#IndonesiaGelap Hingga Diam yang Lebih Menyeramkan

Oleh : Yuwanda Efiranti*

APA kabar negeri yang katanya mau jadi negara maju? Tapi kenapa yang maju hanya harga, bukan logika? Katanya mau ke masa depan, tapi rasanya malah nyasar ke masa gelap secara harfiah dan batiniah. Listrik mati? Iya. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan. Yang lebih bikin perih, ketika kepercayaan rakyat ikut padam, satu-satu, pelan-pelan.

Tagar #IndonesiaGelap meledak di linimasa, ini bukan soal mati lampu. Lebih dari 13 juta interaksi di X, 4 juta di Instagram. Itu bukan angka sembarangan, itu suara. Suara dari jutaan orang yang mungkin tidak kenal satu sama lain, tapi sepakat dalam satu hal apalagi kalau bukan “kecewa”.

Dari percakapan digital itu, 81% di antaranya bernada negatif. Bukan karena baperan, tapi tentang rasa yang selama ini dipendam, tentang kecewa yang terus dibungkam, dan tentang emosi yang tak kunjung padam. Dominasi emosinya? Marah (37%) dan kecewa (34%). Sisanya antara geleng-geleng dan berharap keajaiban turun. Tapi yang turun malah tagihan listrik, bukan solusi. Ya wajar sih, gimana ga kecewa elpiji dibatasin, anggaran pendidikan dan kesehatan di hemat, terus kepala daerah malah asyik-asyik retret pakai uang rakyat. Rakyat disuruh irit, tapi pejabat malah sibuk healing, Kocak tapi nyakitin.

Aku masih duduk di tempat yang sama sudah tiga hari lamanya, di antara tumpukan wacana yang terus berubah arah. Listrik mati, sinyal hilang, tapi yang lebih bikin sesak itu harapan yang ikut padam. Tagar ini bukan lahir dari iseng atau tren TikTok. Ini jeritan. Ini suara dan bentuk kecewa dari orang-orang yang capek disuruh sabar, tapi tiap harinya makin ditekan.

Coba kita lihat satu per satu. Mulai dari elpiji subsidi yang mendadak langka. Katanya mau lebih tepat sasaran, tapi yang susah justru rakyat kecil yang dari dulu udah hidup di bawah garis sabar. Lalu ada pemotongan anggaran pendidikan, pemangkasan fasilitas kesehatan, dan… badan baru bernama Danantara yang entah isinya apa, kerjanya bagaimana. Yang jelas, duitnya jalan duluan.

Rasanya seperti ditinggal dalam gelap sambil disuruh percaya kalau semua ini demi masa depan. Tapi masa depan siapa? Karena sejauh ini, yang bisa tetap nyalain lampu ya cuma mereka yang duduk di kursi empuk. Sementara rakyat disuruh hemat, disuruh kuat, disuruh paham padahal yang kita minta cuma kejelasan.

Yang mati bukan cuma listrik. Tapi nalar sehat. Kita terlalu sering disuruh bersyukur, padahal yang kita alami bukan kekurangan, tapi ketidakadilan. Pemerintah sibuk dengan pencitraan, sementara dapur rakyat makin sepi suara gorengan. Ketika kritik dianggap serangan, maka satu-satunya pelampiasan cuma lewat tulisan dan tagar.

Hal paling menyedihkan, saat rakyat bersuara, jawabannya bukan solusi tapi klarifikasi. Seolah-olah kita salah tangkap. Padahal kita ini bukan kurang literasi, kita cuma sudah terlalu sering dibohongi.

Tagar #IndonesiaGelap bukan cuma soal mati lampu. Tapi soal harapan yang terus digelapkan. Negeri ini tidak butuh malam untuk jadi gelap, cukup dengan keputusan-keputusan yang tidak berpihak pada nurani. Kalau pemerintah terus menutup telinga, jangan heran kalau suatu hari nanti, suara rakyat tidak lagi berupa kritik… tapi diam. Diam itu jauh lebih menyeramkan dibanding ribuan tagar.

Tagar #IndonesiaGelap bukan cuma soal mati lampu. Tapi soal harapan yang terus digelapkan. Negeri ini tidak butuh malam untuk jadi gelap, cukup dengan keputusan-keputusan yang tidak berpihak pada nurani. *

*) Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Imam Bonjol

Respon (2)

  1. Tak cuma gelap. Negeri ini mulai sesak nafas, bagaikan ikan di kolam yang kering. Semua turun kelas bahkan mayoritas rakyat sudah tak berkelas, kecuali segelintir yang berada di pusaran kekuasaan. Saatnya rakyat bersatu berjuang menolong diri sendiri !!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *