Fenomena Apatisme Politik di Kalangan Muda: Kegagalan Sosialisasi atau Ketidakpercayaan?

Oleh: Intan Wahyuni*)

Pemilihan umum (pemilu) adalah jantung demokrasi yang menjadi sarana bagi rakyat untuk menentukan masa depan bangsa dan memilih pemimpin yang dianggap mampu untuk mewujudkan keadilan sosial. Tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilu sering kali dijadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi fenomena yang cukup memprihatinkan, yaitu meningkatnya sikap apatis politik, terutama pada kalangan generasi muda. Fenomena ini tampak dari data partisipasi pemilu legislatif yang menurun dari 84% pada tahun 2004 menjadi 71% pada tahun 2009, dan tren serupa terus berulang di beberapa periode berikutnya.

Sebuah pertanyaan pun muncul, apakah apatisme ini disebabkan oleh kegagalan proses sosialisasi politik, atau justru merupakan bentuk ketidakpercayaan mendalam terhadap sistem dan aktor politik yang ada?

Sosialisasi politik sejatinya adalah sebuah proses penting dalam pembentukan kesadaran dan identitas politik seseorang. Melalui proses ini, individu belajar memahami nilai, norma, serta bagaimana mekanisme politik yang berlaku di lingkungan masyarakat.

Almond dan Verba (1963) menyebutkan bahwa sosialisasi politik adalah proses pembelajaran nilai dan orientasi politik yang akan menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan bernegara. Agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah, media massa, organisasi masyarakat, dan lingkungan pertemanan memiliki peran strategis dalam menanamkan politik sejak dini. Di antara agen-agen tersebut, lembaga pendidikan sering dianggap sebagai wadah yang paling efektif dalam memperkenalkan konsep demokrasi dan pentingnya partisipasi politik bagi teman muda.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses sosialisasi politik di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyaknya sekolah yang belum menjadikan pendidikan politik sebagai bagian integral dari pembentukan karakter warga negara.

Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu pun sering kali hanya bersifat formalitas, hanya sekadar membagikan pamflet, menggelar seminar singkat, atau membuat spanduk ajakan memilih.

Padahal, generasi muda hidup di era digital yang menuntut pendekatan kreatif dan interaktif. Ketika sosialisasi dilakukan dengan cara yang konvensional dan monoton, pesan politik yang disampaikan sulit terserap secara mendalam.

Akibatnya, banyak pemuda yang akhirnya tumbuh dengan pengetahuan politik yang minim, orientasi politik yang kabur, dan perasaan bahwa politik adalah suatu hal yang jauh dari kehidupan sehari-hari.

Namun, ketika kita melihat dari sisi lain, apatisme ternyata tidak bisa kita lihat semata-mata sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan. Banyak anak muda saat ini justru memiliki akses luas terhadap informasi politik melalui media sosial dan internet.

Namun alih-alih meningkatkan kepercayaan terhadap sistem, derasnya arus informasi sering kali justru menumbuhkan sinisme. Kasus korupsi yang terus berulang, politik uang yang masih kian merajalela, serta janji-janji pada saat kampanye yang tidak ditepati membuat banyak generasi muda yang akhirnya kecewa.

Menurut Haryanto (2014), kondisi tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi politik semakin menurun akibat perilaku elit yang tidak konsisten antara ucapan dan tindakan. Mereka melihat politik bukan sebagai sarana perubahan, melainkan panggung kepentingan pribadi. Ketika idealisme bertemu dengan kenyataan yang penuh dengan intrik, rasa percaya pun terkikis sedikit demi sedikit secara perlahan namun pasti.

Bagi sebagian anak muda, tidak memilih dalam pemilu bukan berarti tidak peduli. Justru, bagi mereka, itu merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem yang rusak. Mereka merasa partisipasi politik tidak akan membawa perubahan nyata karena para elit tetap memegang kendali kekuasaan dengan cara yang sama.

Fenomena ini mencerminkan bahwa apatisme politik bukan semata kebodohan politik, melainkan juga ekspresi kekecewaan kolektif yang lahir dari pengalaman sosial dan politik yang mengecewakan.

Apatisme politik di kalangan muda, dengan demikian, merupakan sebuah hasil dari interaksi kompleks antara dua faktor, yaitu lemahnya proses sosialisasi dan krisis kepercayaan terhadap sistem politik. Ketika sosialisasi politik gagal menanamkan kesadaran pentingnya partisipasi, sementara realitas politik justru memperlihatkan ketidakjujuran dan ketidakadilan, maka apatisme menjadi pilihan yang logis bagi sebagian generasi muda. Sosialisasi yang lemah melahirkan ketidaktahuan, sedangkan politik yang korup melahirkan ketidakpercayaan. Keduanya berkelindan menciptakan siklus apatisme yang akan sulit untuk diputus.

Meski demikian, bukan berarti fenomena ini tidak dapat kita ubah. Mengembalikan kepercayaan dan semangat partisipasi generasi muda membutuhkan pendekatan yang lebih relevan dengan zaman. Sosialisasi politik perlu direformasi menjadi lebih kreatif, partisipatif, dan konseptual. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan penyelenggara pemilu harus memanfaatkan media sosial, platform digital, hingga budaya populer sebagai sarana edukasi politik yang menarik dan komunikatif.

Menurut Huntington dan Nelson (1976), partisipasi politik yang sehat hanya dapat tumbuh apabila masyarakat merasa memiliki pengaruh nyata terhadap kebijakan publik. Kampanye “melek politik” seharusnya tidak sekadar mengajak untuk mencoblos, tetapi juga untuk menumbuhkan pemahaman kritis bahwa setiap suara memiliki kekuatan untuk mengubah arah kebijakan bangsa.

Lebih dari hal itu, aktor politik juga harus mampu menunjukkan keteladanan moral dan profesionalisme. Generasi muda tidak akan percaya pada sistem yang dipimpin oleh orang-orang yang mengkhianati nilai-nilai kejujuran.

Politik yang bersih, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil adalah syarat mutlak untuk mengembalikan kepercayaan publik. Hanya dengan keteladanan nyata dari para pemimpin, partisipasi politik dapat tumbuh secara alami, bukan karena imbauan, melainkan karena keyakinan.

Pada akhirnya, apatisme politik di kalangan muda tidak boleh kita pandang sebagai sebuah ancaman semata, tapi sebagai cermin yang memperlihatkan betapa banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh bangsa ini. Tersimpan keinginan besar untuk melihat politik yang lebih jujur, adil, dan bermakna.

Maka, tugas kita bersama adalah membangun ruang politik yang tidak hanya mengajak mereka datang ke TPS, tetapi juga mengembalikan keyakinan bahwa suara mereka benar-benar berarti bagi masa depan demokrasi Indonesia. []

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *