Oleh : Mr. Dedi Vitra Johor*
Pernah nggak anda merasa sudah kerja keras, belajar ini-itu, ikut seminar sana-sini, tapi tetap mentok di situ-situ saja? Rasanya seperti naik sepeda statis—capek iya, maju kagak.
Anda mungkin punya banyak impian: bisnis berkembang, hidup lebih mapan, keluarga harmonis, atau sekadar bisa bekerja tanpa stres tiap hari.
Tapi tahukah anda? Impian sebesar apapun tidak akan membawa anda lebih jauh kalau anda selalu berjalan sendirian.
Karena realitanya: Orang pintar butuh guru. Orang sukses butuh mentor.
Mari saya Jelaskan lebih detail, pernah membandingkan perjalanan pakai jalan tikus dengan jalan tol?. Jalan tikus: berliku, sempit, banyak gang sempit, kadang nyasar. Sedangkan Jalan tol: lurus, jelas arahnya, ada rambu, dan sampai lebih cepat.
Mentor itu seperti jalan tol dalam hidup anda. Dia memotong proses pencarian buta. Dia membantu anda menghindari lubang yang sudah pernah dia jatuh ke dalamnya. Dia mempersingkat waktu dan memperkecil risiko.
Mentor bukan orang yang memanjakan anda.Justru sebaliknya, mentor adalah orang yang membuat anda tidak nyaman — agar anda tumbuh.
Banyak orang terjebak dalam mitos ini. Terutama yang merasa sudah “berilmu”, sudah baca buku, atau sudah punya pengalaman bertahun-tahun.
Tapi coba lihat sejarah dunia:
• Alexander the Great punya mentor: Aristoteles.
• Barack Obama punya mentor: David Axelrod, yang membentuk narasi kampanye legendarisnya.
• Michael Jordan tidak akan menjadi GOAT tanpa Phil Jackson.
• Mike Tyson tidak akan jadi juara dunia termuda tanpa Cus D’Amato.
• Mark Zuckerberg bahkan minta nasihat ke Steve Jobs saat Facebook masih di awal-awal.
Kalau tokoh-tokoh kelas dunia ini saja masih merasa butuh guidance, lalu siapa kita… sampai merasa tidak perlu dibimbing?
Salah satu fungsi mentor yang paling krusial adalah: membantu anda melihat kebutaan anda sendiri. Kita semua punya blind spot. Area dalam hidup atau bisnis yang tidak kita sadari sedang bermasalah—karena terlalu dekat, atau karena kita terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Mentor akan menunjuk langsung: “Ini loh yang salah. Kamu kira benar, tapi ternyata ini yang bikin kamu mandek.”Dan itu sangat-sangat mahal.
Contoh nyata:
Seorang pengusaha kuliner mengeluh: “Kenapa ya cabang saya selalu rugi?” Setelah dimentori, baru kelihatan: SOP-nya nggak ada, kontrol bahan baku lemah, dan dia terlalu sibuk di dapur daripada bangun tim.
Mentor bukan hanya memberi solusi. Tapi membuka mata anda untuk menyadari masalah yang bahkan tidak anda tahu sedang terjadi.
Anda mungkin berkata: “Saya sudah ikut banyak training.” “Saya punya pengalaman lebih dari 10 tahun.”“Saya juga baca buku bisnis setiap bulan.”
Itu bagus. Tapi ingat: Ilmu yang tidak dituntun arah penerapannya bisa jadi berbahaya. Ilmu tanpa arah = teori. Ilmu tanpa refleksi = arogansi. Ilmu tanpa mentor = jalan sendirian di hutan gelap, modal senter kecil.
Mentor akan membantu anda memilah, menyusun, dan mengaplikasikan ilmu yang sudah anda punya dengan benar dan kontekstual.
Banyak orang memang bisa berhasil tanpa mentor. Tapi anda bisa cek—berapa tahun waktu yang mereka habiskan? Berapa kesalahan mahal yang mereka buat?
Mentor adalah akselerator. Dia bukan membuat anda lebih pintar, tapi membuat anda lebih cepat matang.
Ada beberapa alasan klasik yang sering bikin seseorang alergi dengan kata “mentor”:
- Ego:
“Saya juga bisa belajar sendiri!”
Ya bisa, tapi apakah anda mau buang waktu 10 tahun untuk sesuatu yang bisa dijelaskan mentor dalam 1 jam? - Takut dikritik:
Padahal kritik mentor bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menajamkan. Beda antara ditusuk dan dibentuk. - Tidak percaya orang lain:
Karena pernah disakiti atau dikecewakan, akhirnya kita merasa tidak ada yang bisa diandalkan. Tapi ingat, satu pengalaman buruk tidak seharusnya memenjarakan anda dari potensi kebaikan yang lebih besar. - Salah pilih mentor:
Ini juga valid. Tapi bukan berarti semua mentor itu buruk. Sama seperti salah makan di satu warung, bukan berarti anda stop makan selamanya, kan?
Saya mau jujur kepada anda. Di awal tahun 2000-an, saat saya mulai masuk dunia bisnis, saya merasa sudah cukup pintar.Saya pikir: “Buat apa belajar ke orang lain? Saya juga bisa baca buku, bisa cari tahu sendiri.”
Dan benar saja… saya belajar—dari kegagalan yang menyakitkan.
Karena merasa paling tahu, saya salah kelola keuangan. Karena tidak mau bertanya, saya salah pilih partner. Karena terlalu bangga, saya tidak mau mendengar nasihat dari orang yang lebih senior.
Hasilnya? Bisnis saya nyaris karam. Untungnya, saya akhirnya tobat. Saya mulai mencari mentor, belajar dari pengalaman orang lain, dan membuka telinga lebih lebar daripada mulut. Saat itulah grafik hidup saya mulai berubah. Bukan karena saya makin pintar, tapi karena saya berani jadi murid.
Mentor yang tepat bukan hanya orang yang pintar. Tapi:
• Punya pengalaman nyata. Dia sudah pernah jatuh dan bangkit.
• Mau melihat anda berkembang. Bukan cuma cari cuan.
• Berani jujur dan menegur. Bukan cuma memuji.
• Paham arah anda. Jadi dia bisa membimbing, bukan menggiring.
Pilih mentor yang sudah hidup di “masa depan” yang anda inginkan. Misal, kalau anda ingin bisnis berkembang, carilah mentor yang sudah pernah membesarkan bisnis. Jangan cari dari yang baru mulai atau yang sekadar teori.
Salam Dahzyat
DVJ
Pengusaha | Motivator*