“Berhenti Tepat Waktu adalah Bentuk Keberanian”

Oleh : Nurul Jannah

Pulang Sebelum Jiwa Benar-Benar Kehilangan Arah

Berhenti tepat waktu bukanlah kekalahan. Ia adalah penolakan paling sunyi untuk mati perlahan.

Mari kita jujur pada diri sendiri. Tidak semua yang bertahan sedang berjuang. Sebagian hanya sedang sekarat dalam diam, menahan luka sambil berpura-pura kuat.

Budaya kita terlalu lama memuliakan ketahanan tanpa pernah bertanya tentang kerusakan yang ditinggalkannya.

Kita memuja mereka yang disebut “tangguh”, namun menutup mata pada kenyataan bahwa kekuatan itu sering dibayar mahal, dengan kesehatan mental, harga diri, dan hilangnya arah hidup. Kita mengagungkan daya tahan, sambil mencibir mereka yang memilih pergi.

Padahal, tidak semua luka yang datang untuk disembuhkan. Terkadang ia hadir sebagai pesan agar kita berhenti. Berhenti melangkah di jalan yang tak lagi membawa damai. Berhenti memaksa diri bertahan di ruang yang membuat jiwa semakin sempit. Dan berhenti mengira bahwa sabar selalu berarti tinggal.

Dalam sunyi, Allah sering berbicara bukan dengan kata-kata, melainkan dengan rasa. Rasa sesak yang tak juga reda. Lelah yang tak lagi pulih. Doa yang terasa hampa meski telah panjang.

Kita kerap salah paham tentang sabar. Kita memaknainya sebagai kemampuan menahan apa pun, sejauh apa pun, selama apa pun. Padahal sabar juga berarti tahu kapan harus mundur dengan ikhlas, agar yang tersisa dari diri kita tidak habis sama sekali.

Ada saatnya Allah menutup pintu bukan untuk menghukum, melainkan untuk melindungi. Ada perpisahan yang bukan kegagalan, melainkan jalan pulang. Ada kepergian yang bukan pengkhianatan, melainkan penyelamatan.

Berhenti tepat waktu lahir dari perenungan panjang. Dari dialog sunyi, antara nurani dan iman, dari keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua yang kita perjuangkan layak untuk terus ditinggali.

Ketika sebuah tempat membuat kita kehilangan rasa syukur, kehilangan kelembutan, dan kehilangan diri sendiri, tinggal di sana bukan lagi ibadah. Ibadah justru dimulai ketika kita menjaga amanah paling dasar: diri yang dititipkan Allah.

Berhenti, dalam makna terdalamnya, adalah tawakal. Ia tidak berisik. Tidak mencari pembenaran. Ia hanya taat pada bisikan kebenaran yang paling jujur.

Maka jika suatu hari kita harus pergi, pergilah dengan tenang. Tentu saja bukan karena kalah, melainkan karena kita memilih hidup dengan jiwa yang masih utuh.

Berhenti memang kerap dicap sebagai kegagalan. Padahal yang sesungguhnya gagal sering kali adalah sistem, relasi, pekerjaan, atau struktur sosial, yang menuntut pengorbanan tanpa penghormatan.

Banyak dari kita, terutama perempuan, dipaksa bertahan demi citra, demi keluarga, demi nama baik, demi peran. Padahal yang dikorbankan bukan hal kecil, melainkan martabat.

Kita jarang bertanya, “Apakah ia masih utuh?”. Yang kita tanyakan justru, “Mengapa ia tidak bertahan sedikit lagi?”

Pertanyaan itu kejam. Karena tidak semua pengorbanan melahirkan kemuliaan. Sebagian justru menghapus keberadaan.

Berhenti tepat waktu adalah tindakan sadar. Ia adalah penolakan untuk terus dimanfaatkan. Ia adalah keberanian untuk berkata: cukup.

Perempuan yang berhenti bukan perempuan lemah. Ia perempuan yang sadar nilai dirinya. Ia pergi bukan karena kalah, melainkan karena menolak mati perlahan di tempat yang tidak pernah menjaganya.

Karena sesungguhnya, bertahan tidak selalu mulia, dan pergi pun tidak selalu salah. Yang keliru adalah bertahan terlalu lama hingga kita lupa siapa diri kita.

Maka, berhentilah tepat waktu, dengan kepala tegak dan jiwa yang masih hidup. Sebab hidup bukan tentang seberapa lama kita bertahan, melainkan seberapa jujur kita menjaga diri agar tetap menjadi manusia yang utuh.👏

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version