Obrolan Santai di Kantin UNES: Dari Merosotnya Literasi hingga Nasib Atlet yang Sering Dilupakan

Peserta diskusi santai di kafe sederhana UNES Padang Sabtu (15/11/2025) siang. Kendati santai banyak ide bernas yang dicetuskan. (Foto istimewa)

SABTU siang itu, kantin kecil di sudut Kampus Universitas Eka Sakti (UNES) Padang mendadak jadi ruang diskusi yang hangat. Tak ada undangan resmi, tak ada panggung, tak ada mic. Hanya meja panjang, suara gelas beradu, dan aroma kopi hitam yang menenangkan. Tapi justru dalam suasana sederhana itulah, obrolan-obrolan bernas mengalir deras.

Diskusi ringan itu dihadiri sejumlah wajah yang akrab dengan dunia pendidikan, komunikasi, dan olahraga Sumatera Barat. Ada Pimpinan Portal Fokus Sumbar Eko Muhardi, Pemimpin Redaksi sekaligus Kabid Humas KONI Sumbar Hendri Parjiga, Kepala Prodi FISIP UNES Sumartono, S.Sos., M.Si., Dosen Komunikasi Publik Irfan Ananda Ismail, dan Yumi Ariyati, dosen Ilmu Komunikasi yang juga mantan komisioner KPID Sumbar.

Hadir pula Nur Saadah Khudri, S.Hum., MA, Wakil Ketua DPW Partai Bulan Bintang Sumbar yang juga dosen FISIP UNES, Eriandi Dosen UNES, serta atlet tarung derajat Sumbar sekaligus Mahasiswa Unes, Dewi Yosilia.

Meski beragam latar belakang, topik yang mengikat mereka siang itu terasa sama: kepedulian terhadap generasi muda dan dunia olahraga di Sumatera Barat.

Literasi yang Kian Meredup

Obrolan dimulai dari hal yang paling dekat dengan dunia kampus, minat baca generasi muda. Beberapa peserta diskusi mengangguk ketika muncul kenyataan bahwa budaya literasi, yang dulu begitu kuat di Ranah Minang, kini mulai meredup. Gawai dan media sosial seolah mengambil alih perhatian mahasiswa.

“Padahal Sumatera Barat ini tanahnya para pemikir. Dulu buku dan diskusi jadi nafas kehidupan intelektual. Sekarang, kita harus cari formula baru untuk menghidupkan itu lagi,” ujar salah satu peserta.

Isu literasi ini tak berhenti pada keluhan. Beberapa gagasan muncul: membuat ruang baca kreatif, menghidupkan komunitas diskusi di kampus, hingga kolaborasi media–kampus untuk menumbuhkan rasa cinta membaca pada mahasiswa. Suasana santai membuat ide-ide meluncur tanpa sekat.

Atlet: Disanjung Saat Berjaya, Dilupakan Saat Meredup.

Lalu, obrolan bergerak ke topik yang tak kalah hangat: nasib para atlet berprestasi. Kehadiran Dewi Yosilia, atlet tarung derajat Sumbar yang baru pulang membawa medali perak untuk Sumbar di arena Pekan Olahraga Nasional (PON) Beladiri II 2025 Kudus, membuka cerita-cerita yang selama ini jarang terdengar publik.

Atlet, kata mereka, sering hanya diangkat ketika menang. Dapat tepuk tangan, dapat ucapan selamat, sesaat saja. Tapi ketika mereka menua, cedera, atau sudah tidak bisa berlaga, banyak yang hilang dari radar.

“Padahal untuk menjadi atlet itu tidak mudah,” ujar Yosi, sapaak Dewi Yosilia pelan. “Bertahun-tahun latihan, mengorbankan waktu, kadang pendidikan dan biaya keluarga ikut tergerus.”

Diskusi semakin serius ketika beberapa peserta menyampaikan bahwa negara dan daerah mestinya memberi kepastian masa depan bagi atlet, bukan hanya sambutan ketika podium dipijak. Dari beasiswa, akses karier, hingga pelatihan pasca-pensiun, semuanya perlu dipikirkan sejak awal.

Dari Kantin ke Aksi Nyata

Meski hanya bertemu di kantin sederhana, semangat yang muncul tidak sederhana. Diskusi itu merumuskan tekad kecil: membuat gerakan-gerakan nyata. Bukan proyek besar, tapi langkah yang bisa langsung dirasakan.

Mulai dari mendorong kampus menghidupkan kembali ruang literasi, membuat kegiatan kolaboratif antara media dan mahasiswa, hingga merancang forum khusus untuk menyuarakan masa depan atlet di Sumatera Barat.

Kadang, ide besar memang tidak lahir di ruang rapat mewah, justru muncul dari meja kecil, kopi panas, dan pertemuan spontan yang tulus.

Siang itu berakhir dengan tawa, saling bertukar nomor handphone, dan janji untuk melanjutkan diskusi dalam bentuk tindakan. Kantin kembali sepi, namun jejak obrolan kritis itu tetap menggema: Sumatera Barat butuh generasi yang melek literasi dan butuh sistem yang lebih menghargai para atletnya.

Dan mungkin, dari ruang kantin kecil UNES itulah langkah pertama menuju perubahan baru sedang dimulai. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *