Oleh : Dasrul, SS, M.Si *)
Setiap kali kita menyalakan televisi dan menonton tayangan bersama keluarga. Lalu yang kita saksikan adalah deretan sinetron ibu kota yang tak ada habisnya, reality show yang jauh dari realitas, hingga berita nasional yang nyaris tak menyentuh isu lokal dan lingkungan kita.
Lantas, pernahkah kita bertanya-tanya, di chanel mana ada tayangan drama Rancak di Labuah yang sarat nilai-nilai kehidupan itu. Bukankah cerita itu masih dan akan terus relevan hingga zaman sekarang. Terlebih bagi kalangan anak muda yang mulai kering akan sosok figur panutan dan kisah motivasi yang reflektif.
Di mana pula anda menyaksikan liputan tentang upaya pelestarian rumah gadang di nagari anda? Di mana ruang bagi budaya Minangkabau yang kaya filosofi itu untuk bergema?
Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya menyingkap persoalan mendasar dalam lanskap penyiaran kita, khususnya di Sumatera Barat.
Meski memiliki kekayaan budaya yang begitu berlimpah mulai dari tradisi lisan, masakan, pakaian, kesenian, ajaran, hingga sistem nilai adat yang komprehensif, namun semua unsur lokalitas tersebut justru terpinggirkan di ruang publik penyiarannya sendiri. Kita lebih banyak disuguhi dengan konten relay dari pusat atau mengikuti tren nasional yang homogen.
Regulasi Siaran Lokal
Hingga detik ini, penyiaran nasional masih berpayung pada UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Sebuah regulasi yang tergolong tua renta untuk mengatur suatu aktivitas penyiaran yang notabene bersandar pada peran teknologi informasi yang terus “muda” (dinamis dan berkembang setiap waktu).
Bagaimana dengan penyiaran lokal? Sayangnya, dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tidak menyebutkan secara ekplisit tentang pelaksanaan penyiaran lokal. Namun, secara implisit terdapat pasal yang mengatur tentang penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar dalam program siaran muatan lokal (pasal 38 ayat 1). Lantas, di mana terdapat regulasi terkait penyiaran lokal?
Regulasi tentang penyiaran lokal justru terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). P3SPS secara formalitas merupakan produk regulasi yang diamanatkan oleh uu penyiaran untuk ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), itu sebabnya KPI disebut sebagai regulator penyiaran baik di pusat maupun di daerah.
Ringkasnya, P3SPS mengatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan aktivitas penyiaran termasuk sanksi pelanggaran, di mana lembaga penyiaran (televisi dan radio) sebagai subjek dari peraturan tersebut.
Dalam P3 pasal 46 disebutkan bahwa “lembaga penyiaran dalam sistem siaran berjaringan wajib menyiarkan program lokal.”
Lalu dipertegas dengan pasal 68 ayat 1 dalam SPS bahwa “Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk televisi dan paling sedikit 60% (enam puluh per seratus) untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari. Dan secara bertahap wajib ditingkatkan hingga minimal 50 persen untuk televisi (ayat 3).
Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut? Berdasarkan data hasil pantauan KPID Sumatera Barat selama 3 tahun terlihat cenderung stagnan. Khusus stasiun televisi yang bersiaran di Sumbar dengan pola sistem stasiun jaringan (SSJ), belum semua memenuhi kewajiban menayangkan konten lokal minimal 10 persen.
Kalaupun ada, kebanyakan program siaran yang ditayangkan merupakan rerun (pengulangan) dari program yang telah ditayangkan pada periode sebelumnya. Hanya sedikit program siaran yang baru.
Siaran Lokal Butuh Penguatan Regulasi
Di tengah arus globalisasi dan dominasi konten mainstream, keberadaan regulasi penyiaran lokal yang spesifik menjadi kebutuhan mendesak. Regulasi yang ada saat ini, baik UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 maupun aturan turunannya, memang telah mengamanatkan fungsi lembaga penyiaran dalam menjaga dan mengembangkan budaya lokal.
Namun dalam praktiknya, ketiadaan aturan pelengkap yang mengatur secara detail tentang kewajiban konten lokal, nilai ekonomi yang belum terlihat nyata bagi stasiun yang mengangkat lokalitas, hingga sanksi tegas bagi yang mengabaikannya, membuat amanat tersebut sekadar menjadi himbauan tanpa gigi.
Sumatera Barat memerlukan regulasi penyiaran yang lebih kontekstual. Regulasi ini harus mampu menjawab beberapa kebutuhan strategis khususnya menyangkut nilai-nilai lokalitas.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, DPRD Provinsi Sumbar melalui Komisi 1 telah berinisiatif dan berupaya mendorong terbentuknya regulasi penyiaran lokal Sumatera Barat dalam bentuk Peraturan Daerah sejak tahun 2023 silam. Setelah melalui proses formal secara kelembagaan serta konsultasi ke Kemendagri, dengan pertimbangan beberapa alasan, Perda Penyiaran Sumatera Barat sepertinya belum akan terwujud.
Jika regulasi dalam bentuk Perda gagal, maka setidaknya ada jalan lain, apakah dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) atau bisa jadi dengan komitmen kerjasama antara pemangku kepentingan dengan lembaga penyiaran di Sumatera Barat pun tidak masalah.
Karena pentingnya regulasi pelengkap ini bukan sekadar soal proteksionisme budaya. Ini adalah tentang membuka ruang bagi potensi lokalitas Sumbar untuk berkembang secara optimal melalui penyiaran.
Bayangkan jika stasiun lokal diwajibkan menayangkan program dokumenter tentang tokoh-tokoh inspiratif dari nagari-nagari di Sumbar, atau program talkshow yang berdiskusi tentang revitalisasi ekonomi berbasis kearifan lokal.
Bayangkan jika setiap minggu ada slot khusus untuk pertunjukan saluang, talempong, atau teater tutur dalam bahasa Minangkabau yang disiarkan dengan kemasan modern dan menarik. Semua itu bukan hanya akan memperkuat identitas budaya, tetapi juga membuka peluang ekonomi kreatif bagi seniman, produser, dan pelaku budaya lokal.
Lebih jauh lagi, regulasi ini akan menjadi instrumen penting dalam pendidikan karakter dan penanaman nilai bagi generasi muda. Melalui tayangan yang mengangkat filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Tentu, kekhawatiran akan muncul. Ada yang akan berargumen bahwa regulasi tambahan justru akan membebani industri penyiaran yang sudah kesulitan bersaing dengan platform digital. Namun justru di sinilah letak strategisnya: dengan konten lokal yang otentik dan berkualitas, lembaga penyiaran lokal justru memiliki diferensiasi yang tidak bisa ditiru oleh platform digital global. Lokalitas adalah keunggulan kompetitif yang sejati.
Sumatera Barat berdiri di persimpangan. Kita bisa membiarkan ruang publik penyiaran kita terus dikuasai oleh narasi dari luar, atau kita bisa mengambil kendali dengan menciptakan regulasi yang melindungi sekaligus mengembangkan kekayaan budaya kita sendiri. Pertanyaannya bukan lagi “pentingkah?”, tetapi “kapan kita akan mulai?” []
Korbid PKSP Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Barat *)