Ketika Alam Menyimpan Cinta dalam Setetes Jus Dengen: Jus Jingga dari Bumi Sorowako
Essay : Nurul Jannah*)
Di Balik Warna Jingga yang Terang
Ada yang ajaib dari sebotol kecil berisi cairan jingga itu. Ketika mata menatapnya, seperti melihat cahaya senja yang enggan pergi. Ketika tutupnya dibuka, aromanya menyelinap halus; manis, masam yang menenangkan.
Namanya Dengen. Sebuah nama yang menyimpan kekuatan. Buah ini lahir dari pelukan hutan Sorowako, endemik Sulawesi, tumbuh liar di antara pepohonan tua dan udara yang masih murni. Ia tidak menuntut banyak, tidak butuh banyak pupuk, tidak menunggu perhatian, hanya butuh ruang, waktu, dan cinta alam yang setia.
Kini, Dengen kembali dikenali dalam wujud baru. Jus Dengen, cairan keemasan yang lahir dari tangan-tangan sederhana, namun membawa pesan besar bahwa di bumi ini, masih ada rasa yang belum dijajah industri, masih ada kejujuran yang tumbuh dari tanah sendiri.
Apa Itu Dengen?
Dengen adalah buah endemik dari tanah Sulawesi, terutama Sorowako, Luwu Timur. Kulitnya berwarna cokelat jingga, bentuknya menyerupai jeruk kecil dengan daging buah lembut berwarna oranye pucat.
Rasanya tak bisa dijelaskan dalam satu kata, manis seperti cinta pertama, asam seperti perpisahan, segar seperti harapan yang baru lahir.
Di tengah gempuran produk instan dan rasa buatan, Dengen hadir sebagai penawar kelelahan modernitas. Ia tidak hanya tumbuh, tapi dihadirkan oleh semesta untuk mengingatkan manusia akan asalnya, bahwa keindahan sejati tidak perlu dirancang, cukup dijaga.
Mengapa buah Dengen Begitu Berarti?
Karena buah Dengen adalah penjaga ingatan ekologi.Ia lahir dari tanah yang seimbang, tumbuh tanpa sentuhan kimia, menjaga hutan dengan caranya sendiri, diam, tapi berdaya.
“Dengen tidak bisa dipaksa tumbuh di tempat lain,” ujar ibu Subaedah Mine Designer PT Vale . “Ia hanya hidup di tanah yang masih jujur.”
Kalimat itu menampar kesadaran. Betapa banyak dari kita yang telah kehilangan kejujuran rasa, terbiasa dengan manis buatan, segar sintetis, dan kenyang tanpa makna.
Sementara Dengen, dalam kesederhanaannya, menyuguhkan rasa kehidupan yang paling murni. Alami dan apa adanya.
Maka ketika ia kini hadir dalam bentuk Jus Dengen, ia bukan semata minuman, melainkan manifesto kecil tentang ketulusan alam yang ingin kembali dikenali.
Dari Mana Ia Datang dan Ke Mana Ia Akan Pergi?
Ia datang dari lembah-lembah sunyi Sorowako, tempat kabut pagi menari di atas danau, dan burung-burung bersahut lembut memanggil waktu.
Dulu, Dengen hanya dikenal di kalangan lokal, buah liar yang dipetik seadanya. Namun kini, lewat tangan-tangan yang kreatif dan komunitas peduli lingkungan, ia diolah menjadi Jus Dengen, minuman khas Luwu Timur yang perlahan menembus batas desa dan dikenal dunia.
Botolnya sederhana, tapi setiap tetes di dalamnya menyimpan perjalanan panjang. Dari akar yang menembus tanah vulkanik, dari hutan yang tak pernah berbohong, dan dari manusia yang masih percaya bahwa kebaikan bisa tumbuh dari alam.
Siapa yang Menjaganya Tetap Ada?
Mereka yang setia pada bumi. Para ibu yang mengolah buah ini di dapur dengan tangan bersih dan hati bersyukur. Para pemuda yang menanam bibitnya di tepi hutan. Dan para pelancong yang datang, lalu tertegun dalam diam setelah meneguknya.
“Rasanya unik dan segar,” kataku pada Ibu Rizki Pratiwi, Spesialist Environment Sustainability PT Vale, ketika pertama kali mencicipinya di galeri UMKM yang dikelola Bumdes Anatoa, Sorowako. “Seperti ada kenangan masa kecil yang tiba-tiba hidup kembali.”
Ibu Rizki tersenyum lembut.
“Begitulah Dengen. Ia membawa kita pulang, tanpa perlu berkata apa-apa.”
Hari itu tak pernah kulupa. Kunjungan pertamaku ke Galeri UMKM PT Vale mengangkut satu botol Jus Dengen dengan beberapa produk UMKM lainnya.
Keesokan harinya, aku kembali mampir di Galeri tersebut ditemani Ibu Subaedah, membeli lagi Jus Dengen untuk bisa dibagi dan dikenalkan ke anggota tim lainnya.
Alhasil, sepuluh botol Jus Dengen yang tersisa, aku beli semuanya. Alhamdulillah. Sepuluh botol itu seolah berisi sepuluh kisah cinta antara manusia dan alam. Aku simpan dengan hati penuh, seolah sedang membawa pulang bongkahan cahaya dari bumi Sorowako.
Kapan Dengen Ditemukan Kembali?
Ia tidak ditemukan lewat laboratorium, melainkan lewat rasa rindu manusia terhadap alam yang murni.
Ketika dunia modern membuat kita haus akan kesegaran sejati, Dengen hadir. Tidak megah, tidak mewah, tapi tulus dan menggetarkan.
Kini, buah Dengen tengah memasuki masa kebangkitannya. Dari hutan-hutan Sorowako, ia tumbuh menjadi ikon ketahanan pangan lokal, bukti bahwa potensi alam tidak perlu dieksploitasi, cukup dirawat dan dihormati.
Bagaimana Dengen Mengajarkan Kita tentang Ketahanan Pangan dan Kehidupan?
Jus Dengen bukan semata produk ekonomi, ia adalah pelajaran tentang harmoni. Tentang hubungan suci antara manusia dan bumi.
Ia mengajarkan bahwa ketahanan pangan bukan hanua menanam banyak, tetapi menanam dengan nurani, menjaga ritme alam, menghormati batasnya.
Dengen tumbuh di tanah yang dulu dianggap biasa, namun karena dirawat dengan cinta, ia menjadi luar biasa. Dari buah kecil ini, kita belajar bahwa masa depan pangan tidak harus datang dari pabrik besar, melainkan bisa tumbuh diam-diam dari pelukan hutan.
Seteguk Dengen, Seteguk Kehidupan
Menjelang senja di Sorowako, matahari terakhir jatuh di permukaan danau, dan aku membuka satu botol kecil Jus Dengen yang tersisa.
Warnanya jingga, seperti senja yang menolak mati. Kuteguk perlahan. Rasanya lembut, seperti bumi yang berbisik dalam tenggorokanku. “Aku masih hidup di dalam rasa ini,” katanya, seolah berbicara.
Di dunia yang serba cepat dan bising, Dengen hadir bukan hanya memberi kesegaran, tapi mengingatkan kita bahwa kesederhanaan masih bisa membahagiakan.
Karena Dengen bukan hanya buah semata, ia adalah surat cinta alam untuk manusia, ditulis dengan cahaya, dan dikirim lewat rasa. 💛💕💜
Bogor, 4 November 2025
							


