“Sumatera Berdarah, Kita Masih Menghitung Untung”

Oleh : Nurul Jannah*)

Tentang Bencana, Tentang Tamak, Tentang Kita

Banjir bandang menerjang. Longsor merobek perbukitan. Sungai meluap seperti urat nadi yang pecah. Desa-desa runtuh dalam hitungan detik. Tubuh-tubuh lelah diseret arus tanpa sempat berpamitan. Ini tentu bukan bencana alam biasa. Ini adalah rekaman panjang dari luka yang kita ciptakan perlahan, lalu dipercepat oleh keserakahan.

Dan semua itu terjadi di Sumatera, tanah yang dulu kita sebut paru-paru Indonesia, rahim hijau yang menyangga hujan, penjaga sungai, penyangga kehidupan. Di tanah yang pernah kita banggakan karena hutannya, gunungnya, sungainya.

Kini tanah itu berdarah, dan darah itu mengalir dari akar-akar yang kita cabut sendiri.

Tidak hanya hari ini. Tidak hanya kemarin. Bencana ini adalah akumulasi dari puluhan tahun pembiaran. Dari izin-izin yang disulap cepat. Dari pembabatan yang dilakukan diam-diam. Dari lubang-lubang yang ditinggalkan tanpa pertanggungjawaban. Hujan hanya pemicu. Dan, kerusakan adalah dampak, yang kemudian menjadi warisan.

Siapa yang paling terluka? Bukan pemilik modal. Bukan pemegang kuasa. Yang tenggelam adalah rumah-rumah miskin. Yang hanyut adalah dapur-dapur kecil. Yang menangis adalah ibu-ibu tanpa tempat pulang dan anak-anak tanpa sekolah serta lansia tanpa desa. Mereka membayar mahal atas dosa yang tidak mereka lakukan.

Luka Yang Kita Rancang Sendiri

Sumatera tidak hancur dalam semalam. Ia dilemahkan pelan-pelan. Setiap pohon yang tumbang tanpa reboisasi adalah doa keselamatan yang kita cabut. Setiap lereng yang digali tanpa konservasi adalah liang yang kita siapkan untuk bencana. Setiap sungai yang kita cemari adalah pesan kematian yang kita titipkan untuk anak-cucu. Bencana ini bukan takdir semata. Ini adalah desain yang kita sempurnakan dengan kelalaian.

Mengapa semua ini terjadi?
Karena kita menukar keseimbangan dengan pertumbuhan semu. Karena kita mengukur keberhasilan dengan grafik untung, bukan dengan napas manusia. Karena kita lebih cepat menandatangani izin daripada menandatangani komitmen menjaga. Karena keserakahan lebih sering menang daripada kesadaran.

Ketika Alam Memutuskan Berbicara Tanpa Bahasa.

Alam sebenarnya sudah terlalu sering memberi peringatan. Air naik lebih cepat. Tanah makin rapuh. Musim makin tak menentu. Tetapi kita menutup telinga dengan dalih ekonomi. Kita membungkam tanda-tanda dengan laporan yang rapi. Hingga akhirnya, alam berhenti memberi isyarat, dan mulai berteriak dengan kehancuran. Dan teriakan itu tidak lagi sopan. Ia merobohkan apa saja yang dilewatinya.

Bagaimana bencana ini terjadi? Bukan hanya karena hujan turun deras. Tetapi karena hutan tak lagi sanggup menahan. Karena tanah tak lagi punya akar untuk bertahan. Karena sungai tak lagi punya ruang untuk bernapas. Air tidak salah. Gunung tidak jahat. Yang tak seimbang adalah cara kita memperlakukan mereka.

Sumatera Tidak Meminta Dikagumi, Ia Meminta Dijaga

Sumatera tidak butuh puisi indah tentang hijaunya. Ia hanya ingin kita berhenti melukainya. Ia tidak meminta kita menghafal statistik bencana. Ia hanya ingin kita mengubah cara hidup. Karena sejatinya, bumi tidak menuntut manusia menjadi sempurna, bumi hanya meminta manusia menjadi cukup.

Hari ini, Sumatera menangis bukan karena lemah. Ia menangis karena terlalu lama kuat sendirian.

Dan jika hari ini kita hanya sibuk mengirim doa tanpa mengubah perilaku, jika kita hanya bersedih tanpa berani menghentikan sumber luka, maka bencana berikutnya bukan lagi pertanyaan “jika”, tetapi “kapan dan di mana.”

Karena sejatinya, yang sedang diuji bukan kekuatan Sumatera, melainkan kemanusiaan kita.😭😭

Jakarta, 11 Desember 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version