Ketika Ekonomi Rakyat, Persaudaraan, dan Cinta Tanah Banua Bertemu di Geronggang
Essay : Nurul Jannah*)
Bumi Berbicara Lewat Pasar dan Rasa
Geronggang tak hanya nama sebuah kampung, ia adalah denyut kehidupan yang tak pernah padam.
Di sanalah, di bawah langit Kalimantan Selatan yang berwarna madu senja, tawa, doa, dan aroma ikan bakar berpadu menjadi bahasa cinta yang paling jujur. Di jalan tanah yang berdebu, ekonomi rakyat bertumbuh tanpa gemerlap papan nama, tapi dengan peluh dan kebersamaan yang tulus.
Geronggang bukan hanya nama tempat di peta, melainkan ruang di mana manusia masih saling menyapa sebelum bertransaksi, dan berdoa sebelum berpisah.
Sore itu, aku berdiri di tengah keramaian Pasar Malam Selasa, tempat di mana kehidupan berputar di atas meja dagang, dan cinta tanah Banua berdenyut di dada setiap orang yang melangkah.
Dari sanalah aku menyadari, bahwa pembangunan sejati bukanlah angka dalam laporan, melainkan getar kehidupan yang tumbuh dari kebersamaan.
Geronggang Menyala di Bawah Langit Banua
Langit Geronggang sore itu bagai kanvas besar yang disapu warna lembayung dan keemasan. Awan tipis berarak perlahan, sementara cahaya matahari menetes lembut di antara rumah-rumah kayu sederhana.
Jalan berdebu mulai hidup; pedagang menata dagangan, dan suara motor tua berpadu dengan riuhnya sapaan dan obrolan yang tak henti-henti.
“Bu Nurul, ini pasar yang cuma buka setiap Senin malam sampai Selasa pagi,” ujar Pak Gusti, Comdev Officer PT Arutmin, sambil tersenyum hangat.
Aku menatap tenda-tenda biru dan kuning yang berjajar di tepi jalan. Aroma gorengan, ikan segar, dan tanah lembab berpadu dalam satu harmoni yang khas Banua.
“Pasar Malam Selasa?” tanyaku. “Kenapa hari itu yang dipilih ya?”
Pak Ferry tertawa kecil. “Hehe, dulu para pedagang sepakat malam Selasa paling tenang. Nelayan sudah pulang, petani belum ke sawah, jadi semua warga bisa kumpul tanpa terburu-buru.”
Di setiap kampung, selalu ada kearifan yang lahir dari kesederhanaan. Di Geronggang, malam Selasa bukan hanya waktu berdagang semata, melainkan malam persaudaraan, ketika ekonomi rakyat dan cinta Banua berpelukan erat.
Asal-Usul Pasar Malam Selasa: Warisan yang Menyala dari Zaman ke Zaman
Tak banyak yang tahu, Pasar Malam Selasa di Geronggang sudah hidup sejak awal 1970-an, jauh sebelum listrik menjangkau semua rumah.
Dulu, pasar ini bermula dari halaman rumah Haji Munir, seorang tokoh masyarakat yang membuka tempat berkumpul bagi pedagang dari pesisir dan pegunungan. Karena sulit mencari waktu yang cocok, akhirnya malam Selasa disepakati sebagai “malam netral”, di antara Senin yang sibuk dan Rabu yang kembali bekerja.
Kini, setiap Senin malam, truk-truk kecil berdatangan membawa hasil bumi, ikan asin, sayur mayur, dan kerajinan tangan. Lampu bohlam bergelantungan, kopi hitam diseduh di warung bambu, dan tawa menggantikan kesunyian malam. Anak muda membantu membongkar barang, sementara ibu-ibu menata dagangan di atas tikar panjang.
“Kalau mau lihat Geronggang benar-benar hidup, datanglah Senin malam,” ujar seorang pedagang sepuh.
“Di situ terasa betul nadi kehidupan Banua. Ramai, tapi damai. Bising, tapi penuh tawa.”
Pasar yang berdenyut semalaman itu menjadi saksi, bahwa ekonomi rakyat dan silaturahmi tumbuh dari kesederhanaan, bukan kemewahan.
Warung Tami Barokah: Di Antara Ceria, Doa, dan Cerita Tentang Cinta Banua
Menjelang maghrib, kami menepi di Warung Tami Barokah, rumah makan sederhana yang bercahaya di antara bangunan tua. Dari luar, aroma arang dan bumbu bakar menembus udara senja, seakan mengundang siapa pun untuk berhenti sejenak di sana.
Di dalam, suasana hangat. Tim Comdev Arutmin, Pak Mahmud, Pak Syamsir, Pak Ferry, dan Pak Gusti, sudah ngariung di sana. Dari tim Audit Reklatam IPB, aku hadir ditemani asisten Reza. Kami ngumpul untuk berdiskusi tentang program Community Development yang selama ini menjadi denyut kehidupan di sekitar tambang.
“Program Comdev Arutmin itu sekarang makin luas, Bu,” Pak Mahmud membuka diskusi sambil menyeruput teh manis hangat.
“Dari pelatihan UMKM, peningkatan SDM, sampai pendampingan sekolah dan konservasi lingkungan. Semua diarahkan biar masyarakat bisa mandiri tanpa bergantung.” lanjutnya
“Dan yang paling penting,” tambah Pak Ferry, “kami ingin agar masyarakat merasa memiliki. Bukan hanya menerima bantuan, tapi ikut tumbuh bersama.”
Aku tersenyum. Kalimat mereka bukan jargon semata, tapi pantulan dari mata yang lelah sekaligus bahagia. Mereka berbicara dengan jiwa yang menyatu dengan tanah, dengan rakyat, dengan kehidupan.
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa diskusi sambil makan, ya Bu Nurul,” kata Pak Syamsir bersemangat.
Pak Gusti menimpali, “Tempatnya sederhana, tapi rasanya hangat sekali. Mungkin di sinilah inti dari pembangunan; sederhana tapi menyentuh.”
Ikan Ruma-Ruma: Rasa yang Menyatukan
Pelayan muda datang sambil membawa sepinggan besar ikan bakar, berasap harum. “Ikan ruma-ruma bakar pesanan Pak Mahmud,” katanya sopan.
Aku mengernyit heran. “Ikan ruma-ruma? Tadi katanya ikan peda.”
Dalam pikiranku, peda itu ya ikan asin kering yang biasa kutemui di Bogor. Tapi saat piring itu diletakkan di meja, mataku langsung terbelalak.
Ikan segar dengan kulit mengilap tersaji elok di atasnya. Asapnya terasa naik perlahan, membawa aroma bumbu bakar yang menyengat manis.
“Kalau belum makan ikan ruma-ruma, belum sah ke Geronggang,” celetuk Pak Ferry sambil tertawa.
Aku tersenyum, “Kalau begitu, saya harus mencicipi sekarang, biar sah jadi bagian dari kisah ini.”
Aku mencicipi sedikit daging ikan ruma ruma. Terasa lembut, gurih, dan juicy dengan aroma arang kelapa yang khas. Sambalnya pedas manis, berpadu sempurna dengan lalapan segar dan nasi putih hangat.
“Ini bukan ikan biasa, Bu,” ujar Pak Syamsir pelan.
“Ini pengikat silaturahmi. Kalau makan bareng, biasanya obrolan bisa lanjut sampai tengah malam.”
Pak Mahmud menimpali, “Ikan ruma-ruma itu kayak tim Comdev, luarnya keras karena lapangan, tapi dalamnya selalu manis.”
Tawa pun pecah lagi. Di antara arang dan rasa, aku menemukan makna: bahwa kerja yang dijalani dengan cinta akan selalu berbuah kebahagiaan.
Maghrib di Masjid Geronggang
Azan maghrib berkumandang dari Masjid Geronggang di seberang jalan. Suaranya lembut, meredam riuh pasar, memanggil setiap jiwa untuk berhenti sejenak.
“Ayo, Bu, shalat dulu,” ajak Pak Syamsir. “Rezeki bisa ditunggu, tapi panggilan ini jangan ditunda.”
Kami menyeberang jalan berkerikil, diterangi bohlam kuning yang berayun lembut. Di dalam masjid, nampak pedagang, sopir, dan warga berdiri dalam satu saf. Tak ada perbedaan, hanya kesetaraan di hadapan Tuhan.
Saat sujud pertama, aku merasakan ketenangan yang tak bisa diungkap kata. Di tengah hiruk pikuk pasar dan aroma ikan bakar, aku menemukan keheningan yang suci, seolah Tuhan pun sedang tersenyum lewat senjaNya.
Ketika Senja Menjadi Cermin Kehidupan
Usai shalat, kami kembali ke warung. Lampu-lampu kecil terasa lebih hangat, seakan ikut menyalakan hati kami. Sisa ikan bakar masih di meja, tapi kini rasanya berbeda, lebih dalam, lebih bermakna, karena disantap bersama syukur dan bahagia.
“Bu Nurul,” kata Pak Gusti, “kalau tim Comdev kumpul begini, energi kayak diisi ulang. Pasar kalah ramai, ya?”
Aku tersenyum, “Ramainya beda, Pak Gusti. Kalau pasar ramai karena jualan, Comdev ramai karena cinta dan pengabdian.”
Pak Mahmud menambahkan, “Yang paling berharga dari perjalanan bukan hasilnya, tapi orang-orang yang kita temui di sepanjang jalan.”
Kami pun terdiam, tenggelam dalam cahaya lampu yang berkelip lembut. Di luar, suara pasar mulai mereda, namun denyut kehidupan tetap terasa. Geronggang pun melintasi malam dengan begitu damai.
Dan, aku pun mengerti… Bahwa pembangunanbukan soal angka, melainkan tentang manusia yang saling menumbuhkan. Bahwa ikan ruma-ruma bukan hanya hidangan, tapi simbol persaudaraan yang menyatukan rasa. Bahwa Pasar Malam Selasa di Geronggang bukan hanya tradisi semata, melainkan salah satu cara Banua menjaga jiwanya agar tetap hidup.
Dan Dari Geronggang, Kelumpang Tengah, aku belajar bahwa kebersamaan adalah kemewahan yang tak perlu dibayar.❤🔥🌹🎀
Bumi Allah, 22 Oktober 2025