Oleh : Muhammad Pajri Zullian*
BADAN Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat baru saja merilis data inflasi April 2025. Angka inflasi year-on-year (y-on-y) tercatat 3,81 persen. Kabupaten Pasaman Barat menjadi wilayah dengan inflasi tertinggi, mencapai 5,52 persen. Sekilas, angka-angka ini tampak terkendali. Namun pertanyaannya, apakah realita di lapangan seindah statistik resmi?
Di pasar-pasar tradisional Padang, Bukittinggi, hingga Payakumbuh, keluhan pedagang dan pembeli masih sama: harga kebutuhan pokok belum stabil. Harga beras, cabai, dan bawang merah masih fluktuatif, kadang naik dalam hitungan hari. Masyarakat merasakan langsung beban ini, jauh sebelum angka inflasi dipresentasikan dalam konferensi pers.
Deflasi month-to-month (m-to-m) sebesar 0,30 persen di Sumatera Barat juga terdengar menenangkan. Namun realita berkata lain. Ketika satu komoditas turun harga, komoditas lain justru melonjak. Misalnya, harga beras jenis premium tetap tinggi, sementara harga cabai merah sempat turun, lalu naik lagi karena faktor cuaca. Fluktuasi ini membuat rasa “deflasi” hampir tak terasa bagi masyarakat kecil.
Fenomena kesenjangan antara data resmi dan realitas lapangan bukan hal baru. Angka inflasi dihitung berdasarkan keranjang konsumsi tertentu, bukan seluruh perilaku belanja masyarakat. Ini berarti, perubahan harga barang-barang utama rakyat kecil kadang tidak terwakili utuh dalam indeks yang diumumkan.
Pemerintah daerah bersama Bank Indonesia Sumbar memang bergerak. Operasi pasar murah, distribusi bahan pangan strategis, hingga gerakan tanam cepat di beberapa kabupaten dilakukan untuk mengendalikan tekanan inflasi. Namun efektivitas langkah-langkah ini tetap perlu dievaluasi kritis.
Pasar murah, misalnya, memang membantu menurunkan harga sesaat. Tapi seberapa lama efeknya bertahan? Berapa banyak rumah tangga miskin yang benar-benar mendapatkan akses ke program ini? Banyak warga mengeluhkan distribusi informasi pasar murah yang terbatas, sehingga hanya segelintir yang bisa menikmati harga miring.
Di sisi lain, faktor cuaca buruk dan terganggunya jalur distribusi dari sentra produksi ke pasar kota-kota besar juga memperburuk situasi. Hujan yang mengguyur Sumatera Barat beberapa minggu terakhir membuat pasokan sayur dan beras terganggu. Ini memperlihatkan bahwa ketahanan pangan kita masih sangat bergantung pada faktor cuaca dan infrastruktur jalan yang rentan.
Tidak cukup hanya mengendalikan harga dalam jangka pendek. Sumatera Barat butuh strategi ketahanan pangan jangka panjang. Penguatan produksi lokal, perbaikan sistem distribusi, dukungan terhadap petani kecil, hingga pembangunan pasar induk modern harus masuk prioritas.
Masyarakat juga perlu dilibatkan lebih aktif. Literasi tentang pola konsumsi sehat dan adaptif dalam menghadapi fluktuasi harga menjadi penting. Edukasi bagaimana memilih alternatif pangan, mengelola keuangan keluarga saat harga bergejolak, hingga mengurangi ketergantungan pada komoditas tertentu, harus menjadi bagian dari program pemerintah.
Selain itu, kolaborasi antar sektor mutlak diperlukan. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Peran perguruan tinggi, komunitas petani, koperasi, pelaku usaha lokal, bahkan tokoh masyarakat harus dioptimalkan. Kita perlu membangun ekosistem pangan yang kuat, bukan hanya menunggu operasi pasar ketika harga sudah terlanjur membubung.
Transparansi informasi harga juga perlu diperbaiki. Akses real-time terhadap data harga di berbagai daerah bisa membantu masyarakat membuat keputusan belanja yang lebih bijak. Platform digital sederhana untuk memantau harga pangan harian bisa menjadi solusi di era sekarang.
Inflasi bukan hanya soal angka. Ia menyentuh dapur-dapur rumah tangga, isi piring makan siang anak-anak, bahkan ketenangan tidur seorang buruh harian. Karena itu, penanganannya juga harus manusiawi. Bukan hanya berbicara dalam presentasi statistik, tetapi terasa dalam keseharian rakyat kecil.
Kita perlu mengubah cara memandang inflasi. Bukan sekadar stabilitas angka makro, tapi sebagai cermin kualitas hidup masyarakat. Selama pasar-pasar tradisional masih berkeluh kesah, selama ibu-ibu di kampung masih merasakan harga beras mencekik, maka perjuangan melawan inflasi belum bisa disebut berhasil.
Sumatera Barat, dengan segala potensinya, seharusnya bisa lebih kuat dalam menghadapi tantangan ini. Kita punya tanah subur, petani yang gigih, dan tradisi kemandirian yang kuat. Tinggal bagaimana semua potensi ini dirajut menjadi kekuatan nyata menghadapi fluktuasi harga global maupun lokal.
Hari ini, mungkin angka inflasi terlihat membaik di atas kertas. Namun, tugas kita belum selesai. Perjuangan sesungguhnya ada di pasar, di sawah, di dapur rakyat biasa. Karena itulah, inflasi harus terus dipandang bukan hanya sebagai urusan pemerintah atau ekonom, tapi urusan kita semua.
Inflasi adalah cermin. Pertanyaannya, maukah kita melihatnya lebih jujur?
*) Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Sekarang berdomisili di Balimbiang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat