Mempertaruhkan Prinsip Agama demi Sebuah Like Media Sosial

Oleh : Natasya Syahirha*

POSE cantik dengan senyum manis, dan caption yang sudah disusun rapi. Tak sampai hitungan menit postingan itu menyebar ke media massa dengan like dan komentar yang meluap. Di balik layar itu seseorang tersenyum melihat postingannya karena dilirik banyak mata, dan padahal ia sadar ada sesuatu yang tidak sesuai di dalam postingan itu. Tapi ada sesuatu kata yang meyakinkan postingan itu tidak salah –“kan lagi trend”.

Media sosial menjadi tempat orang-orang bergurau, mencari berita, menunjukkan bakat dan keterampilan, dan hampir semua masalah yang ada di hidupnya sudah menjadi suatu kewajiban untuk diposting di media sosial tanpa ada batas benar dan salahnya.

Bergaya hidup layaknya influencer dan berpenampilan sesuka hati demi sebuah like. Orang-orang berlomba-lomba berpenampilan paling cantik dan estetik dan menciptakan suatu hal yang tak biasa agar menjadi suatu trending dan ditiru banyak orang, dan tanpa sadar batasan aurat mulai terlupakan. Meremehkan segala bentuk halal dan haram. “toh, pakaian aku menutup aurat kok, aku juga pakai hijab” Apakah dengan posisi hijab dengan leher terbuka dan baju yang membungkus bak kepompong itu?

Perkembangan zaman harusnya dapat mengantarkan pengetahuan yang lebih mendalam bagi kalangan umat. Tapi mengapa malah sebaliknya? Semua dilakukan demi mendapatkan validasi. Bahkan jika tidak berpenampilan layaknyaa influencer tersebut dikritik kuno dan ketinggalan zaman dan menjadikan media sosial sebagai tolak ukur harga diri. Semua ini dilakukan demi sebuah like, comment, and share. Kalo ngga banyak like ngga keren dong.

Tidak hanya terjadi di kalangan selebritas, tapi juga pada remaja, mahasiswa, bahkan orangtua pun banyak yang terbawa arus oleh konten viral media sosial. Apa yang sebenarnya dikejar? Apakah postingan itu dapat membawa kepada ketenangan hati? Atau mengejar sebuah popularitas?

Mengejar popularitas tidaklah salah, tapi ketika hal ini dikejar melalui hal-hal yang melanggar prinsip agama, apakah itu masih dianggap hal yang wajar? Banyak cara mengejar popularitas melalui media sosial tanpa harus merelakan prinsip agama.

Hijab yang awalnya panjang perlahan mengikat ke leher dan bahkan hanya menutup kepala bukan aurat. Tak heran juga dari kalangan mereka datang ke kajian ustadz ternama dengan tujuan mensucikan hati, minta pendapat serta kritikan agar menjadi lebih baik. Tapi apa yang dilakukan selanjutnya? Sama saja. Jika dikritik masalah aurat bagaimana komentar mereka? “yang penting tu hatinya yang udah bener dihijabin”.

Hidup pada era sekarang adalah hidup di dunia yang membenarkan segala hal. Melazimkan segala perbuatan. Dan tak heran menjadikan lelucon tiap peristiwa. Mungkin bisa disebut dengan generasi anti baperan.

Semua yang dilakukan saat ini hanya karena bentuk fomo semata. Akan tetapi diantara orang-orang fomo tersebut tetap ada yang melakukan prinsip sebagaimana mestinya. Bagi sebagian kalangan yang tetap memegang pada prinsipnya cenderung lebih pasif dan bersikap bodo amat terhadap sekitar dan juga komentar orang.

Terkadang seseorang enggan untuk berpakaian sebagaimana mestinya karena mendapat olokan dari lingkungan sekitar. Seolah-olah hal yang wajib sudah menjadi hal yang begitu waw di masyarakat. Misal nih seseorang biasanya pakai jilbab sakaratul maut terus hijrah pakai jilbab panjang.

Lalu bagaimana respon lingkungan terhadap hal itu? “ustadzah-ustadzah, liat ada ustadzah” so? Ada apa? Seperti yang kita ketahui bahwa kata-kata itu kadang terdengar seperti ejekan walaupun sebenarnya ‘pujian’. Orang-orang yang baru memulai langkahnya untuk hijrah cenderung belum kuat secara mental menghadapi hal tersebut.

Dunia boleh berkembang, dan itu adalah sebuah keharusan. Tapi mempertahankan prinsip agama adalah hal yang sangat penting untuk menghadapi perkembangan dunia. []

*) Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *