“ASN Tukang” di Balaikota Bukittinggi

Oleh : Teddy G Chaniago*

JARUM jam menunjukkan tepat pukul 08.00 WIB. Satu persatu Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengabdi di Pemerintah Kota Bukittinggi muncul di Balaikota yang berada di kawasan Gulai Bancah tersebut.

Hal itu, tentunya bukan sebuah hal yang aneh. Sebab, sebagai aparat negara, tentunya dedikasi dan profesionalitas harus ditunjukkan atas sesuatu yang mereka dapatkan setiap bulannya.

Bekerja dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan melalui peraturan adalah sebuah hal wajib yang tak bisa mereka langgar.

Kali ini, kita tak hendak membicarakan kerja, kinerja dan apalah namanya yang menjadi tugas pokok dan fungsi ASN sebagai aparatur negara.

Akan tetapi berbicara tentang “ASN tukang” yang juga mencari nafkah di istana negara Kota Bukittinggi tersebut.

Kenapa ditulis ASN “tukang” karena sebagai pekerja informal, mereka bak menjalani misi pula sebagai aparat negara.

Sebagaimana ASN, mereka juga datang pukul 08.00 WIB dan langsung bekerja dengan segenap keahlian yang dimilikinya.

Jika ASN langsung melaksanakan segala macam rencana kerja yang telah disusun sebelumnya di meja kerja masing-masing.

Pun demikian dengan “ASN tukang” ini. Bedanya, saat mereka bekerja, maka suara bising nan memekakkan telinga langsung berkumandang dengan gegap gempita.

Suara concrete breaker, menggema ke seantero ruangan yang ada di Balaikota Bukittinggi mulai dari pukul 08.00 WIB hingga jam pulang ASN.

Rehab atau renovasi kamar kecil yang mereka lakukan, pastinya dibutuhkan. Namun saat gegap gempita yang bergemuruh dari mesin penghancur beton yang mereka gunakan, pastinya akan mengganggu pekerjaan ASN.

Belum lagi tumpukan material yang berserakan serta lalu lalang mereka, pastinya tak sedap dipandang mata.

Kembali pada “kemeriahan” yang dihasilkan para pekerja tersebut, seharusnya dicarikan jalan keluar setidaknya dengan menggunakan alat peredam agar tak selalu memekakkan telinga.

Anehnya, meski pekerjaan itu dilaksanakan di Balaikota Bukittinggi, namun tak ada plang proyek di sana, padahal kegiatan pembongkaran dan pemasangan pernak pernik kamar mandi tersebut telah berlangsung sejak Maret lalu (sesuai dengan pengakuan pekerja -red).

Dan lebih parahnya lagi, dari beberapa pekerja yang beraktivitas di sana saat ditanya nama perusahaan yang “mengambil” pekerjaan tersebut, mengatakan tak mengetahui nama perusahaan tersebut.
Sejatinya, melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas sebuah pekerjaan, tentu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab pula.

Tapi kalau sampai mengganggu kinerja orang lain, pastinya tak elok pula hasilnya.

Ada baiknya pekerjaan yang tengah dilakukan tersebut juga memikirkan hal ini. Mungkin dengan solusi menggunakan alat peredam suara, mengoptimalkan pekerjaan di hati libur (hari libur, pekerja juga libur – red).

Atau bisa pula yang lebih ekstrem yaitu pekerjaan dilaksanakan setelah ASN yang menggantungkan nasib mereka di Pemko Bukittinggi, pulang.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pertimbangan untuk mencari formula yang tepat dalam melaksanakan kegiatan rehab atau renovasi di Balaikota Bukittinggi. []

*) Penulis adalah praktisi pers yang punya pengalaman di berbagai media di tanah air. Besar di Jawa Post Group dan pernah menimba ilmu di Tempo, Media Indonesia, Group Radar dan pernah pula mengelola majalah pariwisata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *