Kolom  

Menolak Lupa: Natsir dan Sukarno Lain Garis Satu Perjuangan (2/Habis)

Oleh: Dr. Shofwan Karim Elhussein, B.A., MA*

Garis Berbeda
SEPERTI disebutkan pada tulisan terdahulu, kendati Natsir dan Sukarno sama; memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan dan merebut tujuan dengan cita-cita yang kadang kala berbeda dari luar, tetapi tujuannya sama, Indonesia adil Makmur dalam di bawah Ridho dan berkah-Nya. Kadang kala mereka Bersatu, kala lainnya mereka di garis berbeda.

Tesis Soekarno ialah pembelaannya terhadap gerakan sekularisasi- westernisasi Kemal Ataturk di Turki berintikan ide pemisahan agama dari negara. (Suhelmi, 1999:48). Sekitar tahun 1938-1940 itu, Sukarno banyak menulis dalam majalah Panji Islam di Medan antara lain berjudul: (1) Memudahkan pengertian Islam; (2) Apa sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara; (3) Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara; (4) Islam Sontolojo, dll.

Pada hakikatnya isi tulisan Sukarno itu ialah ingin agar dalam Islam ada pembaharuan. Yang dikatakan pembaharuan oleh Sukarno dalam hal ini adalah seperti di Turki yang dilakukan oleh Kamal Attaturk tersebut tadi.

Tema pokok yang senantiasa dikemukakan Sukarno berkisar soal modernisme, modernisasi, dan rethinking of Islam (pemikiran ulang tentang Islam). (Ibid, h.429).

Selain itu semboyan Soekarno ketika itu adalah soal nasionalisme seperti, “Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme ! Adapun agama adalah pilihan dan tanggungjawab masing-masing diri!.”

Di lain pihak M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tetapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri. Sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan.

Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhoan ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair. (M. Natsir, 1973:9).

Semua lontaran Sukarno di atas tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Oleh Natsir dan penulis-penulis Islam lainnya, garis tegak prinsip Sukarno dianggap besar resikonya untuk pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.

Mereka menganggap Sukarno belum tahu dengan sungguh-sungguh duduknya hukum dan hidud dalam Islam, karena Sukarno baru saja mempelajari dan mencintai Islam sebagaimana diakui sendiri oleh Sukarno. Bahwa Sukarno baru saja memeplajari Islam waktu itu, dapat dibaca dalam kumpulan surat-suratnya dari tempat pengasingan Ende (Flores) kepada A. Hasan, Guru Persis Bandung. Surat-surat itu kemudian diterbikan oleh Persis Bandung, 1936.(Ibid :429)

Sumber pengetahuan Sukarno tentang Islam oleh para pembela Islam waktu itu dianggap belum bisa dipertanggungjawabkan. Sukarno  lebih banyak bersumber menyandarkan pikirannya kepada kalangan non-Muslim. Sumbernya adalah rujukan yang ditulis dalam Bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis atau bahasa Barat lainnya.

Beberapa penulis mengklarifikasi pendapat-pendapat Sukarno itu, antara lain A. Hasan, “Membudakkan pengertian Islam” , dimuat berturut-turut dalam majalah Al-Lisan. Sementara itu Hasbi Ash-Shiddieqy menulis dalam Lasykar Islam (Ibid, h.430].

Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan negara, mendebat hujah-hujah Soekarno. Natsir menolak idealisasi Sukarno terhadap konsep Mustafa Kamal yang mengajak: “Lepaskanlah Agama dari Negara. Jangan Agama itu diperlindungi juga, supaya Agama itu tidak jadi Agama “kunstmatig”, supaya rakyat bisa menjelmakan idealnya Islam itu dengan ia punyalevensstrijd, dengan gerak idealnya ia punya jiwa dan tenaga, ” dan sebagainya. (Ibid:469).

Terhadap pernyataan Sukarno di atas tadi, selanjutnya Natsir berkata: Kita bukan suka kepada Agama kunstmatig (buatan). Barang siapa memperhatikan perjuangan penduduk Indonesia dalam seperempat abad akhir-akhir ini, akan cukup mengetahui, bahwa dalam pergerakan kita kaum Muslimin di Indonesia, sesungguhnya Agama itu adalah sebagian dari levens strijd (kehidupan yang nyata)  kita. Baik dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik. 

Akan tetapi lihat pula teman-teman kita di Turki sana. Mereka telah berjuang. Mereka telah mendapat kemenangan. Mereka mengaku adalah putera-putera Islam. Tetapi setelahnya mereka mendapat kemenangan dan kekuatan, bukan mereka verwerkelijken (menyadari) cita-cita ke-Islaman mereka, melainkan mereka tindas pengaruh Islam itu berangsur-angsur. (Ibid).

Natsir juga mendebat apa yang disinyalir Soekarno berdasarkan sumber dan rujukannya termasuk kitabal-Islam wa Usul’ l-Hukmoleh Al-Syaikh Ali Abdul Raziq.

Natsir mendebat argumen Soekarno yang mengutip Abdul Raziq tentang tidak terkaitnya tugas kerasulan Muhammad saw. dan kepemimpinannya terhadap ummat Islam. Soekarno menyimpulkan pendapat Syeikh Abdurrazik: “Rasulullah hanyalah mendirikan Agama saja, tidak mendirikan Negara.”

Terhadap pernyataan Soekarno ini, Natsir mengatakan bahwa Soekarno sudah salah memahami tulisan Syekh tersebut. Karena pernyatan seperti itu dalam kitab Arrazik yang asli berbahasa Arab tidak ditemui. Kemungkinan Soekarno hanya membaca kitab Syekh ini yang berbahasa Barat yang salah dipahami. (Ibid:.481-483.)

Meskipun Natsir dan Sukarno dalam corak pemikiran berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu garis perjuangan menuju Indonesia Merdeka. Pada waktunya mdlepaskan diri dari penjajahan Belanda dan pada berikutnya melepaskan Idonesia dari penjajahan Jepang. Lalu mempertahankian kemerdekaan ini dari serbuan kembal Belanda dan sekutunya pasa Proklamasi 19454. Baru tahun 1949 Belanda mengakui Indonesia Merdeka secara penuh.

*) Penulis adalah Akademisi, Politisi, Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *