Catatan dari Lubuk Ulang Aling, Solok Selatan, Nagari yang Terabaikan (2)

Oleh : Bustami Narda*)

Memang harus diakui, bahwa Lubuk Ulang Aling ini dari dahulu hingga sekarang tak ubahnya bagaikan “sapi perah” bagi berbagai pihak dari luar, terutama oleh pihak penguasa.

Suatu contoh, di era Orde Baru(Orba) misalnya, sering sekali Lubuk Ulang Aling ini menjadi alat oleh Pemda untuk meminta bantuan ke Pusat atau ke Provinsi.

Pada saat mengajukan permohonan dikatakannya untuk pembangunan Lubuk Ulang Aling. Mengingat daerah ini masih sangat tertinggal, permohonan segera saja dikabulkan di Provinsi atau di pusat. Tetapi setelah bantuan turun, dialihkannya ke tempat lain. Itulah yang selalu ditanggungkan Lubuk Ulang Aling.

Di sisi lain, hasil-hasil kekayaan alam dari Lubuk Ulang Aling dijadikannya untuk membangun daerah lain.

Contoh, ketika dulu harga sarang burung walet mahal, pajaknya diambilnya untuk membangun daerah lain, sedangkan pembangunan untuk Lubuk Ulang Aling sama sekali diabaikannya.

Yang memiriskan lagi, bukan sekadar itu saja. Kekayaan alam berupa sarang burung walet itu dijadikannya untuk mengeruk keuntungan pribadi oleh oknum-oknum pejabat dan aparat, dengan cara mengadu domba masyarakat setempat.

Diadu dombanya masyarakat setempat, setelah itu dia berpihak ke salah satu kelompok yang bertikai. Selanjutnya dia pura-pura jadi juru damai, dengan mengambil keuntungan dari kedua belah pihak.

Karena dia telah berhasil berlagak seperti pahlawan perdamaian, akhirnya kedua belah pihak menyerahkan kekayaan alam miliknya itu kepada yang berlagak si juru damai ini.

Tentu saja pembaca akan mengatakan, mengapa mau diadu domba? Ini terjadi karena ketertinggalan masyarakat di sini selalu diusahakan memupuknya oleh pihak luar terutama pihak penguasa tadi. Cara memupuk ketertinggalannya, salah satunya adalah dengan mengabaikan pembangunan jalur transportasi jalan darat yang memadai.

Kalau jalan darat lancar beraspal, sudah barang tentu rakyat Lubuk Ulang Aling akan segera keluar dari keterisoliran. Jika mereka tak lagi terisolir, tentu mereka sudah sulit dikendalikan. Karena itu, keterisoliran ini yang harus selalu dipertahankannya agar rakyat di sini selalu bisa mereka atur sekehendak perut mereka saja.

Dan jika kita kaitkan dengan jalan dari Sitapus ke Sungai Penuh yang jaraknya hanya 4 km belum juga diaspal, meskipun sudah puluhan tahun berstatus jalan tanah semenjak dibuka di saat Gamawan Fauzi jadi Bupati Solok hingga kini, terbuktilah jadinya apa yang kita katakan jadi “sapi perah” tadi.

Demikian pula dengan jalan yang sudah dirintis dari Dusun Tangah menuju Pulau Punjung melewati Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Tengah dan Induk, sejak semasa Kab. Solok Selatan dipimpin Syafrizal-Nurfirmanwansyah (bukan di era Muzni Zakaria) yang hingga kini sama sekali seperti diabaikan begitu saja.

Kalau benar sudah dianggarkan dana pengaspalannya semasa kepemimpinan Khairunas-Yulian Epi periode pertama baru lalu, dan tidak dialihkan ke tempat lain, tentu sekarang sudah lancar jalan ini.

Tetapi, lagi-lagi terkesan seakan-akan ada usaha dari pihak-pihak tertentu agar Lubuk Ulang Aling ini tetap begini dari hari ke hari. Sekarang yang jadi pertanyaan, akankah mungkin rakyat Lubuk Ulang Aling bisa bersatu, serentak bangkit? (Bersambung)

Penulis adalah Wartawan Senior*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *