Essay : Nurul Jannah*)
Ketika Bara Menyala untuk Bumi : Di Antara Api, Debu, dan Doa
Langit Tabalong mulai benderang ketika aku berdiri di depan patung Bekantan yang menjulang gagah, sosok baja yang seolah lahir dari bara dan keyakinan. Tubuhnya tegap, wajahnya keras, dan matanya menatap jauh ke depan; seakan berbisik: “Berjuanglah sampai putih, jangan menyerah, sampai nafas terakhir.”
Angin tambang berhembus membawa aroma tanah, logam, dan harapan. Debu berputar lembut di udara seperti doa yang belum selesai diucapkan. Bekerja di bumi ini bukan hanya soal menggali batu bara, melainkan menggali makna tentang hidup, tanggung jawab, dan cinta yang tak terlihat.
Di balik hiruk mesin dan panas bara, aku menyaksikan kesungguhan manusia yang bekerja bukan untuk menguras bumi, tetapi untuk menghidupkannya kembali.
Inilah PT Adaro Indonesia; tempat di mana energi tidak hanya dibakar, tetapi disucikan menjadi cahaya kesadaran.
Di Jantung Borneo yang Masih Bernapas
Kalimantan Selatan adalah dada bumi yang berdetak antara hutan, batu bara, dan doa. Di sinilah Adaro menancapkan jejaknya; bukan sekadar di peta industri, tapi di hati masyarakat yang tumbuh bersamanya.
Setiap langkah di tanah ini adalah pilihan: meninggalkan luka atau menanam harapan.
Dan Adaro memilih yang kedua.
Mereka datang bukan dengan janji, melainkan dengan bukti yang berakar di tanah dan berbuah di nurani. Dari lereng tambang hingga desa terpencil, mereka menanam kembali kehidupan. Menambang untuk masa depan, bukan untuk kerakusan. Menyalakan bara agar bumi tak lagi gelap, tetapi tetap bernyawa.
Para Penjaga Bara, Bukan Pembakar Bumi
Di balik seragam oranye dan helm baja itu, ada wajah-wajah penuh debu namun bercahaya harapan.
Mereka bukan hanya pekerja tambang, tetapi penjaga bumi yang mencintai profesinya dengan iman.
“Kami tidak hanya mencari nafkah,” ujar seorang pekerja sambil menyeka peluh di dahinya, “kami sedang memastikan anak-anak kami kelak masih bisa melihat gunung, mencium wangi hujan, dan menyentuh tanah yang sama.”
Di atas mereka berdiri para pemimpin yang melihat tambang bukan sebagai ladang laba, tetapi ladang amanah. Amanah untuk menjaga bumi, menyalakan kehidupan, dan mewariskan harapan kepada generasi yang belum lahir.
Dari Lubang Tambang Menjadi Ladang Kehidupan
Di Adaro, pengelolaan lingkungan bukan hanya kewajiban semata; ia adalah napas yang menghidupkan seluruh sistem. Setelah batu bara diangkat, tanah tidak dibiarkan terluka. Ia dirawat, disembuhkan, dan dikembalikan kepada ibu bumi.
Bekas lubang tambang berubah menjadi danau biru yang tenang; tempat air beristirahat dan kehidupan kembali bernafas. Air limbah diolah menjadi sumber kehidupan bagi warga; energi surya kini menyalakan rumah-rumah di tepian tambang.
Desa-desa binaan seperti Kampung ASRI menjadi oase baru. Petani menanam, pemuda berkreasi, perempuan berdaya. CSR di sini bukan hanya program, tetapi denyut nadi kemanusiaan yang nyata.
Saat Bara Menjadi Cahaya
Perjalanan Adaro bukan kisah sehari dua hari. Ia tumbuh dari era 1990-an; masa ketika industri tambang hanya bicara tentang hasil, bukan dampak. Namun waktu dan nurani menyalakan kesadaran. Dari menggali menjadi memperbaiki. Dari mengeksploitasi menjadi menyembuhkan.
Kini, lebih dari dua dekade kemudian, Adaro bukan hanya perusahaan energi, melainkan pelita kesadaran. Bara yang dulu membakar, kini menyala menjadi cahaya yang menuntun langkah menuju keberlanjutan.
Karena Bumi Tak Punya Pengganti
Mengapa mereka tak berhenti menanam, padahal tanahnya pernah gersang? Mengapa mereka membersihkan air yang telah keruh, menyalakan listrik di tengah gelap?
Karena mereka tahu: bumi hanya satu. Dan dosa terhadap bumi adalah dosa terhadap masa depan.
“Kami ingin meninggalkan jejak tangan, bukan bekas luka,” ujar seorang manager lingkungan dengan suara bergetar. “Keberlanjutan bukan proyek, tetapi warisan.”
Adaro telah belajar mencintai bumi sebagaimana manusia mencintai ibunya; dengan syukur, dengan kelembutan, dengan tanggung jawab.
Dengan Tangan, Teknologi, dan Nurani
Di Adaro, sains dan nurani berjalan seiring. Ada teknologi presisi, pengolahan limbah, biogas, PLTS, dan daur ulang air tambang. Namun yang paling indah bukan mesinnya, melainkan manusia yang mengendalikannya dengan hati.
Setiap karyawan diajarkan untuk berpikir ekologis. Setiap proyek harus tumbuh bersama kehidupan. Setiap keberhasilan diukur bukan dari volume produksi, melainkan dari jumlah pohon yang berakar dan senyum yang kembali mekar.
Inilah makna sejati dari keberlanjutan yang berjiwa:
Sustainability with soul: keberlanjutan yang bertumbuh dari cinta.
Bara yang Menyala untuk Kehidupan
Matahari kini menanjak tinggi. Patung merah itu berdiri kokoh, memantulkan cahaya yang seolah berkata: “Kami akan terus berlari, sampai putih, tak menyerah.”
Aku menatapnya lama. Di balik baja yang kaku, aku melihat kelembutan tekad. Di balik batu bara, aku melihat kehidupan. Di balik tambang, aku melihat taman. Di balik kerja keras, aku melihat cinta.
Adaro telah membuktikan bahwa kekuatan sejati bukan pada mesin, tetapi pada hati manusia yang memilih menjaga, bukan menghancurkan. Karena “Waja Sampai Kaputing” bukan semata semboyan, tetapi napas perjuangan: bertekad baja hingga akhir demi bumi yang dicintai.
Bara yang Menjadi Janji
Dan di bawah langit Kalimantan yang berwarna jingga sore itu, aku tahu: selama masih ada manusia yang mencintai bumi seperti ini, harapan tak akan pernah padam.
Sebab di tangan mereka yang bekerja dengan keikhlasan, bara akan terus menyala: bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi jalan pulang kemanusiaan.❤🔥🌹🎀
Bumi Allah, 16 Oktober 2025
Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)