Provokasi Berkedok Ekspresi, Pelecehan Agama di Era Kebebasan

Oleh: Sri Mega Hayatulnupus*

Menampilkan simbol LGBT di depan replika Ka’bah? Itu bukan karya seni itu seperti menyulut api di tengah rumah ibadah. Bagi banyak umat, itu terasa seperti perang yang diumumkan terhadap iman mereka.”

Benar saja dalam waktu sekejap saja video itu menyebar di jagat maya, langsung memantik amarah membara yang meledak-ledak hingga mengguncang hati jutaan umat. Tampak jelas pada vidio tersebut sekelompok orang yang mengenakan pakaian warna-warni yang menjadi simbol komunitas LGBT berdiri di depan sebuah bangunan replika Ka’bah.

Bukan di tanah suci Mekkah, bukan di tengah ritual ibadah yang sakral, melainkan di sebuah kota di Jerman, aksi ini dikemas sebagai bentuk protes dan seni yang mengklaim ingin menyuarakan keadilan bagi kelompok minoritas seksual.

Namun, bagi jutaan umat Islam di seluruh dunia, apa yang mereka lihat bukan sekadar karya seni atau kritik sosial, melainkan sebuah penghinaan yang menodai simbol paling suci dalam agama mereka.

Video kontroversial ini digagas dan disebarkan oleh PixelHELPER, organisasi seni asal Jerman yang dikenal gemar melancarkan aksi teatrikal provokatif sebagai alat untuk mengguncang norma sosial dan politik tanpa peduli seberapa besar luka yang ditinggalkan.

Mereka berdalih aksi itu adalah bentuk kritik terhadap diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBT, khususnya di negara-negara Muslim. Alih-alih menyentuh nurani, mereka justru memilih cara paling kontroversial menjadikan replika Ka’bah simbol tertinggi kesucian umat Islam sebagai panggung agitasi mereka. Sebuah langkah yang bagi banyak orang bukan hanya provokatif, tapi juga sengaja menantang batas kesabaran umat.

Ka’bah bukan sekadar bangunan ia adalah jantung spiritual umat Islam, kiblat suci yang menyatukan miliaran jiwa dalam satu arah ibadah, simbol kesucian yang tak tergantikan lintas bangsa dan generasi.

Maka ketika simbol pelangi yang di mata banyak Muslim mewakili ideologi yang bertentangan dengan ajaran mereka diletakkan tepat di hadapan replika Ka’bah, itu bukan lagi ekspresi, tapi penodaan terang-terangan. Bagi sebagian besar umat, ini bukan bentuk dialog, melainkan tikaman tajam terhadap kehormatan iman mereka.

Di media sosial, tagar “Ka’bah Pelangi” meledak jadi sorotan global bukan karena pesan kasih atau toleransi, tapi karena amarah yang menggelegak. Ribuan komentar membanjiri lini masa, dipenuhi kemarahan dan rasa terhina.

Dari Jakarta hingga Kairo, umat Islam menyuarakan penolakan keras terhadap aksi yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terang-terangan terhadap lambang paling suci dalam Islam.

“Ini bukan ekspresi, ini provokasi licik yang menusuk iman kami,” tulis seorang netizen asal Indonesia. Bagi banyak orang, aksi ini bukan hanya tak berempati tapi secara sadar dan sengaja melecehkan keyakinan miliaran umat di seluruh dunia.

Meski begitu, segelintir suara mencoba membela, menyebut bahwa seni memang harus berani mengguncang norma dan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam termasuk komunitas LGBT yang menghadapi tekanan di berbagai belahan dunia.

Namun, argumen itu runtuh di hadapan fakta bahwa mereka memilih cara paling konfrontatif menyeret simbol paling suci umat Islam ke tengah panggung kontroversi. Kritik sosial bukan berarti bebas menodai keyakinan, dan sebagian besar publik sepakat apa pun pesannya, menyentuh kesucian dengan cara seperti ini bukan keberanian, melainkan bentuk arogansi yang membabi buta.

Kontroversi ini bukan yang pertama dan tampaknya bukan yang terakhir di mana simbol suci agama dijadikan panggung untuk isu LGBT. Awal 2021, dua mahasiswa di Turki ditahan karena mencampur gambar Ka’bah dengan bendera pelangi dalam karya seni mereka, memicu badai protes dan kemarahan yang menggema luas.

Di Jerman, sejumlah masjid progresif pun pernah mengibarkan bendera pelangi atas nama inklusivitas, langkah yang langsung menyulut perdebatan panas. Reaksinya?

Terbelah, Tapi satu hal jadi jelas ketika simbol agama dijadikan alat agitasi, diskusi soal kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap iman bukan lagi sekadar wacana melainkan medan pertempuran nilai yang tak kunjung damai.

Setiap orang memang punya hak menyuarakan pendapat dan melawan ketidakadilan tapi saat simbol keagamaan, yang bagi jutaan orang adalah inti dari iman dan identitas spiritual, dijadikan alat provokasi, maka itu bukan lagi ekspresi, tapi pelecehan. Menyentuh hal sesakral Ka’bah tanpa rasa hormat bukan hanya tindakan gegabah, tapi juga bom sosial yang bisa meledak kapan saja dan di mana saja.

Para pakar sosial dan agama dengan tegas mengingatkan seni dan aktivisme sejati seharusnya menjembatani perbedaan, bukan malah menyulut api perpecahan. Ketika sebuah karya justru menimbulkan amarah, luka, dan penghinaan massal, maka pesan yang ingin disuarakan tak hanya gagal, tapi berubah menjadi bumerang yang menghan tam balik.

Seni yang membangun tidak menusuk iman, dan aktivisme yang bermoral tidak bermain-main dengan kesucian. Jika sebuah aksi hanya meninggalkan jejak luka, itu bukan ekspresi itu provokasi yang kehilangan arah.

Pelangi kerap dirayakan sebagai lambang keindahan, keberagaman, dan kebebasan. Tapi ketika simbol itu ditempatkan tepat di atas Ka’bah jantung spiritual umat Islam bagi banyak orang, itu bukan ekspresi damai, melainkan pemandangan yang menusuk nurani. Bukan sekadar aneh, tapi menyakitkan.

Ini bukan harmoni, tapi penghinaan yang terbungkus klaim kebebasan. Dan insiden ini menjadi pengingat pahit: ketika kebebasan dijalankan tanpa batas dan tanpa empati, ia bisa berubah menjadi senjata yang melukai banyak hati. []

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *