Oleh : Faiza Zahra*
PERKEMBANGAN teknologi digital di Indonesia dalam dua puluh tahun terakhir begitu pesat. Internet kini telah menjangkau hampir seluruh wilayah, dari kota besar sampai pelosok desa. Media sosial, platform digital, serta berbagai aplikasi teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak hanya mengubah cara orang berkomunikasi, bekerja, dan bersosialisasi, tetapi juga memberi dampak besar pada budaya masyarakat.
Perubahan budaya di era digital adalah hal yang kompleks. Di satu sisi, teknologi memberikan peluang besar untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya lokal. Kini banyak seniman dan komunitas adat menggunakan media sosial untuk memperlihatkan kesenian tradisional mereka ke dunia.
Misalnya, pertunjukan tari atau musik daerah yang diunggah ke YouTube atau TikTok bisa dilihat oleh ribuan orang dari berbagai negara. Digitalisasi dokumen budaya, seperti naskah kuno dan cerita rakyat, membantu melindungi warisan budaya dari kepunahan. Namun, di sisi lain, budaya lokal juga terancam tersisih karena dominasi konten global yang lebih populer dan mudah diakses.
Generasi muda sering kali lebih akrab dengan budaya populer asing dibandingkan kebudayaan daerahnya sendiri. Hal ini bisa menyebabkan hilangnya minat terhadap budaya lokal, bahkan munculnya krisis identitas budaya. Nilai-nilai luhur yang dulu menjadi fondasi masyarakat mulai tergeser oleh tren yang viral dan instan. Kadang, budaya tradisional hanya ditampilkan sebagai tontonan atau hiburan semata tanpa pemahaman makna yang mendalam.
Tantangan lain adalah rendahnya literasi digital. Masih banyak masyarakat yang belum memahami cara menggunakan teknologi secara bijak, apalagi untuk menyebarkan informasi budaya. Salah penggunaan ini bisa berujung pada penyebaran informasi yang keliru, stereotip, atau bahkan tindakan plagiarisme budaya. Tak hanya itu, akses terhadap teknologi juga belum merata. Banyak komunitas budaya di daerah yang belum memiliki fasilitas atau kemampuan teknis untuk mendokumentasikan budayanya secara digital.
Meski demikian, era digital tidak harus dilihat sebagai ancaman. Justru, jika dikelola dengan baik, teknologi bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memperkuat budaya Indonesia. Dukungan dari pemerintah, akademisi, komunitas, dan pelaku industri kreatif sangat diperlukan agar budaya lokal bisa terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Perlu adanya strategi yang memastikan bahwa budaya kita tetap hidup dan relevan di tengah arus global.
Teknologi digital juga memberi ruang bagi munculnya bentuk-bentuk ekspresi budaya yang baru. Misalnya, karya seni digital yang menggabungkan elemen tradisional dengan teknologi modern. Musik etnik bisa dipadukan dengan genre elektronik, atau cerita rakyat divisualisasikan dalam bentuk animasi. Ini menunjukkan bahwa budaya tidak harus kaku, melainkan bisa beradaptasi mengikuti perkembangan zaman.
Budaya digital pun turut muncul sebagai bagian dari perubahan ini di mana masyarakat tidak hanya menjadi penikmat, tapi juga pencipta dan penyebar konten budaya. Melalui media sosial, siapa pun bisa berperan dalam membangun narasi budaya, menciptakan tren, bahkan memperkenalkan identitas lokal kepada dunia.
Namun, agar transformasi ini benar-benar membawa manfaat, perlu ada kesadaran kolektif. Edukasi literasi digital dan budaya harus ditingkatkan agar masyarakat bisa lebih kritis dan bijak dalam menggunakan teknologi. Selain itu, penting juga untuk menciptakan ekosistem digital yang adil dan inklusif, agar semua kalangan bisa terlibat dalam proses ini.
Pada akhirnya, budaya Indonesia berada di persimpangan: apakah akan larut dalam derasnya arus global, atau justru tampil kuat dengan identitasnya sendiri. Transformasi digital seharusnya menjadi peluang untuk memperkuat budaya, bukan menghapusnya. Dengan kerja sama lintas generasi dan pemanfaatan teknologi yang tepat, budaya Indonesia bisa tetap hidup, terus berkembang, dan memberi inspirasi di kancah global.
Di era digital, kerja sama dalam bidang budaya menjadi semakin mudah dilakukan. Melalui internet, seniman dari berbagai daerah, bahkan lintas negara, dapat berkolaborasi menciptakan karya baru tanpa harus bertemu langsung. Misalnya, musisi tradisional Indonesia bisa berkolaborasi dengan produser musik dari luar negeri, memadukan alat musik khas seperti gamelan atau angklung dengan genre musik modern seperti elektronik atau pop. Kolaborasi semacam ini tidak hanya memperkaya karya seni, tetapi juga membuka jalan untuk memperkenalkan budaya lokal ke kancah global.
Banyak komunitas adat juga mulai memanfaatkan teknologi digital untuk mendokumentasikan budaya mereka yang hampir punah. Mereka membuat video tentang proses pembuatan kerajinan tangan, merekam upacara adat, atau menyusun kamus bahasa daerah secara digital. Ini merupakan langkah penting agar budaya yang mulai terlupakan bisa dikenali kembali oleh generasi muda yang mungkin sudah jauh dari akar budayanya.
Di tengah cepatnya arus perubahan yang dibawa oleh teknologi, penting untuk kita tetap sadar bahwa budaya bukan sekadar tradisi masa lalu, tapi bagian dari identitas kita sebagai bangsa. Budaya adalah cerminan cara kita berpikir, bersikap, dan berinteraksi hal yang membedakan kita dari bangsa lain. Karena itu, ketika budaya mulai tergeser oleh tren global, kita perlu sadar bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan cuma tarian, pakaian adat, atau bahasa daerah, tapi juga rasa memiliki dan kebanggaan terhadap siapa kita sebenarnya.
Anak muda punya peran penting di sini. Kita bukan hanya penonton, tapi juga bisa jadi pelaku yang menjaga dan menghidupkan budaya dengan cara kita sendiri. Entah itu lewat karya seni, konten media sosial, atau proyek kreatif lainnya. Kita bisa jadi jembatan antara nilai-nilai lama dan zaman yang terus berubah.Transformasi budaya Indonesia di era digital bukanlah hal yang bisa dihindari, melainkan sesuatu yang perlu dihadapi dengan bijak dan strategi yang tepat.
Perubahan yang dibawa oleh teknologi digital tidak selalu berarti menghapus yang lama, melainkan membuka peluang untuk memperbarui cara kita melihat, merawat, dan menyebarkan budaya. Di tengah arus globalisasi yang deras, budaya lokal harus tetap menjadi fondasi yang kuat agar kita tidak kehilangan identitas sebagai bangsa.
Proses ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak. Pemerintah perlu menyediakan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung pelestarian budaya melalui teknologi. Kalangan akademisi bisa memberikan kontribusi melalui penelitian, pendidikan, dan literasi budaya digital. Komunitas dan seniman tradisional memiliki peran penting dalam menjaga keaslian budaya sambil membuka diri terhadap inovasi. Sementara itu, generasi muda sebagai pengguna utama media digital harus didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga kreator budaya yang bertanggung jawab.
Era digital memberi kesempatan bagi budaya Indonesia untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan dikenal luas di dunia internasional. Jika kita mampu menjaga nilai-nilai luhur sambil beradaptasi dengan teknologi, budaya Indonesia tidak akan tenggelam dalam arus modernisasi, melainkan akan berlayar jauh dengan jati diri yang lebih kuat, membuktikan bahwa tradisi dan kemajuan bisa berjalan beriringan.
Supaya budaya tidak cuma jadi kenangan atau simbol di museum, kita harus bisa bawa dia masuk ke kehidupan sehari-hari, termasuk lewat dunia digital. Seperti lewat lagu, film, desain, atau cerita yang kita bagikan semua itu bisa jadi cara sederhana tapi berarti buat bikin budaya tetap hidup dan relevan. []
*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ekasakti