Oligarki Partai Membungkam Generasi Muda dan Perempuan dalam Demokrasi Menuju Indonesia Emas 2045

Oleh : Shelza Putri Danty*)

Indonesia memiliki cita-cita besar menjadi negara maju pada tahun 2045, yang dikenal sebagai Indonesia Emas. Visi ini menekankan kemajuan ekonomi, keadilan sosial, dan kematangan demokrasi. Namun, perjalanan menuju tujuan tersebut bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi atau bonus demografi, melainkan juga kualitas demokrasi yang sehat.

Demokrasi yang sehat menuntut keterbukaan serta ruang bagi generasi muda dan perempuan untuk berperan aktif dalam politik. Sayangnya, kenyataannya menunjukkan hal sebaliknya.

Dominasi elite partai semakin mengakar, menghambat regenerasi politik, dan menjadikan generasi muda maupun perempuan sekadar alat pengumpul suara, bukan pengambil keputusan.

Kondisi ini tidak lagi menjadi rahasia. Banyak partai politik di Indonesia masih dikuasai kepemimpinan lama yang menutup ruang demokrasi internal. Proses rekrutmen calon anggota atau legislatif kerap dilakukan secara tertutup, di mana kedekatan dengan elite atau kekuatan finansial lebih menentukan dibandingkan kemampuan dan integritas.

Tak heran jika praktik politik uang seolah menjadi aturan tak tertulis untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang. Survei KPU 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% calon legislatif dari partai besar mendapatkan dukungan finansial signifikan untuk lolos, sementara kader berintegritas tanpa modal kuat sering tersingkir.

Mayoritas pemilih berasal dari generasi Z dan milenial, yang seharusnya menjadi kekuatan penentu politik. Alih-alih diberi peran dalam pengambilan keputusan, mereka sering diperlakukan hanya sebagai target kampanye digital, didekati melalui konten menarik di media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lainnya.

Ironisnya, ketika pembahasan sudah menyangkut jabatan strategis dan posisi penting, suara generasi muda seketika menghilang. Ketidakselarasan ini menimbulkan kekecewaan sekaligus pandangan negatif terhadap partai politik, yang dianggap tidak terbuka dan gagal mewakili aspirasi anak muda. Apakah generasi muda hanya akan terus menjadi penonton dalam politik yang seharusnya mereka kuasai?

Fenomena serupa juga dialami perempuan. Undang-undang mewajibkan setiap partai politik mengajukan minimal 30% calon legislatif perempuan. Namun, aturan ini sering dijalankan hanya sebagai formalitas.

Banyak partai mencantumkan nama perempuan semata untuk memenuhi syarat administratif KPU, tanpa dukungan nyata. Baik dukungan politik maupun modal bagi caleg perempuan sangat terbatas, sehingga peluang mereka benar-benar berperan dalam politik pun kecil.

Akibatnya, kursi kekuasaan dan pusat pengambilan keputusan tetap didominasi laki-laki, sementara isu-isu gender sering tersingkir dari agenda nasional. Semua masalah ini terlihat jelas dalam Pemilu 2024–2025, yang seharusnya menjadi momentum penting menuju Indonesia Emas 2045.

Transparansi pendanaan politik masih rendah, sehingga membuka ruang bagi praktik transaksional yang semakin mengakar. Hubungan erat antara elite politik, kepentingan bisnis besar, dan kebijakan publik memperlihatkan betapa jauh realitas dari cita-cita demokrasi yang berpihak pada rakyat.

Jika keadaan ini dibiarkan, demokrasi akan terus menjadi alat kekuasaan segelintir orang, bukan sarana partisipasi masyarakat.

Akibat kondisi ini, banyak generasi muda berintegritas dan idealis enggan terjun ke dunia politik. Mereka menghadapi sistem yang timpang, sulit ditembus tanpa modal finansial maupun koneksi tertentu.

Di satu sisi, Indonesia bangga dengan prestasi anak muda di dunia digital; di sisi lain, politik tetap dikuasai elite lama yang enggan membuka ruang bagi partisipasi mereka. Kondisi serupa juga dialami perempuan, yang seharusnya menjadi penggerak kebijakan adil dan berpihak pada publik, tetapi keterlibatan mereka masih sangat terbatas.

Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa langkah harus ditempuh. Pertama, reformasi internal partai menjadi prioritas, dengan proses seleksi, kaderisasi, dan pelatihan yang adil dan transparan. Kesempatan harus diberikan kepada individu yang memiliki kualitas, kemampuan, dan niat baik, bukan hanya kepada mereka yang memiliki uang atau koneksi.

Kedua, pendanaan politik harus diperketat dan diawasi agar politik kembali bersih, fokus pada kepentingan publik, dan tidak dikuasai kelompok berduit yang membeli pengaruh. Ketiga, keterlibatan perempuan dan generasi muda harus nyata, bukan sekadar pemenuhan kuota formalitas.

Mereka harus diberi akses dalam pengambilan keputusan dan dukungan setara dengan tokoh senior. Keempat, literasi politik masyarakat perlu diperkuat, agar praktik oligarki dan politik transaksional semakin sulit bertahan.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, politik Indonesia akan lebih inklusif dan sehat, memberi ruang bagi generasi muda dan perempuan untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.

Mereka bukan sekadar pemilih atau simbol formalitas, tetapi penggerak kebijakan yang adil dan berpihak pada publik. Dengan demikian, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, tetapi tujuan yang dapat diwujudkan melalui demokrasi yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.

Politik Indonesia tidak akan maju jika generasi muda dan perempuan terus dibungkam oleh elite dan uang. Tanpa transparansi, akses nyata, dan keberanian reformasi, demokrasi hanya menjadi alat kekuasaan segelintir orang. Indonesia Emas 2045 baru mungkin jika politik kembali berpihak pada rakyat, bukan kepentingan segelintir elite.

Generasi muda dan perempuan bisa menjadi motor perubahan politik, mendorong kebijakan yang adil, dan memperkuat demokrasi Indonesia.an, yang seharusnya menjadi penggerak kebijakan adil dan berpihak pada publik, tetapi keterlibatan mereka masih sangat terbatas.

Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa langkah harus ditempuh. Pertama, reformasi internal partai menjadi prioritas, dengan proses seleksi, kaderisasi, dan pelatihan yang adil dan transparan. Kesempatan harus diberikan kepada individu yang memiliki kualitas, kemampuan, dan niat baik, bukan hanya kepada mereka yang memiliki uang atau koneksi.

Kedua, pendanaan politik harus diperketat dan diawasi agar politik kembali bersih, fokus pada kepentingan publik, dan tidak dikuasai kelompok berduit yang membeli pengaruh.

Ketiga, keterlibatan perempuan dan generasi muda harus nyata, bukan sekadar pemenuhan kuota formalitas. Mereka harus diberi akses dalam pengambilan keputusan dan dukungan setara dengan tokoh senior.

Keempat, literasi politik masyarakat perlu diperkuat, agar praktik oligarki dan politik transaksional semakin sulit bertahan.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, politik Indonesia akan lebih inklusif dan sehat, memberi ruang bagi generasi muda dan perempuan untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.

Mereka bukan sekadar pemilih atau simbol formalitas, tetapi penggerak kebijakan yang adil dan berpihak pada publik. Dengan demikian, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi, tetapi tujuan yang dapat diwujudkan melalui demokrasi yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.

Politik Indonesia tidak akan maju jika generasi muda dan perempuan terus dibungkam oleh elite dan uang. Tanpa transparansi, akses nyata, dan keberanian reformasi, demokrasi hanya menjadi alat kekuasaan segelintir orang.

Indonesia Emas 2045 baru mungkin jika politik kembali berpihak pada rakyat, bukan kepentingan segelintir elite. Generasi muda dan perempuan bisa menjadi motor perubahan politik, mendorong kebijakan yang adil, dan memperkuat demokrasi Indonesia.[]

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas*)

Exit mobile version