Saatnya Digitalisasi Etnosains, Merawat Kebijaksanaan Leluhur untuk Generasi Mendatang

Oleh : Irfan Ananda Ismail*)

Di sebuah nagari kecil di lereng Gunung Merapi, seorang tuo kampuang duduk di beranda rumah gadang. Tangannya yang keriput memegang buku catatan lusuh.

Di dalamnya, tertulis rapi resep obat tradisional yang diwariskan turun-temurun. Beliau tahu persis kapan menanam padi berdasarkan tanda-tanda alam, cara mengobati demam dengan ramuan dari hutan, dan filosofi di balik setiap ukiran rumah adat.

Sayangnya, generasi muda kini lebih akrab dengan smartphone ketimbang duduk mendengar cerita sang tuo. Pengetahuan berharga itu terancam hilang, terkubur bersama kepergian para tetua. Banyak yang menganggap kearifan lokal itu kuno, tidak relevan dengan zaman.

Ironisnya, tidak jauh dari sana, diskusi tentang digitalisasi etnosains sering bergema. Seminar diadakan, presentasi cantik ditayangkan, proposal penelitian diajukan.

Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, apa yang disebut “digitalisasi” itu? Seringkali hanya memindahkan teks dari buku ke PDF, mengunggah foto ke media sosial, atau membuat infografis di platform desain. Lalu bangga menyebutnya transformasi digital.

Ini bukan digitalisasi. Ini hanya migrasi format.

Padahal, jarak antara masa lalu dan masa depan sebenarnya nol. Keduanya saling terhubung dalam benang merah yang sama: keberlanjutan hidup manusia yang harmonis dengan alam dan sesamanya. Beranjak dari pemahaman bahwa tidak ada pengetahuan yang layak dilupakan, kita perlu merangkul teknologi digital untuk melestarikan etnosains.

Dokumentasi digital, platform pembelajaran daring, dan basis data interaktif bisa menjadi jembatan antara kebijaksanaan leluhur dengan generasi digital. Namun, jembatan itu harus dibangun dengan fondasi pemahaman yang kokoh, bukan sekadar penampilan yang megah.

Ilusi Transformasi Digital

Kata “digital” telah menjadi mantra ajaib di dunia akademik. Semua ingin terlihat digital, modern, dan progresif. Proposal penelitian yang menyebut kata “digital” di judulnya lebih mudah mendapat dana. Jurnal yang membahas digitalisasi lebih cepat terbit. Yang menggunakan platform daring dianggap lebih inovatif.

Namun, seberapa dalam transformasi itu sebenarnya?

Ketika diamati lebih seksama, banyak yang disebut digitalisasi hanya berhenti di permukaan. Materi pembelajaran yang dulunya di papan tulis, kini dipindah ke slide presentasi. Template yang sama digunakan berulang-ulang, hanya ganti judul dan tanggal.

Konten yang dulunya difotokopi dari buku teks, kini di-screenshot dari PDF. Bahkan ada yang bangga telah “berdigitalisasi” karena mengganti buku dengan proyektor. Lebih memprihatinkan lagi, era kecerdasan buatan telah tiba di depan mata.

Alat-alat canggih tersedia, beberapa bahkan gratis. Namun, apa yang terjadi? Banyak yang memperlakukan AI layaknya juru ketik otomatis. Copy-paste pertanyaan, copy-paste jawaban, lalu klaim sebagai karya sendiri. Tidak ada kurasi, tidak ada verifikasi, tidak ada pemahaman mendalam.
AI ada, tetapi kecerdasan menggunakannya tidak otomatis muncul.

Inilah paradoks era digital: teknologi semakin canggih, tetapi pemahaman tentang esensi digitalisasi justru semakin dangkal. Kita terperangkap dalam apa yang bisa disebut “digital cosmetic” terlihat modern di luar, tetapi kosong di dalam.

Etnosains Bukan Sekadar Nostalgia

Dalam hitungan ekonomi modern, mungkin etnosains dianggap tidak menguntungkan. Namun, Republik ini tidak dibangun dengan logika untung-rugi semata. Republik ini berdiri dengan janji melestarikan keberagaman dan kearifan yang menjadi jati diri bangsa.

Etnosains adalah warisan intelektual yang tidak ternilai harganya. Etnosains adalah sistem pengetahuan masyarakat lokal yang telah teruji ratusan tahun. Ia lahir dari pengalaman empiris berinteraksi dengan alam dan lingkungan.

Pengetahuan tentang astronomi untuk pertanian, pengobatan herbal, arsitektur yang tahan gempa, sistem irigasi yang efisien – semuanya adalah bukti kecerdasan kolektif yang perlu kita hormati.

Namun, menghormati bukan berarti mengawetkan dalam museum. Menghormati berarti membuat relevan, membuat aksesibel, membuat berkelanjutan. Di sinilah digitalisasi sejati dibutuhkan.
Perspektif yang perlu kita ubah: digitalisasi bukan berarti westernisasi.

Teknologi digital justru bisa menjadi alat untuk menguatkan identitas lokal. Ketika pengetahuan lokal terintegrasi dengan teknologi, ia tidak kehilangan esensinya, justru mendapat jangkauan yang lebih luas. Tetapi, integrasi itu harus dilakukan dengan cerdas.

Bukan sekadar memindahkan konten dari satu platform ke platform lain. Bukan sekadar membuat infografis cantik di aplikasi desain lalu menganggapnya sebagai inovasi. Digitalisasi sejati memerlukan pemikiran ulang tentang bagaimana pengetahuan itu disusun, diakses, dan dikembangkan.

AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti Berpikir

Era kecerdasan buatan membawa peluang sekaligus tantangan bagi dunia akademik. Di satu sisi, AI bisa membantu mengolah data etnografis dalam jumlah besar, mengenali pola dalam pengetahuan lokal, bahkan memprediksi tren pelestarian yang efektif.

Di sisi lain, AI bisa menjadi jalan pintas bagi kemalasan intelektual. Terlalu banyak kita lihat yang memperlakukan AI sebagai pengganti berpikir.

Pertanyaan penelitian diketik ke chatbot, jawabannya disalin mentah-mentah ke proposal. Analisis data diserahkan sepenuhnya ke algoritma, tanpa pemahaman tentang bagaimana algoritma itu bekerja. Bahkan ada yang bangga karena bisa menghasilkan paper dalam hitungan menit dengan bantuan AI.
Ini bukan kemajuan. Ini kemunduran intelektual yang dibungkus kemasan modern.

AI adalah alat yang ampuh, tetapi hanya di tangan yang cerdas menggunakannya. Kecerdasan buatan tidak bisa menggantikan kecerdasan manusia dalam memahami konteks budaya, nuansa lokal, dan kompleksitas sosial.

AI tidak bisa menggantikan empati yang dibutuhkan untuk mendengarkan cerita para tetua. AI tidak bisa menggantikan kebijaksanaan untuk memilah mana pengetahuan yang perlu dilestarikan dan bagaimana cara melestarikannya dengan bermartabat.

Yang kita butuhkan bukan akademisi yang mahir menggunakan AI, tetapi akademisi yang cerdas memanfaatkan AI untuk tujuan yang bermakna. Ada perbedaan besar antara keduanya.

Pengetahuan dan Integritas Akademik

Digitalisasi etnosains juga akan membuka ruang demokratisasi pengetahuan. Tidak ada lagi monopoli akses. Anak nagari di pelosok bisa belajar tentang filosofi rumah gadang dengan kualitas yang sama dengan mahasiswa di kota besar. Guru SD bisa mengintegrasikan materi etnosains dalam pembelajaran IPA di kelas.

Namun, demokratisasi akses harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital dan integritas akademik. Ketika informasi begitu mudah diakses, godaan untuk mengambil jalan pintas juga semakin besar. Copy-paste tanpa sitasi. Plagiarisme yang dibungkus parafrasa. Mengklaim hasil AI sebagai pemikiran sendiri.

Syarat utamanya adalah tata kelola data yang berintegritas. Dokumentasi harus akurat, menghormati sumber pengetahuan, dan melindungi hak intelektual masyarakat adat. Jangan sampai digitalisasi justru menjadi alat eksploitasi baru, di mana pengetahuan lokal diambil tanpa izin, dipatenkan oleh pihak luar, dan dikomersialisasi tanpa keuntungan bagi masyarakat asalnya.

Digitalisasi etnosains bukan proyek jangka pendek yang selesai setelah dana habis atau paper terbit. Hal ini merupakan komitmen jangka panjang untuk memastikan bahwa Etnosains tidak hilang ditelan zaman. Komitmen untuk membuktikan bahwa tradisi dan teknologi bisa berjalan beriringan. Komitmen untuk mewariskan masa depan yang lebih bermakna.

Gagasan ini ditulis dengan keyakinan bahwa setiap anak nagari punya hak mendapatkan akses terhadap kearifan leluhurnya. Bukan digitalisasi yang performatif, tetapi transformatif. Bukan yang copy-paste, tetapi kreatif dan kontekstual. Bukan yang mengikuti tren sesaat, tetapi membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan. []

Mahasiswa S3 Pendidikan IPA Universitas Negeri Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *