tapi juga dapat menimbulkan rasa kecewa di kalangan penulis lain dan penerbit resmi. Mereka yang seharusnya mendapat pengakuan justru terpinggirkan, sementara lembaga yang tak berkeringat dalam proses kreatif berupaya meraih keuntungan simbolik.
Dalam dunia literasi, etika adalah segalanya. Menghargai karya berarti menghargai semua pihak yang terlibat, bukan sekadar memanfaatkan sebagian untuk kepentingan sepihak. Peluncuran buku semestinya menjadi ajang penghormatan bagi penulis dan penerbit, bukan alat untuk mencari sorotan semu.
Literasi akan kehilangan wibawa bila terus diperlakukan sebagai alat branding. Karena itu, masyarakat literasi perlu bersikap kritis: membedakan mana peluncuran buku yang benar-benar bermakna, dan mana yang sekadar pertunjukan simbolik untuk kepentingan lembaga tertentu.
Pada akhirnya, meluncurkan buku itu baik, tapi menunggangi karya orang lain demi pamor adalah praktik yang mencederai. []
Penulis adalah Wartawan, Seniman dan Penulis Buku serta Sastrawan dan Penerima Anugerah Literasi Sumatera Barat 2018*)