Oleh: Dr. Shofwan Karim Elhussein, B.A., MA*
SAYA sering membaca dan mendengar langsung semasa hidupnya Mohammad Natsir mengutip: “Dan Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).
Mungkin motto itu pula yang mengantarkan Natsir dan Sukarno meniti gelombang kehidupan nasional. Memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan dan merebut tujuan dengan cita-cita yang kadang kala berbeda dari luar, tetapi tujuannya sama, Indonesia adil Makmur dalam di bawah Ridho dan berkah-Nya. Kadang kala mereka Bersatu, kala lainnya mereka di garis berbeda.
Menurut Deliar Noer, (1980:97), Sukarno atau Ahmad Soekarno (1901-1970), di masa pembuangannya di Flores (1934-1938), memuji Mohammad Natsir (1907-1993). Dalam sepucuk suratnya kepada A. Hasan, pendiri Gerakan Persis (Persatuan Islam), pujian Sukarno atas kegiatan-kegiatan Natsir dalam Persis amatlah berkesan.
Persis Bandung sebagai lembaga pendidikan Islam (waktu itu— kini Gerakan Islam) mempunyai tujuan antara lain: (1) melaksanakan berlakunya hukum Islam dan kembali kepada pimpinan Al-qur’an dan Sunnah; (2) menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad;
Kemudian yang ke (3) membasmi bid’ah khurafat, takhayul, taklid, dan syirik; (4)memperluas tabligh dan dakwah Islam; (5)mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader Islam; (6)menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. (Anshari, 1985:13 ).
Setelah menamatkan AMS (1927-1930), Mohammad Natsir yang semula bercita-cita menjadi Mister in de Rechten (Sarjana Hukum) tidak melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum atau menjadi pegawai pemerintah, padahal ia mendapat tawaran bea-siswa di Fakultas Hukum di Jakarta dan di Fakultas Ekonomi Rotterdam Negeri Belanda.
Natsir di Jalan-Nya
Perhatiannya tertumpu kepada perjuangan di jalan Allah, fi sabilillah. Di AMS ia berhadapan dengan lingkungan intelektual yang sekuler, memisahkan urusan dunia dan akhirat, memisahkan urusan agama dan negara.
Mohamad Natsir dengan tekun mempelajari buku-buku berbahasa asing. Ia mahir dalam bahasa Latin. Pada mulanya kemampuannya dalam Bahasa Belanda ia agak ketinggalan, tetapi belakangan dengan usaha keras ia berhasil menguasai bahasa ini dengan baik.
Selanjutnya ia menguasai Bahasa Arab, Jepang, Jerman dan Perancis. Oleh karena keterlibatannya dalam gerakan Islam dan politik semakin intensif, maka setamat AMS, walaupun mendapat bea-siswa untuk melanjutkan kuliah di fakultas hukum, ia mengurungkan niat itu.
Ia lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Ia bahkan merasa berdosa kalau itu ditinggalkan. Untungnya kedua orang tuanya dapat mengerti penjelasan yang dikemukakannya untuk mengurungkan niat menjadi meester itu.
Ia mulai pilihannya dengan menggerakkan dunia pendidikan dan menjadi guru di MULO. Salah seorang muridnya ialah Dahlan Djambek yang belakangan menjadi salah satu tokoh PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonsia) 1958-1960. (Tempo, 2 Desember 1989).
Menurut Natsir dorongan utamanya dalam dunia keguruan itu adalah mengajarkan agama. Itulah mata pelajaran yang dipegangnya di sekolah MULO dan Sekolah Guru Gunung Sahari Lembang.
Ia memantapkan dirinya sebagai pengkaji agama dan pejuang agama. Ia tidak memburu uang, tetapi cukup bekerja bersama A.Hasan Bandung sebagai anggota Redaksi Majalah “Pembela Islam” dengan honor Rp. 20 perbulan.
Ia terus belajar agama dengan konsep belajar agama bukan sekedar Ilmu Tauhid, fiqh, tafsir dam hadist tetapi juga ilmu filsafat Islam, sejarah kebudayaan Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan lain-lainnya.
Pada fase ini Natsir mengisi perjuangannya dengan giat di bidang pendidikan, menulis dan berpolitik dengan masuk Partai Islam Indonesia pada 1939. Sore hari ia membuka kursus pendidikan Islam dengan murid awalnya lima orang dengan mengunakan tempat yang dipakai pihak lain untuk kursus Bahasa Inggris.
Kursus ini berkembang menjadi Pendidikan Islam dengan menyewa Gedung sendiri di Jalan Lengkong Besar No. 16. Tempat ini menjadi Kampus Pendidikan Islam yang dipimpinnya 1932-1942. Pandidikan Islam di sini terdiri atas empat tingkat: Taman Kanak, HIS, MULO dan Kweeksckool (sekolah guru). Dalam perkembangannya sekolah ini berpindah-pindah sampai sekolah ini ditutup Jepang.
Dalam perjuangan membela Islam ia banyak menulis dalam majalahPembela Islam..Pembela Islam No. 1 terbit tahun 1929 dan berhenti terbit dengan No. 71 bulan Mei 1935. (M. Natsir, 1973:430). Selanjutnya ia menulis pula di dalam Al-Manar,Panji IslamdanPedoman Masyarakat.
Ciri khas tulisannya pada masa itu adalah mempertahankan dan membela Islam dari serangan kaum nasionalis dan sosialis, seperti Ir. Soekarno, Soewarni, Sitti Sundari, Dr. Soetomo dan lain-lain.
Khusus terhadap Soekarno, Natsir terlibat polemik hangat yang terpenting dan paling monumental adalah tentang agama dan negara. Perdebatan dengan Soekarno terutama berlangsung 1936-1940-an tatkala Bung Karno dibuang Belanda ke Ende di Pulau Flores, seperti di singgung di atas. (bersambung)
*) Penulis adalah Akademisi, Politisi, Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat*