“Seratus Hati untuk Satu Cahaya”

Tangis, Cinta, dan Warisan Abadi dalam “A Tribute to Pipiet Senja”

Oleh : Nurul Jannah*)

Buku A Tribute to Pipiet Senja: Jejak Inspirasi dan Warisan Sastra bukan Buku Antologi biasa. Ia merupakan mighrab cinta, dan rumah kenangan yang dibangun oleh seratus hati manusia yang pernah disentuh oleh satu nama: Pipiet Senja.

Buku ini tidak memamerkan prestasi. Ia menyusun kisah tentang sabar, doa, dan keteguhan. Ia tidak hanya mengenang seorang penulis. Ia memeluk seorang ibu, guru, sahabat, dan cahaya, dalam bahasa sastra yang abadi.

Pena yang Lahir dari Luka, Tumbuh Menjadi Lentera

Pipiet Senja tidak menulis dari kenyamanan. Ia menulis dari ranjang sakit, dari tubuh rapuh yang sejak kecil bersahabat dengan thalassemia. Namun justru dari keterbatasan itulah, lahir kekuatan paling jernih, yaitu keteguhan jiwa.

Ia mengajarkan sesuatu yang sangat mahal, bahwa sakit bukan alasan untuk berhenti hidup, bahwa luka bukan alasan untuk berhenti memberi cahaya.

Seratus penulis dalam buku ini bersaksi tentang hal yang sama. Pipiet tidak hanya menulis cerita ataupun kisah, ia menyalakan manusia.

Seratus Penulis, Seratus Cara Mencintai

Yang membuat buku ini begitu menghantam batin adalah cara setiap penulis hadir bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai orang-orang yang benar-benar pernah disentuh hidupnya oleh Pipiet.

Pipiet hadir sebagai guru yang sabar, sahabat yang mendekap, ibu yang menguatkan dalam sunyi, penulis yang tetap menulis bahkan saat napasnya sendiri diuji.

Setiap tulisan adalah doa yang berjalan. Setiap judul adalah pelukan yang tertahan. Setiap halaman adalah perpisahan yang diucapkan dengan cinta.

Buku ini lebih menyerupai elegi upacara pulang yang dilakukan perlahan, agar kehilangan tidak membuat kita jatuh terpelanting terlalu keras.

Manini di Mata Anak & Cucu: Cinta yang Paling Murni

Puncak paling menggetarkan dalam buku ini tidak datang dari teori sastra atau esai panjang. Ia datang dari suara paling jujur: suara keluarga.

Dari putrinya, Zhizhi Siregar, lewat tulisan “Ibuku Cantik Sekali Hari Ini”, kita melihat Pipiet sebagai ibu, yang tetap menulis sambil menyembunyikan rasa sakit dan gemetar, yang tetap tersenyum kepada dunia sembari diam-diam mengajari putri cantiknya tentang arti tegar, sekaligus arti mencintai sepenuh hati.

Dalam tulisan Zhizhi, Pipiet bukan hanya cantik karena wajah. Ia cantik karena keberanian untuk hidup, sekalipun hidup tidak pernah ramah padanya.

Dan kita pun sadar: tidak ada kehilangan yang lebih sunyi dari kehilangan seorang ibu yang terlalu kuat untuk mengeluh.

Tentu saja ini bukan tulisan biasa. Ini adalah ratapan yang disulam dengan kasih dan keberanian.

Luka terdalam sekaligus paling suci datang dari suara cucu tercinta, Athena Qania Z.

Melalui tulisan dengan tajuk For You: Manini, Athena tidak berbicara tentang legenda sastra. Dengan polos dan beningnya, ia berbicara tentang nenek yang menemaninya mengerjakan PR, yang bernyanyi bersamanya, yang menjadikan rumah terasa hangat.

Ia menulis tentang rumah yang kini sunyi, tentang kamar yang kini kosong, tentang suara yang kini hanya tinggal gema.

Dan ketika ia menulis bahwa ia masih berjalan melewati kamar Manini, tempat yang dulu penuh suara, dada ini terasa sesak.

Semua kita tentu sadar: ini bukan sekadar kehilangan tokoh besar. Ini adalah kehilangan seorang anak kecil terhadap rumah pertamanya.

Di titik inilah buku ini mencapai puncak kesakitan sekaligus kesuciannya. Saat warisan Pipiet Senja bukan lagi sekadar buku, tetapi cinta yang hidup dalam jiwa seorang cucu.❤‍🔥🌹🎀

Bogor, 9 Desember 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version