Oleh : Nurul Azmi*
“Kerjanya gampang, gajinya dolar. Kalau mau, berangkat sekarang.”
“Yang penting badan sehat aja, syaratnya nggak susah…”
Siapa yang bisa menolak tawaran seperti itu? Gaji besar hidup enak, dan tidak butuh tenaga ekstra. Bukankah ini kesempatan emas? Semua orang pasti ingin hidup seperti itu, apalagi ketika pekerjaan yang ditawarkan seolah-olah tidak punya banyak tuntutan.
Tapi, tunggu dulu. Apa memang benar segampang itu? Tentu saja tidak! Anehnya, walaupun sudah banyak yang pulang dengan tangan hampa dan luka-luka, kenapa masih ada yang tergoda dengan janji manis itu? Apa mereka pikir, “Kali ini beda”, atau cuma berharap keberuntungan berpihak padanya,
Antara Januari-Februari tahun ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2025) di Phom Penh, Kamboja telah menangani kasus WNI bermasalah sebanyak 841. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
“Pada 2020, KBRI hanya menangani 56 kasus WNI bermasalah. Namun, pada 2024 jumlahnya meningkat drastis menjadi 3.310 kasus. Artinya, ada kenaikan lebih dari 60 kali lipat,” jelas Dubes Santo dikutip dari rilis resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Bentuk-bentuk penipuannya seperti customer service, operator saham, admin marketing online, atau kerja di perusahaan teknologi dengan gaji yang menggiurkan, tapi kenyataannya mereka dijadikan pekerja paksa di perusahaan scam, terutama yang menipu orang lain lewat internet.
“Saya ditawari bekerja di perusahaan saham yang katanya perusahaannya ada izin. Ternyata saya dikirim ke Kamboja untuk bekerja menipu orang Indonesia. Di sini kerja mulai jam 09.00 pagi sampai jam 11.00 malam. Saya ingin pulang,” cerita ATK (30), seorang korban yang masih terjebak di Kamboja, seperti dilansir Kompas.id (4/3/2024).
Setelah sampai di Kamboja, paspor mereka di sita, dan jika mereka menolak bekerja atau melakukan protes, mereka dijual oleh sindikat lintas negara, seperti dari Kamboja ke Myanmar, Thailand, Laos, dan negara lainnya. Kadang ada korban yang dipaksa kerja lain lagi, bahkan prostitusi paksa.
Pada akhirnya para korban dipaksa menghubungi keluarga mereka dan dimintai tebusan uang agar bisa bebas. Jika tidak, mereka diancam akan disiksa lebih parah atau tidak diberi makan.
“If it’s too good to be true, the IT IS too good to be true. Jangan terlalu mudah percaya,” ungkap Dubes Santo lagi. Beliau juga menegaskan agar WNI yang telah dipulangkan dari Kamboja tidak kembali ke negara tersebut.
Dalam beberapa kasus, terdapat WNI yang telah dibantu untuk kembali ke tanah air, namun kemudian kembali lagi ke Kamboja untuk bekerja. Mereka menjadi korban yang terjebak berulang kali, atau disebut sebagai “korban kambuhan.” Hal ini, menurutnya, membuat upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut menjadi semakin rumit dan memakan waktu lebih lama, karena pihak berwenang harus menangani masalah yang sudah terulang, dan ini memperpanjang proses penyelesaian.
Sekarang dunia sudah terlalu penuh dengan janji palsu yang dikemas indah. Kamboja hanyalah salah satu panggungnya. Banyak dari kita yang berfikir, “Ah, aku pasti lebih pintar, tidak akan tertipu. Aku pasti bisa lolos.”
Padahal aslinya sindikat-sindikat itu sudah menyiapkan jebakan untuk siapa saja yang merasa dirinya tak mungkin tertipu. Kenyataannya, tidak ada jalan pintas menuju hidup mewah tanpa beban. Jika iming-iming itu terdengar terlalu sempurna, justru di situlah bahaya tersembunyi. Ini bukan soal nekat atau berani.
Tapi ini soal memilih untuk tidak terperangkap dalam ilusi. Karena di negeri orang maupun di negeri sendiri, janji manis bisa berubah menjadi akhir yang tragis. Dan saat itu terjadi, satu-satunya yang tersisa hanyalah penyesalan yang tak bisa lagi diperbaiki.
*) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Tadris Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang