“Ketika Warna-warna Ikut Berdzikir”

“Menjejak Cinta dan Doa di Kampung Sasirangan, Banjarmasin; Tempat Warna Tak Pernah Mati”

Essay : Nurul Jannah*)

Warna-warna Indah yang Menyentuh Langit

Langit Banjarmasin sore itu seperti cermin surga yang diturunkan ke bumi. Angin sungai Martapura membawa aroma basah, berpadu dengan wangi pewarna alami dari rumah-rumah panggung di tepi air.

Aku berhenti di depan gapura bertuliskan: “Kampung Sasirangan: Warisan Banua, Warna dari Jiwa.”

Dari balik tirai bambu, tampak perempuan-perempuan Banjar sedang menenun keindahan. Jemari mereka menari di atas kain putih, mengikat, menjahit, menorehkan doa. Suara air, tawa anak-anak, dan desah kain yang diperas menjadi satu irama yang lembut sekaligus sakral.

“Bu, warnanya kok bisa seindah ini?” tanyaku takjub.

Ibu Halimah, perempuan berkerudung hijau itu menatapku sambil tersenyum, matanya teduh seperti sungai yang dalam.

“Karena setiap warna lahir dari hati, Nak. Bukan dari cat, tapi dari doa.”

Siapa yang Melahirkan Warna Ini?

Sasirangan lahir dari jiwa Banjar yang lembut tapi teguh. Konon, pada abad ke-14, ketika Patih Lambung Mangkurat bermeditasi di Sungai Kuin, muncullah Putri Junjung Buih, sosok mistik dari dasar sungai. Ia meminta dibuatkan kain sakral dengan corak khusus sebagai simbol pemersatu kerajaan dan rakyat.

Sejak itulah kain sasirangan menjadi wastra suci, hanya dipakai dalam ritual penyembuhan dan doa adat. Warna-warnanya bukan sembarang warna, melainkan penyembuh jiwa, penguat semangat, penjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Dan kini, setelah ratusan tahun berlalu, doa itu masih hidup, dijaga oleh tangan-tangan sederhana di kampung kecil di tepi sungai.

Di Mana Warna Itu Dihidupkan Kembali?

Kampung Sasirangan terletak di Seberang Mesjid, Banjarmasin Tengah, kampung air yang berdiri di atas tiang kayu ulin. Setiap rumah di sini adalah bengkel cinta. Kain-kain tergantung di jemuran, menari seperti pelangi yang jatuh ke bumi.

Di bawah rumah, air mengalir pelan, memantulkan warna biru, merah, hijau, dan jingga. Seolah sungai Martapura sedang ikut berzikir, menyebut nama-nama warna dengan lembut: sabar, syukur, cinta, doa.

Aku terdiam lama. Di tempat ini, keindahan bukan diukir dengan kuas, tapi dengan kesabaran, tetes air mata, dan napas panjang para penjaga tradisi.

Bagaimana Warna Itu Dicipta?

Aku diajak masuk ke salah satu rumah pengrajin. Seorang gadis muda duduk bersila di lantai, jarinya menjahit kain putih yang sudah diberi pola.

“Ini tahap nyirang,” katanya lirih. “Harus hati-hati, kalau salah ikat, coraknya bisa berubah.”

“Kalau berubah?”

“Ya… artinya doanya juga berubah.”

Prosesnya panjang dan penuh makna.

Kain dijahit dan diikat satu per satu. Direndam dalam pewarna alami dari daun pandan, kulit manggis, kunyit, atau akar mengkudu.

Setelah kering, benang ikatan dilepas. Lalu… ajaib!Corak-corak indah muncul, seperti rahasia langit yang akhirnya diungkapkan bumi.

Setiap lipatan adalah rahasia, setiap warna adalah doa. Setiap helai kain adalah surat cinta manusia kepada Tuhan.

Mengapa Coraknya Begitu Hidup?

Karena setiap motif menyimpan filosofi kehidupan.

Gigi Haruan: keteguhan dalam menghadapi hidup. Kembang Kacang: kasih sayang yang tak putus. Kulit Kurikit: kesabaran yang tak lekang waktu. Daun Jarum: perlindungan dari marabahaya.

“Kalau kainnya untuk orang yang sedang sakit, warnanya biasanya hijau,” ujar sang ibu sambil menunjuk selembar kain.

“Kalau untuk pengantin, kuning. Kalau untuk kekuatan batin, merah saga.”

Aku menatapnya, terharu. “Jadi setiap warna punya tujuan hidupnya sendiri.”

“Iya, Nak. Seperti kita.”

Kapan Tradisi Ini Bertahan?

Tradisi sasirangan bertahan lebih dari enam abad, melintasi masa kolonial, perang, modernisasi, dan digitalisasi.

Dulu, ia hampir punah, tersisih oleh kain impor dan mode cepat. Tapi cinta lebih kuat dari perubahan.

Tahun demi tahun, para ibu di kampung ini terus menenun. Kadang tanpa pesanan, kadang tanpa keuntungan.

“Membuat sasirangan itu seperti ibadah,” kata Ibu Halimah pelan. “Biar sedikit hasilnya, tapi hati ini tenteram.”

Dan kini, Kampung Sasirangan telah kembali bersinar. Ia bukan hanya produk wisata, tapi napas sejarah yang berdenyut di tubuh Banjar.

Dialog dari Hati

Sore itu, aku duduk di tepi sungai, menatap langit yang mulai berwarna oranye. Ibu pengrajin duduk di sebelahku sambil memeras kain terakhir hari itu.

“Bu, apakah warna bisa bicara?” tanyaku.

Ia tersenyum. “Bisa, Nak. Tapi hanya yang hatinya bersih yang bisa mendengar.”

Aku menatap air yang berkilau. Dalam pantulannya, kulihat warna-warna yang tak sekadar indah, tapi hidup. Dan aku tahu, aku sedang belajar mendengarkan bahasa yang lebih tua dari kata-kata.

Di Balik Warna, Ada Air Mata yang Mengalir

Kampung Sasirangan bukan hanya tempat membuat kain semata. Ia adalah rumah bagi doa-doa yang tak pernah mati.

Di sini aku belajar bahwa warna bukan hanya hasil campuran pigmen, tapi perpaduan antara cinta, kesabaran, dan pengabdian.

Dan, di setiap helai sasirangan, tersimpan doa ibu-ibu Banjar agar dunia tak lupa, bahwa keindahan sejati lahir dari keikhlasan. Bahwa budaya bisa hidup selamanya jika dijaga dengan cinta.

Aku menatap selembar kain yang baru kubeli; corak Gigi Haruan berwarna merah saga. Dan entah kenapa, mataku basah. Mungkin karena di balik warna itu, aku seakan menemukan diriku sendiri, yang juga sedang berjuang untuk tidak pudar.❤‍🔥🌹

Bumi Allah, 20 Oktober 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version