Banner Bupati Siak
Kolom  

(Lanjutan) Flexing, Manfaat Atau Mudarat ?

Oleh : Dr. Sumartono Mulyodiharjo, S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES, FRAEL*

FENOMENA flexing, atau memamerkan status, kekayaan, dan pencapaian, bukanlah sesuatu yang baru. Secara historis, perilaku ini sudah ada sejak peradaban kuno, meskipun istilah “flexing” baru populer dalam budaya modern, terutama di era digital dan media sosial.

Akar dari perilaku flexing dapat ditelusuri melalui perkembangan budaya, ekonomi, dan sosial di berbagai era. Pada zaman kuno, flexing sering diwujudkan dalam bentuk simbol kekuasaan dan kekayaan yang ditampilkan oleh penguasa atau bangsawan. Misalnya, Firaun di Mesir kuno membangun piramida besar dan mengenakan perhiasan emas sebagai lambang kekuasaan dan status mereka. Demikian pula, raja-raja di Eropa abad pertengahan sering membangun kastil megah, mengenakan pakaian mewah, atau mengadakan perjamuan besar untuk menunjukkan dominasi mereka di hadapan rakyat dan pesaing politik.

Di era Renaisans dan kolonial, flexing menjadi lebih terorganisir seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional. Pedagang kaya menggunakan hasil kekayaan mereka untuk membeli barang-barang mewah seperti lukisan, perhiasan, atau tanah sebagai simbol kesuksesan mereka. Di Asia, seperti di Cina dan Jepang, flexing sering diwujudkan melalui pakaian sutra, porselen mahal, atau taman-taman yang dirancang dengan indah.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, muncul istilah “consumption conspicuous” yang diperkenalkan oleh sosiolog Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class. Ia menjelaskan bagaimana orang kaya memamerkan kekayaan mereka melalui konsumsi barang-barang mewah dan gaya hidup yang boros untuk menunjukkan status sosial mereka. Fenomena ini menjadi semakin menonjol seiring dengan meningkatnya kelas menengah akibat revolusi industri, di mana akses terhadap barang konsumsi mulai meluas.

Masuknya era modern dan digital membawa fenomena flexing ke level baru. Di abad ke-21, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menciptakan ruang di mana individu dapat dengan mudah memamerkan kehidupan mereka kepada audiens yang lebih luas. Teknologi ini mengubah cara flexing dilakukan, dari lingkungan fisik ke dunia maya. Berbagai fitur seperti unggahan foto, video, dan live streaming memungkinkan individu untuk menunjukkan aspek terbaik dari kehidupan mereka, baik itu liburan mewah, barang bermerek, atau pencapaian pribadi.

Fenomena ini juga dipengaruhi oleh budaya pop, terutama melalui musik hip-hop dan rap. Banyak artis menggunakan lirik mereka untuk memamerkan kekayaan dan kesuksesan, yang kemudian diikuti oleh penggemar mereka di dunia nyata. Istilah “flexing” itu sendiri berasal dari bahasa slang yang sering digunakan dalam budaya hip-hop untuk menggambarkan perilaku pamer.

Seiring waktu, flexing menjadi lebih kompleks, tidak hanya mencakup barang material tetapi juga pencapaian pribadi, pengalaman eksklusif, atau gaya hidup yang dianggap unik. Meskipun tujuannya tetap sama –menonjolkan identitas atau status sosial– cara dan alat untuk melakukan flexing terus berkembang, mengikuti perubahan budaya, teknologi, dan struktur sosial masyarakat.

Flexing memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep hedonisme dan glamorisme, karena ketiganya berkaitan dengan cara seseorang memaknai dan mengekspresikan kenikmatan, status, dan gaya hidup. Analisis ini dapat dilihat dari sudut pandang psikologis, sosial, dan budaya, di mana hedonisme dan glamorisme menjadi kerangka pemikiran yang mendorong perilaku flexing.

Hedonisme, sebagai filosofi yang berfokus pada pencarian kebahagiaan dan kenikmatan, memberikan landasan psikologis bagi fenomena flexing. Orang yang memamerkan barang mewah atau pencapaian sering kali melakukannya untuk mendapatkan rasa puas, baik dari diri sendiri maupun dari reaksi positif audiens.

Dalam konteks ini, flexing adalah cara untuk memperlihatkan kenikmatan yang telah dicapai melalui barang, pengalaman, atau status sosial tertentu. Hedonisme modern, yang didukung oleh konsumsi material dan pengalaman eksklusif, semakin memperkuat flexing sebagai manifestasi dari kebahagiaan yang diukur berdasarkan kepemilikan atau pengakuan sosial.

Glamorisme, di sisi lain, berkaitan dengan estetika dan citra gaya hidup yang mewah, berkilauan, dan penuh daya tarik. Dalam konteks flexing, glamorisme menjadi panduan bagi individu untuk menonjolkan aspek-aspek kehidupan mereka yang dianggap “glamour.”

Flexing sering kali dikemas dalam bentuk visual yang menarik, seperti foto liburan di tempat eksklusif, mengenakan pakaian bermerek, atau mengendarai mobil mewah. Semua ini mencerminkan upaya untuk menunjukkan gaya hidup yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga diidealkan oleh masyarakat.

Keterkaitan flexing dengan hedonisme dan glamorisme juga terlihat dalam budaya konsumerisme. Konsumerisme modern mendorong individu untuk memanfaatkan barang dan pengalaman sebagai simbol identitas dan status. Hedonisme mendorong orang untuk mengejar kenikmatan dari konsumsi tersebut, sementara glamorisme mengatur bagaimana konsumsi itu harus ditampilkan agar menarik dan diakui oleh orang lain.

Dalam praktik flexing, barang dan pengalaman ini dipamerkan dengan tujuan untuk memengaruhi persepsi audiens dan memperkuat citra diri sebagai individu yang sukses atau bahagia.Namun, hubungan ini juga memiliki sisi ne gatif. Ketergantungan pada hedonisme dan glamorisme dapat membuat flexing menjadi perilaku yang kosong secara makna.

Ketika fokus utama terletak pada pencarian validasi melalui barang dan pengalaman yang dipamerkan, individu sering kali kehilangan makna mendalam dari kebahagiaan dan kesuksesan. Selain itu, tekanan untuk terus menunjukkan kehidupan yang glamor dapat memicu kecemasan, stres, dan rasa tidak puas, baik bagi pelaku flexing maupun audiens yang merasa tertinggal. Pada akhirnya, keterkaitan antara flexing, hedonisme, dan glamorisme mencerminkan dinamika kompleks dalam masyarakat modern. Fenomena ini adalah hasil dari interaksi antara nilai-nilai budaya, teknologi, dan kebutuhan manusia untuk diakui dan dihargai. Sementara flexing dapat menjadi cara untuk merayakan kehidupan dan kenikmatan, penting untuk memaknainya secara bijak agar tidak terjebak dalam pola konsumsi dan pencitraan yang dangkal.

Flexing, meskipun sering mendapat stigma negatif, juga memiliki dampak positif jika dilakukan secara bijak dan dengan tujuan yang konstruktif. Bagi pelaku, flexing dapat memberikan rasa percaya diri dan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan. Memamerkan pencapaian atau keberhasilan tertentu bisa menjadi cara untuk merayakan kerja keras dan mengingatkan diri sendiri bahwa hasil yang dicapai patut disyukuri. Hal ini juga dapat mendorong pelaku untuk terus berkembang, mencapai target baru, dan mempertahankan kualitas hidup yang baik.

Bagi masyarakat, flexing dapat menjadi inspirasi atau motivasi jika disampaikan dengan cara yang tepat. Ketika seseorang membagikan cerita sukses atau menunjukkan hasil dari perjuangan mereka, audiens sering kali merasa terinspirasi untuk mengikuti jejak tersebut.

Misalnya, seorang pengusaha yang memamerkan perkembangan usahanya dapat mendorong orang lain untuk mencoba membangun bisnis sendiri. Flexing yang berbasis nilai edukasi dan motivasi juga berpotensi menciptakan perubahan positif di lingkungan sosial.

Flexing juga dapat memperkenalkan standar atau tren baru yang mendorong inovasi. Ketika seseorang memamerkan produk atau gaya hidup yang inovatif, hal ini dapat memengaruhi orang lain untuk mengikuti, menciptakan permintaan pasar, atau bahkan menginspirasi perkembangan ide-ide baru.

Dalam beberapa konteks, flexing bisa mempromosikan aspirasi yang lebih baik, seperti gaya hidup sehat, kerja keras, atau keberlanjutan. Selain itu, flexing bisa memperkuat hubungan sosial jika dilakukan dengan sikap rendah hati. Membagikan kebahagiaan atau pencapaian kepada orang lain dapat menciptakan rasa kedekatan, terutama jika audiens merasa dilibatkan atau termotivasi oleh cerita yang disampaikan.

Dalam lingkungan profesional, flexing yang dilakukan secara strategis dapat memperluas jaringan, membuka peluang karier, atau memperkuat kredibilitas. Namun, dampak positif ini hanya akan terjadi jika flexing dilakukan dengan niat yang tulus, empati terhadap audiens, dan tidak berlebihan. Ketika dilakukan dengan bijak, flexing tidak hanya bermanfaat bagi pelaku tetapi juga bagi masyarakat yang terpapar oleh pesan positif yang disampaikan.

Flexing dapat dikenali melalui beberapa indikator yang biasanya mencerminkan tujuan seseorang untuk memamerkan pencapaian, kekayaan, atau status sosial. Deteksi aktivitas atau tindakan yang dinilai flexing sering kali didasarkan pada konteks, isi, dan cara penyampaian yang digunakan. Berikut beberapa cara untuk mendeteksi apakah suatu aktivitas termasuk dalam kategori flexing:  

  1. Fokus pada Pameran Kekayaan atau Status  

Flexing sering kali ditandai dengan penonjolan barang mewah, seperti mobil, pakaian bermerek, atau gadget terbaru, tanpa ada konteks yang relevan. Jika seseorang memamerkan sesuatu hanya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki barang tersebut tanpa alasan yang jelas, itu dapat dianggap sebagai flexing.  

  • Penyampaian Berlebihan atau Tidak Alami  

  Aktivitas yang terlihat sengaja dibuat-buat untuk menarik perhatian, misalnya menonjolkan detail yang sebenarnya tidak relevan atau terlalu dilebih-lebihkan, adalah ciri umum flexing. Contohnya, seseorang yang memposting foto makan di restoran mewah dengan fokus pada logo merek makanan atau tempatnya.  

  • Frekuensi yang Tinggi

Jika seseorang secara konsisten menampilkan gaya hidup mewah atau pencapaian pribadi di media sosial atau dalam percakapan sehari-hari, ini dapat menjadi tanda flexing. Intensitas yang terlalu sering bisa menunjukkan upaya terus-menerus untuk mendapatkan validasi atau pengakuan.  

  • Minimnya Konteks Inspiratif atau Edukatif

Flexing biasanya tidak disertai dengan pesan yang memberikan nilai tambah, seperti inspirasi, edukasi, atau cerita di balik pencapaian. Sebaliknya, fokusnya hanya pada hasil akhir yang memukau tanpa memperlihatkan proses atau usaha yang mendalam.  

  • Tujuan Mencari Validasi atau Pengakuan  

Salah satu indikator utama flexing adalah ketika aktivitas tersebut dilakukan untuk mendapatkan reaksi tertentu, seperti pujian, komentar positif, atau rasa iri dari orang lain. Hal ini sering terlihat pada konten yang diarahkan untuk memancing tanggapan, seperti caption yang provokatif atau pameran hasil yang disengaja.  

  • Tidak Mempertimbangkan Konteks Sosial  

Flexing sering dilakukan tanpa memerhatikan audiens atau situasi di sekitarnya. Misalnya, seseorang memamerkan liburan mewah di tengah krisis ekonomi atau saat banyak orang di lingkungannya sedang menghadapi kesulitan.  

  • Penonjolan Identitas melalui Aset Material

Ketika identitas seseorang terutama didasarkan pada barang material atau gaya hidup yang mereka tampilkan, ini adalah salah satu indikasi flexing. Contohnya seseorang yang terus-menerus mengaitkan keberhasilan mereka dengan kepemilikan aset tertentu tanpa menunjukkan kualitas lain, seperti kerja keras atau dedikasi.  

Untuk membedakan flexing dari aktivitas lain, perlu diperhatikan niat di balik tindakan tersebut, dampaknya terhadap audiens, dan cara penyampaian yang dilakukan. Sebagai fenomena yang semakin berkembang di era digital, flexing memiliki dampak yang kompleks, baik positif maupun negatif. Ketika dilakukan dengan tujuan yang konstruktif, seperti memberikan inspirasi, merayakan pencapaian, atau memperkenalkan gaya hidup sehat, flexing dapat memberikan manfaat, baik bagi pelaku maupun masyarakat.

Namun, ketika disertai dengan niat untuk mencari pengakuan semata atau menonjolkan kekayaan secara berlebihan, flexing dapat berujung pada dampak negatif, seperti meningkatkan kesenjangan sosial, memicu perasaan iri, atau menciptakan tekanan sosial yang tidak sehat.

Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan antara pamer pencapaian dan kesadaran akan dampak sosialnya, serta menjaga agar flexing tidak mengarah pada perilaku konsumtif atau pencitraan yang kosong. Pada akhirnya, kesadaran akan tujuan dan niat di balik flexing akan menentukan apakah ia membawa manfaat atau mudharat, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. []

*) Penulis merupakan Motivator dan Akademisi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *