Cerpen by ; Ridwan Syarif*)
Malam itu Rindu duduk sendirian di teras belakang rumahnya. Sebuah ponsel Android di tangannya samar diterangi cahaya bola pijar di sudut rumah. Sambil sesekali menghirup kopi gula aren kesukaanmya, jari-jemari Rindu mulai menari di atas keyboard, mengetik kalimat demi kalimat.
“Semua yang saya ingat harus ditulis,” gumamnya. “Kalau tidak, ia akan lenyap, membusuk di kepala, hilang ditelan tidur.” Rindu membatin.
Bersileweran ide dalam benaknya.
Satu bulan terakhir ini ia rada gelisah, warung kopi dimana tempat satu profesi duduk, hawanya agak terasa lain, diskusi yang sebelumnya hangat dan fokus mulai berubah.
“Argu to argu,” sebut salah seorang rekan wartawan di pojok kanan sembari menjelaskan, “ide dilawan ide, narasi lawan narasi,” jelasnya menguraikan.
Masing-masing di antara mereka mengklaim karyanya adalah yang paling benar, tulisan-tulisannya indah, penuh kata-kata puitis, dan fokus ke sasaran.
Menurutnya dialah yang menyuarakan diam dengan fakta dan data, sementara yang lain dianggap masih kurang. “Tapi kok tak banyak yang memberi komentar di tulisannya,” sebut Midun, salah seorang rekannya menanggapi.
Ada yang memujinya sekadar sopan santun, ada juga yang karena segan, hingga menganggukan kepala sebagai tanda apresiasi. Banyak pula yang mencibir itu semua adalah omong kosong.
Rindu tersadar bercampur kaget dari lamunannya seiring jatuh nya dahan durian lapuk yang tak jauh dari rumahnya.
Sambil menghisap rokok Esse pemberian seorang teman tadi sore, ia teringat kata rekannya sesama wartawan,
“Tulisanmu kadang berisik, melayang-layang, tidak jelas pesan apa yang hendak disampaikan. Seperti mobil yang meraung-raung kencang, tapi hanya gigi dua, tiga paling,” perumpamaan itu terasa menusuk.
“Atau bak seperti pengendara motor, badan meliuk mengikuti belok jalan, sementara motornya tetap berdiri tegak berjalan lamban. Cuman raungannya yang besar sementara porsneling tak beranjak dari gigi dua.”
Malam itu Rindu mencoba lagi. Kritikan temannya membuat dia termotivasi.
Menulis baginya adalah candu, sekaligus Ia pernah berjanji pada dirinya, menulis bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk menyuarakan suara kecil yang tertahan.
Di layar androidnya ia mulai merangkai,
“Menulis adalah seni dan tanggung jawab. Ada yang memilih piramid terbalik, meletakkan inti di depan, ada pula yang merangkai bagai musik, dari lirih menuju klimaks. Namun yang terpenting, menulis harus berpihak pada nurani,” gumamnya.
Ia berhenti sejenak, menatap gelap di sekitar, suara burung malam terdengar dari kejauhan. Suara kodok bersahutan, sesekali terdengar motor melintas di jalan. Sepi memang, barangkali efek hujan yang lumayan lebat sejak maghrib tadi. Di kepala Rindu muncul wajah seorang ibu yang pernah ia wawancarai di pasar. Suara ibu itu bergetar sembari berkata,
“Pak, kalau harga Sembako mahal, iyuran sekolah yang berkedok sumbangan tak pernah habis-habisnya, dan pemerintah diam, kami hanya bisa pasrah. Tak ada yang mendengar suara kami.”
Kata-kata itu masih membekas. Sejak hari itu, Rindu merasa tulisannya harus menjadi pengeras suara kecil yang tak terdengar.
Dalam hati ia mengingat kembali kata-kata dosen jurnalistiknya.
“Seorang penulis harus punya modal, rajin membaca yang tersurat dan tergurat, agar tak kehabisan bahan bakar,” sebut dosen nya kala itu.
“Peka, agar mampu menangkap isyarat zaman. Berani agar tak tunduk pada tekanan. Disiplin agar ide tak hilang tertiup angin,” Demikian kira-kira kata dosennya sekian puluh tahun yang lampau.
Masih membekas dalam pikiran Rindu, berulang-ulang dosennya menyampaikan agar seorang penulis bersikap rendah hati, agar tulisan tak menjelma kesombongan. Analisis dan imajinasi, agar fakta yang disampaikan punya makna dan setiap bait kata punya jiwa.
Rindu tersenyum kecil. “Modal itu bukan harta, tapi watak,” batinnya.
Keesokan harinya, Rindu mengirim tulisannya ke redaksi. Pemimpin redaksi barangkali sedang membaca tulisannya. Sebab tak lama berselang Androidnya berdering
“Kalau diri mu mau jadi penulis hebat,” katanya pelan, “jangan hanya menulis untuk kepuasanmu sendiri. Tulis agar sang penguasa juga membaca. Tulis agar rakyat merasa diwakili. Kalau hanya untuk keindahan, ia akan jadi bunga kertas yang cepat layu,” ujar Pimpinan Redaksi yang juga teman seperjuangannya dulu.
Rindu terdiam, kata-kata itu bagai palu yang menghantam keras. Ia sadar, selama ini ia terlalu sibuk dengan estetika, kadang memaksakan bahasa metafora ada di dalamnya padahal kata itu tak perlu, atau gaya hiperbola yang berlebihan hingga lupa dengan esensi.
Sejak hari itu, arah menulisnya berubah. Ia mulai menyusun kata-kata yang sederhana, tapi menghunjam. Ia menulis tentang perjuangan petani dengan setumpuk masalah, tentang anak-anak putus sekolah, tentang keluh kesah para orang tua yang anaknya sulit dikontrol, kecanduan game online, Judol dan penyakit sosial lainnya.
Termasuk cerita tentang nagari yang masih terisolasi dari kemajuan. Tentang pejabat yang merasa menjadi tuan, sementara rakyat dianggap sebagai hamba. Tulisan-tulisan itu sederhana, tapi menyimpan daya ledak.
Beberapa pejabat mulai merasa gerah, Ada yang menelpon dengan nada tinggi dan sedikit ancaman, tidak sedikit pula yang memuji karena dianggap mewakili suara mereka.
Rindu berkomitmen, baginya setiap paragraf adalah nyawa. Setiap kalimat adalah saksi.
Suatu malam, ia menulis sambil membayangkan tulisannya membuat suatu kebijakan menjadi buncah.
Menulis baginya bukan sekadar melahirkan kata indah, akan tetapi lebih dari itu mengungkap fakta menuju perubahan yang lebih bermakna.
Ketika menulis ia merasa lega seolah beban di pundaknya luruh.
Rindu berfikiran, mungkin tulisannya tak mampu mengubah dunia, paling tidak satu pejabat membaca dan tergugah, setidaknya rakyat kecil merasa suaranya sudah didengar.
Beberapa minggu kemudian, ia berjalan ke pasar, seorang ibu menegurnya,
“Pak Randu, itu tulisan bapak di media online itu ya, soal harga cabai. Terima kasih sudah menuliskan. Kami memang tak mampu bersuara,” sebut ibu itu sembari tersenyum.
Rindu menunduk. Matanya hangat. Ia sadar di situlah arti sebenarnya dari menulis. Bukan pujian, bukan popularitas, melainkan menjadi saksi, menjadi suara, menjadi pengingat.
Dan malam itu Rindu kembali seperti beberapa malam sebelumnya, duduk di teras belakang. Jari-jemarinya mulai menari, kali ini dengan tujuan yang lebih jelas. Rindu menulis bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mereka yang membutuhkan suara. Ya suara kecil, karena dari suara kecil itulah perubahan besar bisa berawal. *
Silga menjelang malam, 210925
Wartawan Muda, juga salah seorang pimpinan Baznas Kabupaten Dharmasraya*)