Banner Bupati Siak
Dakwah  

Kaya atau Miskin Hanyalah Ujian

Oleh: Gusfahmi Arifin, SE., MA*

ُهۥََكَن بِعَِبادِهِۦ رِۡزَق لَِمن يََشآُءَويَۡقِدُرُۚإِن بَك يَبُۡسُط ٱل نَر ِإ

٣٠ ياٗصَِب اَۢيَِخبَ

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Al Isra’ [17]: 30).

Allah SWT telah membuat ketetapan bahwa diantara manusia akan ada yang kaya dan ada yang miskin (QS.17:30). Sampai kiamat, orang miskin akan tetap ada meskipun manusia berupaya keras menghilangkannya. Kaya dan miskin itu adalah skenario Allah SWT, sebagaimana adanya manusia yang beriman dan ada pula manusia yang kafir (QS.64:2). Kalau ada upaya menghapus kemiskinan berarti menentang Allah SWT.

Allah SWT membuat ada yang kaya dan miskin, agar manusia saling berhubungan satu sama lain. Bayangkan jika seluruh manusia kaya, siapa yang menjadi tukang tambal ban? Sebaliknya jika manusia miskin semua akan terjadi kerusuhan.

Selain itu, adanya kaya dan miskin adalah model ujian dari Allah SWT bagi manusia, sehingga pada setiap orang akan datang suatu masa diuji dengan kekayaan dan dimasa lain akan diuji dengan kemiskinan (QS.89:15-16). Allah SWT ingin melihat bagaimana reaksi si fulan ketika di uji dengan kedua hal itu, adakah dia tetap bersyukur atau menjadi kufur.

Umumnya manusia akan taat ketika miskin dan lalai ketika sudah diuji dengan kekayaan (ingat kisah Qarun atau Tsa’labah). Begitu beratnya ujian kekayaan itu, sehingga Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA pernah berkata,”Kami di uji dengan kemiskinan kami sanggup, namun tatkala diuji dengan kekayaan hampir-hampir kami tak sanggup”.

Manusia kaya bukan karena dia pintar atau karena hebat, melainkan karena Allah SWT mudahkan rezekinya. Berapa banyak orang pintar tapi tidak kaya, dan berapa banyak orang yang tidak pintar namun diberi kekayaan melimpah. Tidak ada korelasi (hubungan) positif antara kaya dengan tinggi rendahnya pendidikan.

Bahkan kadangkala semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin sulit pula rezekinya, namun orang yang tidak berpendidikan tinggi malah begitu mudah rezekinya. Banyak sarjana ekonomi hari ini menganggur dan tak punya penghasilan. Semuanya membuktikan bahwa kita manusia tidak punya kuasa atas kekayaan, melainkan Allah SWT lah yang Maha Berkehendak.

Buktinya, 100 orang terkaya di dunia tidak berasal dari turunan orang kaya, 10 orang terkaya di Indonesia tidak bersekolah tinggi. Seperti musim panas dan musim hujan, kaya dan miskin akan datang bergiliran. Tidak ada garansi bahwa seseorang akan kaya selamanya, dan tidak ada pula ketetapan bahwa orang miskin akan miskin selamanya.

Betapa banyak orang kaya, anaknya melarat. Sebaliknya, betapa banyak orang miskin yang anaknya kaya raya. Tidak ada suatu formula yang memberikan resep agar seseorang mapu bertahan kaya selamanya. Allah SWT bisa membuat kondisi orang kaya tiba-tiba miskin dengan sebab yang bermacam-macam (kena penyakit, dihukum penjara, usaha bangkrut).

Sebaliknya orang miskin bisa Allah SWT kayakan secara cepat melalui berbagai jalan (usahanya lancar, diberi otak dan ilmu yang bermanfaat). Karena kaya dan miskin tidak bisa diperkirakan dan dikendalikan, maka kita harus selalu siap menghadapi kedua ujian ini.

Definisi fakir dan miskin

Miskin adalah orang yang sehat dan kuat fisiknya, punya pekerjaan dan penghasilan namun penghasilannya itu kurang dari kebutuhan pokok diri dan tanggungannya. Misalnya seorang laki-laki punya seorang istri dan 5 orang anak, kebutuhan pokok keluarganya adalah Rp.5 juta sebulan, tapi penghasilannya cuma Rp.4 juta (80%), sehingga ia tergolong orang miskin.

Sedangkan Fakir adalah orang yang secara fisik memiliki kekurangan, misalnya buta, lumpuh, tuli, janda yang tidak memiliki penanggung, sarjana yang belum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, atau orang yang memiliki pekerjaan tapi penghasilannya kurang setengah dari kebutuhan diri dan tanggungannya. Fakir jauh lebih buruk keadaannya dari miskin, sehingga jika ditemukan keduanya maka fakir mesti didahulukan.

Batasan miskin secara nominal

Batasan miskin dibuat oleh berbagai pihak atau lembaga. Pemerintah memberi batasan miskin adalah orang yang punya pengeluaran Rp595.242 per bulan. Bank Dunia memberi batasan bahwa miskin adalah orang yang punya penghasilan kurang dari US$2 per hari.

Pusat Pemungutan Zakat (PPZ) Malaysia memberi batasan bahwa orang yang berhak menerima Zakat (orang miskin) adalah orang yang punya penghasilan kurang dari RM 2.000 perbulan atau Rp.7.400.000 (1 RM = Rp.3700). Direktorat Jenderal Pajak mengenakan pajak (dianggap orang kaya) jika penghasilan sudah diatas Rp.4.500.000. per orang per bulan.

Rasulullah SAW memberi batasan bahwa orang miskin ialah yang punya harta kurang dari 50 dirham (perak) atau sekitar Rp.5.000.000. (1 dirham = Rp.100.000). Al-Qur’an memberi batasan miskin adalah orang yang punya harta (Wajib Zakat) lebih dari 85 gram emas atau senilai Rp.127.500.000 setahun atau Rp.10.825.000. per bulan.

Sebagai seorang Muslim akan lebih tepat memakai ukuran Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Miskin yang kuat wajib bekerja

Dalam mengatasi kemiskinan ini, Islam membagi orang miskin atas 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama adalah orang miskin namun masih kuat bekerja. Atas kelompok pertama ini tidak boleh diberi Zakat atau Infaq, tapi mereka harus bekerja.

Rasulullah SAW bersabda ,” Wala Hazhzha fii haa li ghaniyyin wa lali qawwiyin muktasibin”, artinya,”Tidak ada hak Zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat bekerja..” (HR. Nasa’i 2598).

Miskin yang punya karib kerabat dengan Infak

Kelompok kedua adalah orang yang miskin tapi masih punya karib kerabat. Kelompok miskin kedua ini diatasi dengan member Infak (nafkah). Islam mengatur bahwa karib kerabat adalah orang yang pertama kali bertanggungjawab terhadap saudaranya yang miskin (lihat QS.2:215).

Jika ditemukan orang miskin maka harus ditanya dulu siapa karib kerabatnya (ayah, ibu, saudara, paman). Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang yang mengeluh bahwa dia punya saudara yang kerjanya hanya beribadah saja, sedangkan nafkahnya dia yang memberi.

Maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa engkau tidak tahu jangan-jangan rezeki engkau disebabkan do’a saudaramu yang rajin beribadah itu. Kita sesama saudara sangat dianjurkan untuk saling memberi sebagaimana Rasulullah SAW telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar di Madinah.

Miskin yang tak punya kerabat dengan Zakat

Kelompok ketiga adalah mereka yang miskin dan tidak punya karib kerabat atau miskin dan punya kerabat tapi kerabatnya juga miskin, maka mereka adalah tanggung jawab Ulil Amri dengan memberi mereka Zakat (lihat QS.9:103 dan 60).

Zakat dipungut oleh pemerintah atau lembaga yang disahkan oleh pemerintah, agar tercipta keadilan dalam pendistribusiannya dan menghilangkan rasa rendah diri si penerima zakat (mustahik).

Zakat sebagai kotoran yang harus dikeluarkan

Ketika ujian kekayaan datang, maka Allah SWT perintahkan kita untuk berzakat, mengeluarkan hak orang miskin yang “menempel” pada harta kita. Zakat yang dikeluarkan adalah “kotoran” yang tidak boleh termakan oleh si kaya (Muzakki /Wajib Zakat).

Rasulullah SAW pernah memaksa cucu beliau Husein agar memuntahkan zakat yang termakan karena khawatir itu qurma Zakat. Selain tak boleh dimakan, pemanfatan zakat juga tidak boleh dinikmati pembayar Zakat. Misalnya uang Zakat dibelikan keramik untuk masjid dan masjid itu dipakai sikaya, maka dalam hal ini sikaya ikut menikmati zakat yang bukan haknya.

Pajak sebagai kewajiban tambahan

Disamping Zakat, ada lagi kewajiban kaum Muslimin yang kedua yaitu Pajak (Dhariibah). Pajak sebetulnya bukan pengeluaran untuk orang lain, melainkan pengeluaran untuk diri sendiri yang dititipkan pengelolaannya kepada pemerintah.

Allah SWT memerintahkan kepada seorang ayah agar memenuhi kebutuhan istri dan anaknya berupa makanan, pakaian (QS.2:233) dan rumah (QS.65:6). Selain itu, seorang Muslim juga perlu keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Seluruh kebutuhan diatas tidak dapat/boleh dikelola sendiri-sendiri (menangkap pencuri sendiri, mengobati diri sendiri, mengajar anak sendiri), namun harus dikelola secara ijtimaiyyah (kolektif) oleh Ulil Amri, dimana perlu adanya tentara, polisi, PNS, dokter, perawat, obat, guru, sekolah. Kalau dikelola sendiri-sendiri akan muncul hukum rimba, yang kuat menekan yang lemah atau terjadi monopoli yang merugikan pihak yang lemah dan miskin. 3

Zakat dan Pajak sebagai system distribusi kekayaan

Zakat dan pajak hakikatnya adalah dua instrumen untuk memindahkan (distribusi) kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Dalam al-Qur’an dikatakan,”likai laa yakuuna duulatan bainal aghniyaai minkum (agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya di antara kamu), (QS.59:6).

Dalam hadits disebutkan,” fa a’limhum annallaha iftaradha ‘alaihim shadaqah fi amwaalihim tu’khadzu min aghniyaa’ihimwaturaddu ilaa fuqaraa ihim” yang artinya ,”Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat atas harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka.” (HR Bukhari dari Mu’adz bin Jabal).

Zakat dan Pajak dari satu sumur

Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban yang diambil dari sumber yang sama yaitu penghasilan (pendapatan). Ia ibarat dua mata air dari sebuah sumur, jika makin sering digali dan dibersihkan maka mata air akan bertambah dan air yang keluar akan bertambah banyak. Jika keduanya ditunaikan, maka akan diberi keberkahan oleh Allah SWT, sehingga harta akan semakin bertambah dan bertumbuh. Allah SWT telah menjamin, tidak akan berkurang harta dengan Shadaqah. Zakat dan Pajak adalah termasuk Shadaqah!

Beda Penggunaan Zakat, Infaq, Waqaf dan Shadaqah

Di Masjid sering kita dengar pengumuman yang berbunyi,“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara jamaah yang dirahmati Allah SWT. Kami pengurus menerima sumbangan berupa Zakat, Infak, Shadaqah dan Waqaf, yang sepenuhnya akan kami gunakan untuk pembangunan dan berbagai keperluan dalam rangka memakmurkan masjid.

”Sekilas pengumuman ini terlihat benar, namun ada yang keliru. Hal ini sungguh keliru karena pengurus menyatukan empat hal yang berbeda tujuan penggunaannya! Di masjid kita juga kita temukan kotak amal yang bertuliskan,”Zakat, infak, Shadaqah, Waqaf”.

Sekilas antara keempat jenis penerimaan masjid tersebut tidak ada perbedaan bagi yang mengeluarkan hartanya, bahkan banyak petugas masjid yang menerima dana tersebut juga tidak faham perbedaannya sehingga dalam pemanfaatannya dianggap sama, padahal tujuan dan sumbernya adalah berbeda.

Ibarat sebuah bus kota, lain bus lain pula trayeknya. Infak berasal dari kata nafaqa yang berarti belanja (nafkah). Ia digunakan seperti kita memberi nafkah kepada anggota keluarga (istri, anak, ibu, kakak, adik), maka uang infak harus digunakan untuk kebutuhan rutin seperti gaji petugas (garin/marbot), listrik, telepon, air, alat kebersihan, makan dan minum jamaah.

Infaq tidak boleh digunakan untuk membantu asnaf yang delapan yang merupakan wilayah zakat, apalagi untuk belanja barang modal seperti bangunan, mesin, tanah, karpet, keramik, semen dan barang modal lainnya yang merupakan barang wakaf.

Zakat harus diserahkan kepada orang yang termasuk dalam asnaf yang delapan yaitu fakir, miskin, ‘amil, riqab (budak), gharim (orang yang berhutang), ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) dan fisabilillah (orang yang berperang di jalan Allah SWT). Tidak diserahkan kepada masjid karena masjid bukan orang.

Apabila pengurus masjid (sebagai ‘amil) menerima Zakat maka harus segera dibagikan kepada asnaf yang delapan tersebut, tidak boleh digunakan untuk keperluan masjid. Jika dipakai untuk masjid maka orang kaya (muzakki) yang shalat di situ akan ikut menikmati uang Zakat sehingga hal ini menjadi haram.

Wakaf harus digunakan untuk barang modal, yaitu barang yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu lama seperti karpet, keramik, semen, batu batu, pengeras suara, tanah. Uang wakaf tidak boleh digunakan untuk gaji, alat pembersih, dan benda-benda yang cepat habis.

Selama benda yang diwakafkan ada dan bermanfaat maka pahalanya akan mengalir kepada si wakif. Benda yang diwakafkan tidak boleh dijual, digadaikan atau dirubah statusnya sampai hari kiamat.

Rasulullah SAW bersabda,“Kullu ma’rufin shadaqah” yang artinya seluruh kebaikan adalah shadaqah. Zakat, Infaq, Wakaf diatas seluruhnya disebut Shadaqah. Shadaqah lebih luas karena terdiri dari materi dan non materi. Jika kita tidak mampu menolong saudara dengan materi maka kita bisa membantu dengan pemikiran atau tenaga. Hal ini termasuk shadaqah. Jika materi, pemikiran, tenaga juga tidak ada maka senyum kepada saudaramu juga shadaqah.

*) Gusfahmi Arifin, SE.,MA., Alumnus S2 Magister Studi Islam, Konsentrasi Ekonomi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta; Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi, Mahasiswa S3 (Doktor) Universitas Islam Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *