Langit Malam di Hari Ke-41

Cerpen: Yuwanda Efrianti*

Katanya, orang yang pernah menghilang akan kembali. Tapi tak ada yang bilang, mereka bisa kembali sebagai orang lain.

Di sebuah desa yang tak masuk peta wisata, tinggal seorang perempuan bernama Rara. Usianya 26, rambutnya selalu digelung setengah, dan ia punya satu kebiasaan, menulis surat untuk orang yang sudah mati.

Setiap malam Jumat, ia duduk di bawah pohon trembesi, membawa termos teh dan sebuah buku lusuh berisi surat-surat yang tak pernah ia kirim. Surat untuk ibunya, untuk guru SD-nya, untuk mantan kekasih yang tewas tertabrak bus, bahkan untuk seekor kucing jalanan yang pernah menemaninya bertahun-tahun lalu.

“Kalau besok aku mati, aku harap ada yang menulis surat untukku juga,” katanya suatu malam, saat angin membawa aroma tanah basah.

Tak ada yang menjawab. Karena memang tak ada siapa-siapa di sana.

Hingga suatu hari, di hari ke-41 setelah ayahnya meninggal, Rara menerima sebuah surat misterius. Tanpa pengirim. Hanya ditulis satu kalimat:

“Jangan berdiri di sisi kanan pusara, kau akan melihat sesuatu yang tak ingin kau tahu.”

Ia tak langsung mengerti maksudnya. Tapi surat itu membuatnya gelisah selama tiga hari tiga malam. Sampai akhirnya ia datang ke makam ayahnya, tepat di waktu subuh, dan berdiri—ya, tentu saja—di sisi kanan pusara.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Seseorang berdiri diam di kejauhan, mengenakan baju ayahnya, membawa tas kerja ayahnya, dan bahkan menyenandungkan lagu favorit ayahnya: “Sapu tangan merah jambu…”

Tapi itu bukan ayahnya.

Langkahnya terlalu ringan. Bahunya tak membungkuk. Dan yang paling mengerikan adalah, ketika orang itu menoleh, Rara tak melihat wajah ayahnya, melainkan wajahnya sendiri.

Ya. Wajahnya. Persis. Dengan tahi lalat di bawah mata kiri. Dengan luka kecil di bibir. Bahkan dengan cincin batu akik warisan nenek yang selama ini hanya Rara yang punya.

Orang itu versi lain dari dirinya menatap Rara dalam-dalam dan berkata dengan suara tenang:

“Aku adalah kamu yang seharusnya mati 41 hari lalu. Tapi semesta mengizinkanmu hidup. Dan aku datang untuk mengambilnya kembali.”

Seketika dunia berputar. Rara ingin lari, tapi tubuhnya tak bergerak. Ingin berteriak, tapi suara tertahan. Lalu orang itu—dirinya—menghilang dalam kabut pagi, menyisakan hanya selembar surat baru di atas pusara:

“Terima kasih telah menjaga hidupku. Sekarang giliranmu menjaga matiku.” (*)

* Penulis adalah Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Uni Duta Kampus UIN Imam Bonjol Padang Tahun 2025 dan Peserta sIBac-SIP Australia

Exit mobile version