Menetas di Antara Sayap dan Doa

menetas-di-antara-sayap-dan-doa

Kisah dari Kandang Ayam Kampung Vale: Di Mana Harapan Belajar Terbang Bersama Pak Eman

Essay : Nurul Jannah*)

Siang yang Menyapa dari Balik Kandang

Siang menjelang sore, udara di Kecamatan Towuti mulai menurun pelan. Langit berwarna madu, samar jingga, dan angin membawa suara ayam yang berkokok panjang dari arah kandang kayu di ujung desa. Aku melangkah perlahan melewati halaman berpasir, hingga tiba di sebuah papan besar bertuliskan: “Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) PT Vale Indonesia Tbk; Peternakan Ayam Kampung: Pertanian, Peternakan, Perikanan Sehat, Ramah Lingkungan, dan Berkelanjutan.”

Namun yang lebih berharga dari papan itu bukanlah tulisan resminya, melainkan kehadiran Pak Sulaiman atau akrab dipanggil Eman, peternak difabel yang menjalankan usaha ayam kampung ini dengan sepenuh hati, dengan cinta yang dalam.

“Pelan-pelan saja, Bu…kalau mau nengok kandang ayam. Ayam-ayam itu lebih sensitif dari yang kita kira,” katanya sambil tersenyum lebar.

Langkah Pak Eman mungkin terbatas, tapi semangatnya tak pernah dibatasi siapa pun. Dan di sinilah aku menyadari, bahwa di balik kandang sederhana ini, terdapat kisah kemanusiaan yang lebih berharga dari semata angka produksi.

Apa yang Diperjuangkan dari Kandang Ini?

Program Peternakan Ayam Kampung adalah bagian dari Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) PT Vale Indonesia, sebuah upaya membangun ketahanan pangan dari akar rumput, dengan mengedepankan kemandirian, kesederhanaan, dan keberlanjutan.

Ayam kampung dipilih bukan tanpa alasan. Ia kuat, adaptif, tak butuh teknologi tinggi untuk bertahan. Seperti masyarakat yang membesarkannya, ayam kampung tumbuh di antara keterbatasan tapi selalu memberi lebih.

“Ayam kampung ini seperti hidup saya, Bu,” ucap Pak Eman sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi. “Sekali jatuh, bangun lagi. Sekali sakit, tetap bersemangat. Sekali lelah, tetap memberi.”

Program ini bukan hanya peternakan semata, tapi ekosistem kehidupan. Di sini, warga dilatih, didampingi, dan diajarkan disiplin. Dari manajemen pakan, sanitasi kandang, hingga pemasaran hasil panen. SOP tertempel rapi di dinding: jadwal pemberian air, vitamin herbal, pakan, hingga aktivitas mingguan. Kedisiplinan menjadi napas, dan kerja keras menjadi ibadah.

Mengapa Ayam Kampung Begitu Diminati dan Bermakna?

Karena di setiap ayam kampung, ada kejujuran rasa dan nilai hidup yang tak tergantikan. Dagingnya lebih gurih, lemaknya rendah, dan teksturnya mengingatkan kita pada masa kecil, masa di mana makanan tidak hanya mengenyangkan, tapi juga menyembuhkan.

Namun nilai terbesar dari ayam kampung bukan pada rasanya, melainkan pada jiwa kemandirian yang ditumbuhkannya di desa-desa seperti ini.

“Berapa pun kami panen, selalu habis, Bu,” ujar Pak Sofyan, pendamping lapangan, sambil menata rak telur. “Belum sempat diumumkan, pasar sudah datang. Bahkan banyak yang antre, tapi kami belum bisa penuhi semua.”

Kebutuhan ayam kampung di wilayah ini cukup besar, sementara produksinya masih jauh di bawah permintaan. Potensinya luar biasa besar, menjadikan peternakan ini sebagai pilar ketahanan pangan masa depan, karena dari kandang inilah warga belajar mengolah rezeki tanpa merusak alam.

Siapa yang Menggerakkannya?

Di balik setiap telur yang menetas, ada manusia-manusia kuat yang tidak menyerah pada nasib. Salah satunya adalah Pak Eman, peternak difabel yang walaupun geraknya terbatas tapi jiwanya seluas langit.

Ia tak pernah minta dikasihani. Setiap hari, dengan kursi roda sambil membawa ember pakan, ia bergerak perlahan dari rumah ke kandang.

“Dulu saya sempat malu, Bu,” katanya lirih. “Tapi setelah PT Vale bantu kami, saya merasa hidup lagi. Saya punya peran. Saya bukan beban.”

Kata-katanya menembus dada. Dalam senyum yang penuh kesabaran itu, aku melihat makna sesungguhnya dari pemberdayaan, bukan sekadar memberi modal, tapi menyalakan martabat.

“Yang saya pelihara bukan cuma ayam, Bu,” lanjutnya sambil menatap ke langit-langit kandang. “Saya sedang memelihara semangat agar generasi muda tahu, siapapun dapat mengambil peran.”

Dan di saat itu, aku tahu bahwa setiap telur yang menetas di kandang ini adalah doa yang hidup dalam bentuk paling nyata.

Di Mana Harapan Ini Berkembang?

Kandang itu berdiri di sudut kecil wilayah operasi PT Vale, dikelilingi bukit hijau dan hutan yang masih terjaga. Dari luar, tampak sederhana, dinding kayu, atap biru, dan aroma pakan yang khas. Namun di dalamnya, kehidupan berdenyut hangat. Ayam-ayam berlarian, anak-anak muda belajar, dan harapan tumbuh seperti cahaya di sela jerami.

Program ini menyatukan lingkungan, ekonomi, dan kemanusiaan dalam satu ruang. Tidak ada yang terbuang, kotoran ayam dijadikan pupuk organik, limbah air disaring untuk tanaman sayur, dan pakan dibuat dari hasil pertanian sekitar.

Inilah bentuk kecil dari ekonomi sirkular desa, di mana keseimbangan bukan teori, tapi praktik sehari-hari.

Kapan Harapan Itu Mulai Menetas?

Harapan itu mulai menetas bersama ayam-ayam pertama sekitar dua tahun lalu. Ketika pandemi memaksa banyak orang kehilangan pekerjaan, program ini justru menyalakan kehidupan baru.

“Awalnya cuma lima belas ekor, Bu,” kata Pak Eman sambil tersenyum mengenang masa lalu. “Sekarang sudah ratusan. Saya jual ke pasar, ada juga yang beli langsung ke rumah. Kadang saya nggak sempat istirahat, tapi rasanya bahagia sekali.”

Ayam-ayam itu mungkin kecil, tapi efeknya besar, karena dari kandang yang dulu kosong, kini lahir ekonomi lokal yang hidup. Dan dari tangan yang tulus, lahir kebanggaan baru yang tak bisa dibeli dengan uang.

Bagaimana Semua Ini Menjadi Inspirasi Masa Depan?

Dengan cara paling sederhana: memberi kesempatan. PT Vale tidak datang membawa janji besar, tapi membawa pelatihan, pendampingan, dan kepercayaan, bahwa masyarakat, sekecil apa pun kemampuannya, punya kekuatan untuk berubah.

“Program ini bukan charity,” kata Bu Rizki, Specialist Environmental Sustainability PT Vale pelan, “Ini tentang membangun martabat. Tentang memberi ruang bagi orang seperti Pak Eman untuk membuktikan dirinya.”

Ayam kampung kini menjadi tulang punggung ketahanan pangan lokal. Ia tidak hanya menyediakan protein, tapi juga harga diri dan makna hidup. Ia mengajarkan bahwa masa depan tidak harus megah, cukup punya arah, cukup punya hati, cukup punya tekad untuk bertahan.

Ketika Hidup Menetas di Tangan yang Tulus

Senja turun perlahan di langit Towuti. Cahaya oranye menyelinap melalui celah-celah dinding kayu. Pak Eman duduk di kursi kecilnya, memandangi ayam-ayam yang mulai tenang. Tangannya gemetar sedikit saat menepuk karung pakan, namun di matanya, aku lihat sinar yang lebih kuat dari segala keterbatasan.

“Kalau besok saya tak sanggup turun ke kandang lagi, saya ingin teman-teman di kelompok ini terus melanjutkan, Bu,” katanya pelan. “Supaya kandang ini tetap hidup. Karena kandang ini bukan semata tempat ayam, tapi tempat bertumbuhnya harapan.”

Aku terdiam lama. Suara ayam bercampur dengan desir angin sore, dan di dada, hadir rasa haru, kagum, dan doa.

Dari balik kandang itu, aku belajar satu hal, bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan bahan makan, tetapi tentang ketahanan jiwa manusia untuk tetap berjuang, bahkan saat tubuh tak lagi sempurna. Karena hidup bukan soal sempurna, tapi soal siapa yang terus menyalakan cahaya, bahkan dari dalam kandang yang sunyi.❤️💕💞

Bogor, 2 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *