Banner Bupati Siak

Yang Tahu Ilmu Kalah, yang Tahu Jalan Masuk Menang

Oleh : Liwahul Hamdi*

(Terinspirasi dari kata-kata Presiden Prabowo: “Kadang-kadang orang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa.”)

Di negeri ini tersimpan paradoks tragis yaitu orang pintar dengan segenggam gelar, prestasi, dan integritas seringkali kalah bersaing dengan “orang dalam” yang memegang kunci kekuasaan. Siapa yang punya koneksi, tahu pintu mana yang harus diketok, dan bisa minta direkomendasikan, bukan
siapa yang paling mampu, akan melaju.

Seperti ditegaskan Presiden Prabowo, “Kadang-kadang orang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa.” Pernyataan ini bukan anti-intelektual, melainkan kritik tajam terhadap sistem birokrasi yang telah terjalin erat antara kekuasaan dan relasi.

Studi dari Universitas Indonesia mengungkap bahwa praktik nepotisme dan patronase masih merajalela dalam rekrutmen birokrasi, sementara data UGM menunjukkan lebih dari 171 daerah di Indonesia dikuasai oleh politik dinasti, menciptakan ekosistem di mana akses jauh lebih bernilai dari pada kemampuan murni.

Akibatnya, banyak intelektual tingkat tinggi dianggap ancaman karena keinginan mereka untuk bertanya, mengkritik, dan memperbaiki dianggap merusak stabilitas padahal yang diharapkan adalah sikap patuh, dan bertahan dalam ritme kekuasaan.

Secara global, fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Penelitian dari Universitas Leiden dan Cambridge menunjukkan bahwa jaringan sosial berpotensi dijadikan jalur seleksi, tetapi hanya bila dibarengi dengan prinsip merit.

Di Praktek nyata, struktur di Indonesia justru lebih memfasilitasi relasi semata tanpa menyertakan asesmen obyektif atas kapasitas. Bahkan di dunia akademik Eropa seperti studi Abramo dan Rosati (2018) di Italia dan Spanyol mereka yang dekat denganpanitia seleksi memiliki peluang lebih besar dibanding kandidat ilmiah unggulan.

Selain itu, patologi birokrasi di sejumlah daerah menunjukkan bahwa korupsi, nepotisme, dan kolusi masih sangat mendominasi praktik pelayanan publik, menunjukkan bahwa program reformasi birokrasi yang digulirkan belakangan masih sebatas formalitas tanpa perubahan mendasar.

Ini bukan hanya soal salah satu instansi tapi merupakan disfungsi yang telah diakar sejak lama. Banyak jabatan strategis dijabat oleh mereka yang memiliki “nama belakang” atau relasi kuat, alih-alih yang paling mumpuni.

Sehingga tidaklah mengejutkan jika, saat terjadi krisis apakah krisis ekonomi, bencana alam, atau pandemi penasihat teknokrat yang cerdas dipanggil untuk menyusun strategi. Namun saat pembagian kekuasaan berikutnya tiba, mereka dikembalikan ke pinggir arena, sementara mereka yang punya jaringan luas dan ‘aman’ mendapat posisi.

Mereka dihormati saat dibutuhkan, tapi tak diberi wewenang saat dibutuhkan. Ini menjadikan kecerdasan sering kali hanya menjadi hiasan panggung, bukan fondasi pengambilan kebijakan.Namun bukan berarti kita harus menolak relasi.

Dunia modern tak bisa lepas dari kerjasama dan saling mengenal. Yang harus kita tegakkan adalah sistem yang memastikan relasi tak menggantikan kompetensi, dan bahwa integritas tidak dijadikan beban saat seseorang ingin maju.

Sebuah negara yang sehat adalah negara yang menempatkan kecerdasan di atas loyalitas buta. Ia memberi ruang bagi orang pintar untuk berkembang, namun tetap mendidik loyalis agar tidak kehilangan nurani.

Ketika sistem meminggirkan orang pintar, ketika elite hanya memilih orang dalam, maka negara ini bakal menua tanpa inovasi dan terbiasa dengan kompromi pragmatis di atas keadilan. Anak muda akan kehilangan motivasi untuk bersinar lewat prestasi, sebab konteks kampus atau lembaga tidak lagi membaca kecerdasannya. Mereka hanya mengenal “siapa yang kau kenal”, bukan “apa yang kau bisa.”

Pernyataan Prabowo harus menjadi alarm reformasi, bukan legitimasi status quo. Kita tidak kekurangan orang pintar yang kurang adalah kesempatan bagi mereka untuk membuktikan kehebatannya. Jika kita terus diam saat orang berintegritas murtad dari jalur merit demi bertahan hidup dalam sistem yang cacat, maka kita sama dengan mematikan cahaya masa depan.

Pendidikan bukan semata memberi tahu anak-anak agar pintar, kita harus menciptakan lingkungan pendidikan dan pemerintahan yang mengapresiasi kecerdasan dengan keadilan struktural. Karena jika tidak, generasi kita berikutnya hanya akan menjadi penerima keputusan, bukan pembuat keputusan dan di situlah kegagalan besar bangsa bermula. []

*Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *