“Negeri di Atas Awan, Di Mana Pensiun Menjadi Awal Kehidupan”

Ketika cinta, kerja keras, dan mimpi di masa senja bertemu dalam kebun yang menumbuhkan kehidupan .

Essay : Nurul Jannah*)

Pagi yang Menanjak Menuju Langit

Pagi itu, udara Cigombong begitu jernih. Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan, sementara cahaya matahari berkilau tipis di ujung dedaunan. Gunung Salak berdiri megah di kejauhan; anggun, seolah sedanc memberkahi hari yang akan penuh cerita.

Kami berlima; aku, Bu Sempa dan suami, serta Besan: Pak Heru dan Bu Heru, baru saja menyelesaikan sarapan di Selayang Enau.

Hidangan nasi goreng abon, sambal tomat, dan secangkir nira yang harum, membuat suasana terasa hangat dan akrab.

Pagi itu, kami punya janji untuk menikmati suasana di Selayang Olivehill. Pukul delapan lima belas menit, kami berangkat bersama menuju Selayang Olivehill, destinasi yang letaknya lebih tinggi, di pelukan bukit Cigombong.

Mobil menanjak pelan melewati jalan sempit berliku, diapit kebun kopi, rumpun bambu, dan pohon pinus yang menjulang bak penjaga langit.

“Masya Allah…” gumam Bu Heru menatap ke luar jendela. “Dari sini awan terasa begitu dekat, Bu.”

Bu Sempa tersenyum manis. “Itu sebabnya tempat ini disebut Olivehill, bukit zaitun, bukit doa. Dulu setiap tanjakan terasa berat, tapi kami terus naik, percaya bahwa di puncak akan ada ketenangan.”

Udara terasa semakin sejuk. Suara tongeret dan gemericik air dari tepi lereng terdengar sayup. Dan ketika mobil berhenti di sebuah pelataran, aku terpaku. Di depan mata, berdiri vila-vila kayu berarsitektur tropis, dikelilingi taman hijau dan bunga anggrek ungu yang bergoyang lembut tertiup angin.

“Selamat datang di Selayang Olivehill,” sembari membuka pintu mobil perlahan. “Tempat kami belajar menua dengan bahagia.”

Rehat di Serambi Vila; Hangatnya Kopi, Manisnya Cerita

Kami berjalan ke serambi utama vila, yang menghadap langsung ke lembah luas berselimut awan. Udara terasa segar, aroma kopi dan gorengan dari dapur menambah suasana makin hangat.

Di atas meja kayu panjang, sudah tersaji kopi robusta hasil kebun sendiri, bersama pisang goreng dan singkong goreng khas resto Selayang Olive. Uap kopi menari pelan di udara, berpadu dengan aroma tanah basah dan kayu yang sedikit lembab.

“Wah… singkong gorengnya renyah sekali! Ini resep khas sini, Bu?”, tanya pak Heru sembari menikmati kudapan pagi yang disajikan.

“Iya, Pak. Semua hasil kebun di sekitar sini. Kami ajak warga kampung ikut menanam dan mengolahnya. Jadi setiap gigitan bukan cuma rasa, tapi juga hasil kerja sama.”

“Hebat sekali. Jadi bukan cuma dari vila, warga pun kebagian rejeki dari sumber lain ya.”

“Kami tak ingin hanya punya tempat indah, Pak. Kami ingin tempat ini memberi hidup bagi banyak orang.” jelas suami bu Sempa pelan.

Kami menikmati kopi yang terasa lebih nikmat karena diseduh dengan cerita. Di bawah sana, awan berjalan perlahan di atas lembah, dan udara pegunungan membelai wajah kami dengan penuh kelembutan.

Dari Lahan Kosong Menjadi Kehidupan

“Sungguh luar biasa, Bu. Dulu pasti sulit ya, memulai semua ini?” tandas bu Heru takjub.

“Tidak mudah memang, tapi seru dan menantang. Waktu itu, semua tanah berupa semak belukar, penuh batu. Setiap kali kami menanam, kami merasa sedang menanam diri sendiri: penuh harapan, doa, dan cinta. Dan ternyata… semua tumbuh, bersamaan dengan waktu yang bergulir.”

“Dan, semua ini dimulai setelah pensiun ya Bu?”, tanya Pak Heru lebih lanjut.

“Benar, Pak. Justru setelah pensiunlah kami merasa memiliki hidup yang penuh makna. Karena di sinilah kami bekerja bukan untuk target, tapi untuk ketenangan jiwa.”

“Dari satu kamar kecil di atas tanah yang dulu tandus, kini berdiri beberapa vila dengan karakter masing-masing. Satu dibangun dari tabungan pensiun, satu dari hasil sewa tamu pertama, dan satu lagi dari keberanian melangkah lagi.” bu Sempa menambahkan.

Di Bawah Langit Cigombong

Selayang Olivehill berada di Cigombong, Kabupaten Bogor, di ketinggian seribu meter di atas permukaan laut. Dari serambi vila, terlihat kabut menari di antara lembah, sementara suara gemericik air dan kicau burung membentuk musik alami yang menenangkan.

“Kami tidak ingin membangun gedung besar. Kami ingin tempat ini seperti napas, menyatu dengan alam.”, kata bu Sempa melanjutkan.

“Rasanya di sini waktu berhenti, tapi hati justru terus hidup.”

Obrolan yang Menyiram Jiwa

“Kadang saya merasa sepi setelah pensiun. Hari terasa panjang tapi kosong.” ujar pak Heru.

“Saya pun dulu begitu, Pak. Tapi lama-lama saya sadar, Tuhan sedang memberi waktu untuk menanam kembali, bukan pohon, tapi makna,” kata suami bu Sempa.

“Dan ternyata makna itu tumbuh di sini, ya,” balas Pak Heru

“Iya, Pak. Setiap daun yang kami siram, setiap batu yang kami tata, terasa seperti bagian dari doa kami berdua.”

Kami semua terdiam, menatap awan yang perlahan naik dari lembah. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan, semacam bisikan bahwa hidup masih panjang bila dijalani dengan cinta.

Di Balik Selayang Olivehill

Selayang Olivehill bukan vila biasa. Ia merupakan simbol kehidupan yang terus tumbuh setelah masa kerja usai.

Dibangun oleh pasangan pensiunan, Bu Sempa dan suaminya, yang memilih menanam makna. Alih-alih berdiam diri, semua dimulai setelah pensiun, saat dunia melambat namun hati justru berlari mencari makna baru.

Dibangun di Cigombong, Bogor, sebuah negeri di atas awan, di antara bunga, kopi, coklat dan doa. Karena hidup tak pernah berhenti selama kita terus belajar mencintai dan mensyukuri.

Karena dengan cinta, kesabaran, dan kebersamaan warga kampung yang kini menjadi bagian dari keluarga besar Olivehill, hidup terasa jauh lebih indah dan ringan.

Menanam Bahagia, Menuai Makna

Warga kampung dilibatkan bukan hanya sebagai pekerja semata, tapi juga sebagai mitra yang tumbuh bersama.

Tabungan pensiun jadi benih awal; hasil sewa jadi pupuk keberlanjutan. Bahan lokal alami, bambu, kayu, batu, dan tanah liat, menyatu dengan lanskap yang ada. Filosofi “Rawat dengan cinta, layani dengan hati.” menjadi dasar utama tumbuhnya kebersamaan

“Setelah jalan-jalan ke sini, saya justru merasa…ingin memulai semuanya sekarang.” ujar Pak dengan mata berbinar.

“Mulailah, Pak. Tak perlu besar. Tanam saja apa pun yang membuat hati tenang. Karena kebahagiaan bukan hasil, tapi proses dan perjalanannya.”

“Rasanya hidup baru benar-benar terasa nikmat, saat kita tak lagi dikejar jam kantor.”, pak Heru menambahkan.

“Betul, Pak. Hidup akan terasa indah, kalau diisi dengan bahagia, penuh rasa syukur.”

Kopi di cangkir kami sudah dingin, tapi percakapan terasa makin hangat. Sesekali kami tertawa, lalu terdiam bersama, menikmati hening yang penuh makna.

Turun Kembali dari Negeri di Atas Awan

Waktu bergulir cepat. Jam hampir melewati tengah hari ketika kami bersiap turun kembali. Langit cerah mendekati sempurna, biru muda berpadu dengan putih awan yang bergerak perlahan.

Di pelataran, Bu Sempa menoleh sejenak ke arah vilanya.

“Setiap kali turun dari sini, rasanya seperti baru selesai berziarah ke hati sendiri,” katanya pelan.

Mobil mulai meluncur perlahan menuruni bukit. Angin membawa aroma kopi, dan di kejauhan, anggrek ungu masih bergoyang lembut seolah melambai mengucapkan selamat jalan.

Terik siang masih terasa, ketika kami tiba kembali di Selayang Enau. Namun entah mengapa, panas matahari kali ini terasa berbeda; lebih hangat, lebih bersahabat, seolah membawa pesan halus dari langit.

Bahwa kebahagiaan bukan untuk dikejar jauh-jauh, karena kadang ia tumbuh pelan di tempat yang paling dekat, di hati yang tahu cara bersyukur. 💚🌹❤‍🔥

Bumi Allah, 27 Oktober 2025

Terima kasih bu Sempa sudah mengenalkan negeri di atas awan kepada kami🌹❤‍🔥

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Exit mobile version