Dari Timeline ke TPS: Menguji Keseriusan Generasi Digital dalam Politik

Oleh : Talitha Ushwatun Hasanah*)

Di era ketika hampir segala hal berpindah ke ruang digital, politik pun tak luput dari suatu perubahan. Kini, panggung politik tidak hanya berada di ruang sidang atau sekadar baliho pinggir jalan, melainkan juga di layar handphone.

Timeline media sosial dipenuhi oleh wacana politik, mulai dari video edukasi tentang pemilu, tayangan debat calon, hingga cuitan panjang soal kebijakan publik. Generasi muda atau saat ini dikenal dengan sebutan Gen Z, yang tumbuh dalam budaya digital, tampak menjadi agen paling aktif dalam persoalan tersebut.

Namun, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah semarak politik di dunia maya itu benar benar berakhir pada partisipasi nyata di bilik suara?

Fenomena ini menunjukkan bagaimana peran media sosial telah menjadi arena baru bagi komunikasi politik. Di platform seperti Tiktok, X, dan Instagram, kampanye politik kini dikemas dengan gaya yang ringan, visual menarik, dan mudah disebarluaskan.

Para politisi muda bahkan menjadikan media sosial sebagai wadah utama untuk membangun citra, memperkenalkan gagasan mereka, dan berinteraksi dengan calon pemilih. Ini merupakan sebuah inovasi terhadap perkembangan pengenalan politik seiring waktu ke waktu.

Sementara itu, generasi muda menemukan ruang bagi mereka untuk menyuarakan pendapat, mendebat isu publik, atau sekadar mengekspresikan dukungan terhadap tokoh politik tertentu. Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai ruang publik virtual-sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas-tempat warga negara berdiskusi dan membentuk opini bersama.

Namun, aktivitas politik di dunia maya tidak selalu identik dengan partisipasi politik yang nyata. Banyak anak muda kini lantang bersuara di media sosial, tetapi tidak terlibat langsung dalam proses politik seperti pemungutan suara atau kegiatan organisasi.

Fenomena ini sering disebut sebagai slacktivism, yakni bentuk aktivisme yang bersifat simbolik-cukup dengan “klik” atau “share” tanpa tindakan lanjut. Padahal menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, partisipasi politik sejati tidak berhenti pada ekspresi opini, melainkan mencakup tindakan nyata dalam mempengaruhi kebijakan dan pengambilan keputusan.

Artinya, keaktifan di dunia maya hanyalah langkah awal, bukan tujuan akhir dari keterlibatan politik.

Mengapa banyak generasi digital masih berhenti di timeline? Salah satu jawabannya adalah rendahnya kepercayaan terhadap lembaga politik. Banyak anak muda merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan berarti.

Di sisi lain, literasi politik yang minim membuat sebagian dari mereka sulit membedakan antara kampanye edukatif dan propaganda terselubung. Selain itu, algoritma media sosial sering menciptakan echo chamber-ruang gema digital yang hanya memperkuat pandangan yang sudah diyakini pengguna, tanpa membuka ruang dialog yang sehat.

Akibatnya, wacana politik di dunia maya kadang hanya menjadi ajang pembenaran diri, bukan wadah pertukaran gagasan.

Meski demikian, tidak adil jika generasi digital hanya dilihat sebagai kelompok yang apatis. Justru, mereka meiliki potensi besar untuk menghidupkan demokrasi. Banyak inisiatif bermunculan dari dunia maya: gerakan sosial, kampanye isu lingkungan, dan advokasi kebijakan publik yang dipelopori anak muda.

Keterlibatan anak muda ini menunjukkan bahwa meda sosial bisa menjadi jembatan menuju partisipasi politik yang lebih bermakna, asalkan disertai kesadaran kritis dan komitmen untuk berkontribusi nyata.

Pada akhirnya, politik digital seharusnya menjadi pintu masuk, bukan jalan buntu, Aktivisme online bisa menjadi awal dari partisipasi yang lebih luas jika diikuti dengan tindakan konkret-datang ke TPS, bergabung dalam komunikasi politik, atau sekadar terlibat dalam diskusi publik.

Demokrasi tidak cukup hanya dengan trending topic; ia tumbuh melalui keberanian setiap warga negara untuk menyuarakan hak pilih secara nyata.

Timeline boleh ramai dengan opini, tetapi suara itu sejati tetap bergema di bilik suara. Generasi digital perlu melangkah lebih jauh dari sekadar ketikan dan scroll layar.

Dari timeline ke TPS, perjalanan ini bukanlah tentang memilih pemimpin, tetapi tentang membuktikan bahwa kesadaran politik di era digital masih punya makna dalam kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. []

Mahasiswa Ilmu Politik 2024 pada Universitas Andalas*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *