Essay : Nurul Jannah*)
Menyeruput Cinta, Sebelum Berpisah dari Bumi Banjarmasin
Setiap kota punya caranya sendiri untuk melepas seorang perantau yang akan pergi. Ada yang mengantar dengan gerimis lembut, ada yang menutup perjalanan dengan sunyi. Namun Banjarmasin memilih caranya sendiri: melepas dengan rasa.
Rasa yang hadir lewat semangkuk Soto Banjar: hangat, teduh, dan menenangkan. Di antara uap kuah yang menari dan aroma rempah yang menenangkan, aku merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan; seakan Tuhan sedang berbisik lembut, “Beginilah Aku menutup perjalananmu, setelah enam hari di Kota Seribu Sungai; dengan kelezatan yang bisa kau seruput, dan doa yang bisa kau rasakan.”
Soto Banjar: Doa yang Dimasak Perlahan
Siang itu, sebelum meninggalkan Banjarmasin, aku menepi di sebuah kedai tua yang direkomendasikan sahabat.
“Cobalah Soto Banjar di sana,” katanya,.“rasanya bukan hanya enak… tapi menenangkan jiwa. Seperti doa yang disajikan dalam mangkuk.” katanya.
Dan benar. Saat sendok pertama menyentuh bibir ini, hanya satu kalimat yang terucap: Masya Allah… nikmat mana yang sanggup kudustakan?
Kuahnya bening keemasan, lembut beraroma kapulaga, cengkeh, kayu manis, dan pala. Suwiran ayam kampung, bihun yang halus, kentang dan wortel rebus, serta telur yang utuh, semuanya berpadu seperti cinta yang matang dalam kesabaran.
Taburan bawang goreng dan seledri di atasnya menjadi tanda baca terakhir dari kalimat rasa yang sempurna.
Kedai Kecil, Cerita Besar di Tengah Kota
Kedai itu tidak megah, tapi setiap sudutnya berbicara dalam diam.
Kursi kayu yang sudah renta, foto-foto hitam putih Banjarmasin tempo dulu,
dan aroma kuah yang menembus dinding waktu.
Semuanya menciptakan nostalgia yang menenangkan jiwa.
Aku duduk di pojok, menatap panci besar di dapur yang terus mengepul. Sang penjual, lelaki tua dengan mata teduh, berkata pelan:
“Soto Banjar tidak bisa dimasak terburu-buru. Ia harus diaduk dengan sabar, karena setiap mangkuk membawa doa.”
Aku tertegun. Soto ini memang lahir dari pertemuan tiga peradaban: Banjar, Arab, dan Melayu. Sebuah jejak kuliner dari masyarakat sungai yang ramah, terbuka, dan penuh kasih. Dulu, hanya disajikan untuk tamu kehormatan. Kini, ia menjadi pelukan hangat bagi siapa pun yang singgah.
Soto dan Waktu yang Enggan Beranjak
Mentari siang menari di atas Sungai Martapura, cahayanya menembus air, menyilaukan tapi menenangkan. Di sana aku sadar: dalam setiap perjalanan, selalu ada satu momen kecil yang membuat kita ingin berhenti.
Bagiku, momen itu hadir dalam semangkuk Soto Banjar.
Sahabatku tersenyum, menatapku dengan tatapan mata penuh makna.
“Kalau sudah mencicipi soto ini sebelum pulang,” ujarnya lirih, “biasanya hatimu tak benar-benar pergi dari Banjarmasin. Sebagian dirimu akan selalu tertinggal di sini.”
Ia tidak salah. Sebagian hatiku benar-benar tertinggal di kota ini.
Orang-Orang Baik di Dapur Kehangatan
Di meja sebelah, seorang ibu menyuapi anaknya sambil berbisik lembut,
“Ini, Nak… makanan Banjar yang bisa bikin hati adem.”
Sementara di balik panci, sang penjual menatapku dengan senyum bening dan berkata:
“Setiap mangkuk punya kisah. Ada yang datang karena rindu, ada yang datang untuk berpamitan.”
“Aku datang dengan keduanya,” jawabku sembari tersenyum.
Ketika Rasa Menjadi Bahasa Hati
Soto Banjar tidak hanya mengenyangkan, tapi juga mengajarkan makna cinta dan kesabaran.
Rempah yang menyatu di dalamnya bukan semata bumbu, melainkan doa yang diaduk perlahan agar tak tumpah di tengah perjalanan hidup.
Setiap suapan seakan berbisik lembut: “Hidup tak harus megah. Cukup hangat dan bermakna.”
Aku pun larut. Dalam setiap sendok, aku merasakan ketulusan orang-orang Banjar yang menyiapkannya dengan hati, bukan sekadar tangan.
Ritual Rasa yang Menghidupkan
Aku menatap mangkuk yang mulai kosong. Kuahnya tinggal sedikit, tapi aromanya enggan pergi, seperti kenangan yang menolak dilupakan.
Langit di luar berubah menjadi perpaduan biru dan keemasan, memantulkan cahaya sungai yang tenang di hati.
Dalam diam, aku berdoa: “Ya Allah, jagalah kota ini dengan sungai-sungainya, dengan orang-orang baiknya, dan dengan rasa hangat yang membuat siapa pun ingin kembali.”
Sebelum benar-benar meninggalkan Kota Seribu Sungai, aku berjanji dalam hati: Insya Allah, aku akan kembali. Bukan hanya untuk urusan dunia, tapi untuk menyeruput kembali kenangan yang hidup dalam semangkuk Soto Banjar.❤🔥🌹🎀
Bogor, 12 Oktober 2025