Cerpen : Refdinal Castera*
PAK Syafar sewaktu mau ke masjid, lewat di samping rumah Pak Sardiman langsung dicibiri oleh monyet. Pak Munaf yang kembali dari pancuran, sehabis mandi sore juga dicibiri oleh monyet itu. Mak Laila pulang dari warung sehabis belanja, juga dicibiri oleh monyet.
Pendek kata, setiap orang yang lewat dekat rumah Pak Sardiman mengalami nasib yang sama. Sehingga hangatlah pembicaraan, bahwa siapa saja yang lewat di samping rumah Pak Sardiman, dimohon untuk berhati-hati karena akan dicibiri oleh monyet. Sekarang rasa dendam, sakit hati, dan tidak senang warga terhadap monyet peliharaan Bapak Sardiman sampai puncaknya.
Tiba-tiba seperti dikomandoi, halaman depan rumah Pak Sardiman di pertigaan jalan desa Suka Mekar itu telah dipenuhi banyak orang. Mereka datang sambil membawa beberapa spanduk dengan meneriakan yel-yel. “Bunuh 2 Ekor Monyet Pak Sardiman…! 2 Ekor Monyet Pak Sardiman Membawa Petaka…! Habisi 2 Ekor Monyet Keparat Itu…! Binatang itu selalu mencibirkan orang. ” Teriakan yel-yel itu saling bersahutan. Terdengar memecah keheningan desa pagi hari.
Bapak Sardiman berbadan seisinya, pagi itu mau berangkat bekerja membawa 2 ekor monyet langsung terkejut. Ada apa gerangan orang ramai mendatangi rumahnya? Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba teriakan riuh saling bersahutan. Rasa terkejut itu juga dialami Bu Samirah, istrinya Pak Sardiman yang sedang menyiapkan sarapan pagi di dapur. Tak menerima keadaan seperti itu, Pak Sardiman langsung berdiri di beranda depan rumahnya. “Heiii…kenapa, monyet peliharaan saya mau dibunuh? Apa salahnya binatang itu? Dia hanya binatang pemetik buah kelapa,” Pak Sardiman bicara minta penjelasan.
“Tidak bisa, 2 ekor monyet itu harus dibunuh! Pokoknya dibunuh! Betul tidak, kawan-kawan?” Seorang lelaki berkulit hitam langsung bersuara keras. Ia tegak pinggang untuk memanas-manasi orang lain.
Teriakan demi teriakan semakin riuh pagi menjelang siang hari itu. Orang banyak itu berteriak sambil membawa palu, parang, kampak, dan linggis. Suatu barisan panjang seperti mau menyerang sebuah kampung. Biasanya demonstrasi itu, terjadi di kota-kota besar menuntut suatu ketidakadilan atau kesewenangan penguasa. Tapi sekarang demo itu, telah pindah ke sebuah desa kecil di kaki sebuah bukit.
Pak Sardiman tak habis pikir melihat prilaku warga berobah menjadi liar itu. Memangnya apa yang salah dengan binatang peliharaan ia miliki. Tujuannya memelihara 2 ekor monyet itu untuk menghidupi ekonomi keluarganya. Bukan sama sekali untuk gagah-gagahan. Bukan pula diperlombakan untuk mendapatkan berbagai hadiah. Lalu apa alasan warga melakukan demontrasi untuk membunuh monyet peliharaannya? Kadangkala saat ini, prilaku warga semakin edan.
Rasanya tidak ada yang salah dengan 2 ekor binatang peliharaan tersebut. Setiap pagi binatang itu, ia beri makan dan sekali seminggu dimandikan di sungai di kaki bukit. Lalu setiap hari pula, Pak Sardiman berkeliling kampung mengendarai motor membawa 2 ekor binatang pemetik buah kelapa. Ia berharap dapat rezeki dengan monyet itu menurunkan buah kelapa.
“Bapak, ibu dan saudara semua. Apa kesalahan, monyet saya itu sampai mau dibunuh? Binatang itu tidak pernah menciderai bapak dan ibu. Merusak dan membuat malu bapak, ibu dan saudara semua. Coba pakai akal sehatlah kalau mau berdemo dan berteriak itu. Jika ingin berdemo juga, pergi ke kota sana,” ujar Pak Sardiman.
“Apa yang tidak? Bohong semuanya itu. Bapak, ibu dan saudara semua kita harus protes. Monyet peliharaan Pak Sardiman, telah membuat malu banyak orang di desa ini. Membuat harga diri kita jatuh dan tidak lagi dihargai. Tak ada nilainya di tengah-tengah masyarakat,” jelas Pak Robet
“Betul sekali itu. Saya benci dengan binatang tersebut. Bunuh saja, habis perkara. Setiap orang yang lewat selalu dicibiri oleh monyet,” sebut Bu Karsih.
Tanpa bisa dicegah, kerumunan orang semakin ramai di halaman depan rumah dekat simpang empat itu. Ada yang kebingungan, mengapa orang berkerumun dan saling berteriak. Apalagi, ada pula pula yang membentangkan spanduk.
Tiba-tiba, berhentilah sebuah mobil pribadi bewarna hitam. Tiga orang bapak berusia separo baya segera turun. Tampaknya heran melihat warga banyak berkumpul, berteriak yel-yel sambil membawa spanduk. Mereka itu Pak Ustaz, Pak Pengurus Masjid, dan Pak Kepala Desa Suka Mekar. ”Heiiii,…ada apa ini? Kok berteriak-teriak begini, apa yang terjadi? Pakai membawa spanduk lagi. Memangnya apa yang bapak dan ibu demokan?” teriak Pak Kades.
Ketika mengetahui siapa yang datang, dua orang langsung maju dan berbicara. “Bapak-bapak, lingkungan desa ini sudah tidak aman lagi. Tepatnya telah tercemar. Rusak karena dua ekor monyet peliharaan Pak Sardiman itu. Kita selalu dicibirinya, dan seperti tak punya harga diri lagi,” sebut orang itu dengan napas sesak.
“Benar Pak Kades. Semua, gara-gara monyet peliharaan Pak Sardiman itu.”
“Kami setuju sekali. Bunuh saja monyet Pak Sardiman itu,” perintah yang lain.
Pak Kades telah berdiri dekat kerumunan itu langsung bicara. “Tenang,…tenanglah bapak, ibu dan saudara semua. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Rasanya tak ada yang aneh dengan monyet itu? Sekali monyet, untuk selamanya binatang tersebut tetap monyet,”
“Betul Pak Kades. Saya sebagai ustaz juga menilai biasa, dan tidak perlu dirisaukan. Tak ada yang aneh dengan monyet itu,” sebut bapak memakai sorban putih dan shall di lehernya.
Pak Kades, Pak Ustaz, dan Pak Pengurus Masjid memanggil Pak Sardiman pemilik monyet. Mereka bertiga ingin tahu penyebab warga menjadi ribut dan brutal seperti sekarang. “Pak Sardiman, coba ceritakan keseharian bapak dengan binatang peliharaan itu. Kami bertiga ingin tahu,” pinta Pak Kades.
Pak Sardiman mengangguk dan mulai berbicara. Orang-orang yang tadinya berteriak yel-yel langsung berkerumun. Mereka berdesakan, ingin mendengar apa yang disampaikan bapak berprofesi pemelihara beruk, pemetik buah kelapa itu.
“Pagi sekitar jam 07.30 atau 08.00, saya mulai berkeliling ke pelosok desa ini dengan mengendarai motor membawa 2 ekor monyet. Kembali ke rumah nanti sekitar pukul 15. 00 wib. Kadangkala sampai ke desa tetangga. Tujuannya mencari orang yang ingin buah kelapanya dipetik. Untuk itu, dalam hitung jarak sekitar 300 meter saya selalu berteriak,”
“Apa yang bapak Sardiman teriakan? Maksudnya, bagaimana cara bapak berteriak?” tanya Pak Kades.
“Oiii, petik buah kelapa…petik buah kelapa! Siapa buah kelapanya yang ingin dipetik? Biasalah bapak-bapak, seperti itu cara saya menghidupi ekonomi keluarga,”
“Lantas, sudah itu? Apalagi yang bapak Sardiman teriakkan?”
“Ya, kalimat seperti itu terus diulang-ulang. Agar warga menjadi tahu, bahwa ada orang lewat membawa monyet pemetik buah kelapa,” jelas Pak Sardiman didampingi istrinya.
Pak Kades, Pak Ustaz dan Pak Pengurus Masjid tersenyum bersamaan. Mereka menilai tak ada kesalahan sedikit pun yang telah dilakukan Pak Sardiman. Termasuk monyet yang dibawanya berkeliling kampung.
“Tidak semudah itu, jalan ceritanya Pak Kades. Ada yang sering terjadi, tetapi tidak disampaikan oleh Pak Sardiman itu,” Pak Robet protes seraya menghela napas ke arah petinggi desa itu.
“Apa yang tidak disampaikan, Pak Sardiman? Coba jelaskan Pak Robet!” pinta Pak Ustaz ikut menyela.
“Sekarang begini, saya mau bertanya. Bapak dan ibu marah tidak, kalau kita lewat ada orang yang mencibiri? Kita dicibirinya secara terus menerus? Sedangkan kita, tak ada mempunyai kesalahan?”
“Tentu saja, kami marah. Memangnya, salah kami apa?”
“Kapan bapak tidak marah dengan orang itu?”
Orang berkerumun diam seperti berpikir. Salah seorang menunjuk tangan dan berbicara. “Ya, kalau yang mencibiri saya itu orang gila. Kenapa harus marah, orang itu telah gila kok,” sahut Pak Andre.
“Kalau yang mencibiri bapak dan ibu itu monyet? Katakanlah setiap bapak dan ibu lewat, selalu dicibiri oleh monyet. Seperti bapak dan ibu pulang dari pincuran selesai mandi. Sekalipun bapak dan ibu telah berpakaian bersih. Pokoknya setiap bapak dan ibu lewat, selalu dicibiri oleh monyet tersebut,”
Pak Kades tersenyum, mendengar pernyataan lucu itu. “Lho, untuk apa saya marah? Karena yang mencibiri saya itu monyet. Binatang itu tidak punya akal pikiran, tidak sama dengan manusia,” Bapak petinggi desa itu tersenyum.
“Tapi, siapa pula yang tidak akan marah pak. Sementara kita tidak bersalah. Jika setiap kita lewat dicibiri monyet terus. Contohnya monyet milik Pak Sardiman ini. Peristiwa seperti itu yang terjadi di desa ini pak,” jelas Pak Robet merasa dirinya tak bersalah.
Pak Kades, Pak Ustaz, dan Pak Pengurus Masjid serta orang-orang yang telah tahu titik persoalannya langsung ngakak tertawa. “Eeehh,…! Ada-ada saja yang diributkan. Pakai teriakan, membawa spanduk dan teriakan yel-yel lagi. Tak tahu ya, sifat monyet? Setiap orang yang lewat selalu dicibirkannya,” teriak beberapa orang.
“Saya rasa ini, ada yang mengomporinya Pak Kades. Pasti ada pengompornya. Jika tidak kenapa, sampai terjadi demontrasi seperti ini,” tukas Pak Sardiman. Ia protes karena tak menerima perlakuan itu.
“Jangan salah ngomong Pak Sardiman. Bapak dan ibu yang ingin membunuh monyet itu, tak ada yang bawa kompor. Perlu Pak Sardiman ketahui itu. Bapak jangan salah sangka,” Pak Robet kembali meninggi suaranya.
“Tenang…tenanglah dulu! Jangan salah pengertian!” cegah Pak Ustaz.
“Maksud Pak Sardiman mengompori itu, bukannya karena bapak dan ibu membawa kompor. Tapi, karena ada yang mencoba memanas-manasinya,” ujar Pak Kades menjelaskan. Ia kembali mengambil alih permasalahan.
“Sekarang, mana monyet peliharaan Pak Sardiman itu?” tanya Pak Kades.
“Ada di belakang rumah, Pak. Diikatkan di kandangnya.”
“Saya mohon, tolong bapak bawa binatang itu kemari!”
“Untuk apa, Pak Kades?”
“Tolong bawa sajalah monyet itu kemari. Salah satunya, agar Bapak Robet, bapak dan ibu yang protes ini tahu. Mengetahui sifat monyet,” jelas Pak Kades lagi.
“Memohon, saya Pak Kades. Jangan disuruh pula monyet itu mengigit kami. Gigi dan taring monyet itu panjang. Hiii…ngeri…!” pinta bapak dan ibu tengah berkumpul.
“Percayalah! Bapak dan ibu-ibu, semua tidak akan saya rugikan dalam penyelesaian masalah ini,” ujar Pak Kades.
Lalu dengan bahasa isyarat, Pak Kades menyuruh Pak Sardiman menjemput 2 ekor monyet. Tak sampai 5 menit, binatang itu tiba dan talinya diikatkan pada batang jambu biji.
“Nah, bapak dan ibu semua. Terutama yang ingin membunuh 2 ekor monyet tadi. Coba perhatikan prilaku binatang itu. Jangan sampai tidak ada yang memperhatikannya. Agar salah pemahaman tidak terjadi lagi. Masa iya, monyet suka mencibir saja di protes. Pakai demontrasi dan bawa spanduk lagi,” ingat Pak Kades.
“Monyet itu tidak senang diam, pak. Berjalan memutar-mutar dan mencibirkan bibirnya,” jawab Pak Robet.
“Sekarang Bu Nengsih, yang masih memegang kayu. Apa yang diproteskan?”
“Monyet itu suka mencibir, setiap saya lewat sambil memperlihatkan taringnya, Pak Kades.”
“Baik. Sekarang Bu Martin yang membawa parang panjang.”
“Tak ada beda jawabannya dengan Pak Robet dan Bu Nengsih. Monyet itu, setiap saya lewat di dekat rumah ini suka mencibirkan bibirnya, Pak Kades. Walaupun saya dengan suami mau pergi ke pesta berpakaian bagus. Pokoknya, dicibirkan teruslah.”
“Nah, sekarang bapak dan ibu mulai tahu sifat monyet? Lalu kenapa bapak dan ibu harus marah? Apalagi, ingin membunuh monyet peliharaan Pak Sardiman,” tukas Pak Kades. “Kasihanlah bapak dan ibu. Kalau monyet itu dibunuh dengan usaha apa, Pak Sardiman lagi menghidupi istri dan anak-anaknya?”
“Sekarang, Pak Sardiman. Suruh 2 ekor monyet itu, memanjat batang kelapa yang ada di ujung jalan tersebut. Lalu kita semua menyaksikannya dari sini,” pinta Pak Kades selanjutnya.
“Apa sebenarnya yang ingin dilakukan, Pak Kades?” tanya Pak Junin tukang perabot. “Sudah jelas monyet itu kerjanya memetik buah kelapa, mudah saja bagi ia memanjat”
“Bapak ibu semua. Janganlah kita saling curiga dulu. Bapak pimpinan desa sedang menyelesaikannya. Coba kita lihat bersama yang akan beliau lakukan,” ingat Pak Sobri pensiunan guru.
“Bapak Robet, Pak Syafar, Pak Junin, Pak Salman, Bu Mimi, Bu Nengsih, dan Bu Martin serta kita semua yang hadir. Pak Sardiman, akan menyuruh 2 ekor monyet peliharaannya memanjat batang kelapa. Perhatikan dengan saksama, bagaimana prilaku kedua binatang itu,” pinta Pak Kades dengan suara lantang.
“Ayo, Debo dan Toya. Panjat kedua batang kelapa itu! Turunkan buahnya,” perintah Pak Sardiman. Lalu lelaki separo baya itu mengarahkan pandangannya berkeliling. “Maaf Pak Kades, Pak Ustaz, Pak Pengurus Masjid dan bapak ibu semua. Debo dan Toya adalah nama monyet peliharaan saya ini,”
“Haaaahhh…phuuuuuhhhh… Biuuuur”. Dua ekor monyet itu bersuara dan mencibirkan Pak Sardiman. Binatang itu berjalan dan memutar-mutar badan sambil menggarut kepalanya.
“Ayo Debo dan Toya, cepat panjat batang kelapa itu! Turunkan buahnya!” Pak Sardiman bersuara sambil memegang sepotong cambuk.
“Heaaahh…biuuur.” Monyet itu kembali mencibirkan Pak Sardiman. Sehabis itu barulah memanjat batang kelapa. Tapi dipertengahan batang, ia kembali mencibir ke arah bawah. Tak sampai dalam hitungan 2 menit, monyet tiba di atas memutar buah kelapa menggunakan kaki depan dan belakang. Buummm. Buah kelapa jatuh ke tanah.
Warga desa, tadinya demontrasi membawa spanduk berteriak yel-yel terpelongo. Sebagian ada yang termenung. Mereka diam sambil menghela napas. Masing-masing memperhatikan tingkah laku monyet. Sebagian mulut mereka terbuka, melihat kelapa jatuh ke tanah dalam waktu begitu cepat.
Pak Kades meminta Pak Sardiman menyuruh monyet turun. Binatang itu meluncur turun dengan cepat. Amat berbeda dengan waktu, mau disuruh memanjat memetik buah kelapa tadi. Tapi, mencibirkan mulut selalu dilakukan binatang tersebut.
Selanjutnya dua ekor monyet itu, diikatkan talinya oleh Pak Sardiman disebuah batang kayu. Tiga orang petinggi desa itu, mengamati Pak Robet, Pak Syafar, Bu Mimi dan orang-orang yang ingin membunuh monyet.
“Bapak dan ibu semua. Bagaimana prilaku dua ekor monyet kita lihat tadi? Pak Sardiman sendiri sebagai pemiliknya, tetap dicibirkan binatang itu. Orang yang selalu mengasihnya makan setiap hari. Pokoknya, monyet itu mencibirkan setiap orang dilihatnya.”
Pak Kades sudah berhenti berbicara, orang yang berkumpul mulai bubar satu demi satu. Mereka tersenyum sendiri, setelah mengetahui duduk permasalahannya.
“Jadi, bagaimana sebaiknya Pak Kades?” Pak Robet, Pak Martin, Bu Mimi dan orang-orang yang berteriak yel-yel tadi menjadi kebingungan.
“Sebaiknya, bapak dan ibu semua mengetahui sifat kebinatangan disamping sifat kemanusiaan. Sekaligus dapat membedakannya. Contohnya monyet itu. Sehingga, kita tahu kebiasaan monyet yang suka mencibir,”
Tiba-tiba Pak Kades mendehem dan batuk-batuk. “Sekarang begini. Semua bapak ibu yang membawa spanduk ini, minta maaf dengan Pak Sardiman dan Bu Sardiman. Pak Robert dan Bu Martin, Bu Mimi diikuti yang lainnya, segera minta maaf,”
Pak Ustaz dari tadi lebih banyak diam ikut menimpali. “Benar, Pak Kades monyet itu suka mencibir. Haruskah kita marah dengan monyet mempunyai kebiasaan suka mencibir itu?”
“Jadi, bagaimana sekarang Pak Kades?” Tanya Pak Robet dan Bu Mimi yang belum juga puas.
“Jalan keluarnya sekarang. Bapak dan ibu semua minta maaf. Setelah itu membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Pak Robet yang kerja jualan, pergilah ke pasar. Pak Syafar yang petani, pergilah ke sawah atau ladang. Bu Martin dan Bu Mimi yang memiliki warung, silakan menunggu warungnya. Masa iya urusan monyet suka mencibir yang diurus,” Pak Kades lantas berhenti berbicara.
Tiba-tiba orang yang berkumpul langsung berteriak. “Hidup Pak Kades. Hidup Pak Kades. Hidup Pak Ustaz…!. Hidup Pak Pengurus Masjid,”
Pimpinan desa yang terpilih selama dua priode itu, tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ia bernapas lega, karena warga berdemo ingin membunuh monyet peliharaan Pak Sardiman telah sadar. Bahwasanya, suka mencibir itu memanglah sifat dari bintang bernama monyet.
“Bagaimana, kalau begini saja Pak Kades?” ujar Pak Kunin tukang perabot dan Pak Sobri pensiunan guru secara bersamaan.
“Apa itu bapak-bapak?” selidik Pak Kades.
“Kita hitung saja cibiran monyet itu. Berapa kali ia sehari mencibirkan manusia, besoknya dihitung lagi. Karena saya yakin, monyet itu sendiri juga tak tahu arti cibirannya tersebut. Kenapa ia suka mencibirkan orang,” ujar Pak Sobri lagi.
Bapak Kades, Pak Ustad, dan Pak Pengurus Masjid, langsung berderai tawanya. Mereka tahu Pak Sobri pensiunan guru itu bercanda.
Mungkinkah manusia bisa, menghitung cibiran dari monyet pemetik buah kelapa itu? Karena monyet itu sendiri juga tidak sadar dirinya suka mencibir.
Tapi yang jelas, manusia pun suka pula mencibiri orang lain seperti prilaku monyet. Marahkah orang yang dicibirkan itu?
*Seorang tenaga pendidik, pemerhati lingkungan sosial, budaya kemasyarakatan, pendidikan, penulis, wartawan, dan youtuber. Berdomisili di salah satu sudut Kota Padang.