Mengapa Nelayan Menangkap Sampah, Bukan Ikan?

Pesisir pantai parkit dipenuhi tumpukan sampah. (foto/dok; tim)

Oleh : M. Tsaqif Al Hakim* Yolanda Syafitri* Nisrina Alifah Yuliandra* Fadel Muhammad* Arief Fadillah*

SEORANG nelayan berangkat pagi-pagi buta, melawan dinginnya angin laut, berharap membawa pulang hasil tangkapan untuk keluarganya. Namun saat jaringnya diangkat, bukan ikan segar yang memenuhi perahunya, melainkan plastik, ember bekas, bahkan popok bayi.

Inilah realitas pahit yang dialami seorang nelayan bernama Buyung di Pantai Parkit, Air Tawar Barat, Padang. Dulu pantai ini menjadi kebanggaan warga karena pesona keindahan alamnya. Kini, tumpukan sampah menguasai pesisir dan mengancam sumber penghidupan utama masyarakat pesisir.

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Di berbagai wilayah Indonesia, laut mulai kehilangan wajah alaminya akibat pencemaran. Dikutip dari berita Tempo (30/07/2024), Indonesia memproduksi sekitar 65,2 juta ton sampah plastik ke laut pada 2020 dan menjadikannya negara kelima penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Sampah plastik tersebut mencemari habitat ikan dan memperburuk keseimbangan ekosistem laut. Kondisi ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperparah penderitaan nelayan kecil yang mengandalkan hasil tangkapan sehari-hari untuk hidup.

Kapal nelayan di sekitaran pantai parkit. (foto/doc; tim)

Permasalahan serupa juga dialami oleh masyarakat di Kepulauan Mentawai. Bahkan, bukan hanya sekadar masalah pencemaran lingkungan saja tetapi juga kerusakan akibat over fishing. Jurnalis lingkungan dari Padang, Febrianti pernah mempublikasikan sebuah reportase yang didanai oleh Pulitzer Center berjudul “Protecting Mentawai Fishermen’s Traditional Fishing Grounds”. Reportase tersebut memaparkan realita kehidupan nelayan di Kepulauan Mentawai yang mengalami tantangan dari kerusakan lingkungan baik disebabkan perubahan iklim maupun pencemaran sampah.

Selain dari sumber domestik tersebut, pencemaran juga diperparah oleh aktivitas industri perikanan besar-besaran seperti yang terjadi di Mentawai. Di sana, kapal-kapal besar dari luar Kepulauan Mentawai menggunakan metode penangkapan yang merusak seperti pukat dan bom, sehingga meninggalkan jejak kerusakan yang parah di wilayah tangkapan nelayan lokal.

Tidak hanya itu, solar yang tumpah ke laut mencemari laut dan membuat ikan-ikan di sana “kabur” dari perairan lokal. Akibatnya, nelayan tradisional di sana mengalami kesulitan besar akibat kehadiran kapal-kapal tersebut yang tidak hanya merusak ekosistem melalui praktik penangkapan berlebihan, tetapi juga meninggalkan limbah yang mencemari laut. Tak pelak, hal ini merugikan nelayan lokal dalam menjalankan aktivitas menangkap ikannya, yang bahkan tak jarang dijalani hanya demi sumber lauk-pauk mereka sehari-hari.

Jika fenomena pencemaran laut seperti ini terus dibiarkan, maka wajah pantai dan laut hari ini adalah gambaran masa depan wilayah pesisir lainnya. Pantai yang biasanya menjadi tempat mencari nafkah dan wisata ekonomi lokal, kini perlahan berubah menjadi ladang sampah. Bagi nelayan, dampaknya sangat terasa mulai dari menurunnya jumlah tangkapan, meningkatnya biaya operasional, hingga ancaman kehilangan mata pencaharian. Kita perlu bertanya, sampai kapan kita membiarkan laut menjadi korban ketidakpedulian diri kita sendiri?

Di Pantai Parkit sendiri, masalah utama bukan hanya pada volume sampah yang seolah tak pernah berkurang, melainkan juga pada pola pikir masyarakat dan lemahnya sistem pengelolaan limbah. Berdasarkan data yang ditemukan dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional tahun 2024, jumlah total sampah di Sumatera Barat mencapai 798,4 ton per tahun dengan kota Padang sendiri menyumbang sekitar 240,9 ton.

Akibatnya, setiap musim hujan ribuan ton sampah dari hulu sungai terbawa arus hingga bermuara ke laut, termasuk daerah Pantai Parkit. Sampah-sampah ini terdiri dari plastik sekali pakai, sisa makanan, hingga limbah rumah tangga berbahaya yang tidak terurai dan mencemari perairan dalam jangka panjang.

Belum lagi lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembuangan sampah sembarangan menjadikan praktik tersebut berlangsung terus-menerus tanpa efek jera. Para nelayan di sana yang seharusnya pulang dari melaut dengan jaring penuh ikan, kini justru kembali dengan rasa kecewa dan kelelahan karena bukan hasil laut yang mereka bawa, melainkan tumpukan sampah yang tak bernilai jual.

Perlahan tapi pasti, laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru berubah menjadi tempat pembuangan, menyisakankan keputusasaan yang kian dalam bagi mereka yang menggantungkan harapan pada habitat yang ada di dalamnya.

Minimnya Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) dan buruknya sistem pemilahan sampah memperparah kondisi tersebut. Tak jarang pula masyarakat sekitar masih membuang limbah langsung ke selokan dan pesisir pantai, baik karena kurangnya kesadaran maupun karena tidak tersedianya sarana alternatif yang memadai. Ironisnya, kawasan Pantai Parkit juga belum memiliki sistem peringatan dini atau pemantauan kualitas air yang dapat membantu mengidentifikasi tingkat pencemaran secara berkala.

Kapal nelayan payang bersiap melaut. (foto/doc; tim)

Berangkat dari permasalahan di dua daerah pesisir yang ada di Sumatera Barat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi permasalahan yang dihadapi nelayan lokal adalah akibat dari kombinasi dua faktor.

Pertama, pencemaran dari darat oleh masyarakat umum. Berikutnya, pencemaran dari laut oleh industri besar yang tidak bertanggung jawab. Pada titik ini, tentunya tidak cukup hanya mengatasi satu sumber masalah. Diperlukan kebijakan terpadu seperti, pengelolaan limbah yang ketat di daratan, pengawasan terukur terhadap aktivitas industri perikanan, serta pemberdayaan masyarakat pesisir dalam menjaga ekosistem.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Universitas Islam Sultan Agung mengenai “Strategi Pengelolaan Sampah di Kawasan Pantai”, Pemerintah bisa mengacu pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan mendorong strategi pengelolaan berbasis prinsip 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle.) Upaya ini kemudian diperkuat dengan partisipasi masyarakat melalui edukasi lingkungan, pemisahan jenis sampah sejak sumbernya, serta pengolahan sampah menjadi produk bernilai ekonomis. Meski masih menghadapi tantangan dalam implementasi dan koordinasi lintas sektor, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang terstruktur dan partisipatif adalah kunci untuk menyelamatkan pantai dari degradasi lingkungan​.

Selain upaya dari pemerintah daerah, upaya-upaya seperti edukasi lingkungan, program bank sampah, hingga pengawasan berbasis komunitas (community-based monitoring) juga harus segera digalakkan. Ini bisa menjadi salah satu solusi strategis dalam menghadapi permasalahan pencemaran laut dan kerusakan lingkungan pesisir.

Apa yang sudah dilakukan oleh Desa Sirnajaya, Tasikmalaya, Jawa Barat dengan membangun sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dapat menjadi rujukan berharga. Kepala desa dan perangkat desa berperan dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan sampah, termasuk pemilahan dan pengolahan sampah menjadi barang bernilai ekonomis.

Berikutnya, ada Desa Adat Pererenan, Badung, Bali yang mengimplementasikan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas melalui pedoman yang mengatur pemilahan sampah dari sumbernya hingga pengangkutan ke tempat pembuangan akhir. Pendekatan ini didukung oleh hukum adat setempat, seperti awig-awig dan pararem, yang meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan. Inisiatif ini juga mencakup edukasi lingkungan dan penguatan peran desa adat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam.

Sekelompok nelayan “Anak Cucu” muara pantai parkit. (foto/doc: tim)

Untuk menerapkan upaya seperti yang dilakukan di Bali dan Tasikmalaya, masyarakat Pantai Parkit di Padang dan Kepulauan Mentawai dapat memulainya dengan membentuk kelompok pengawas lingkungan berbasis komunitas. Kelompok ini dapat bertugas memantau kondisi pesisir, mencatat aktivitas pembuangan sampah, serta menjadi motor edukasi dan advokasi lingkungan bagi warga sekitar.

Kolaborasi dengan pemerintah daerah, dinas lingkungan hidup, dan lembaga swadaya masyarakat juga menjadi kunci, baik dalam bentuk pelatihan pengelolaan sampah, dukungan infrastruktur seperti tempat pengolahan sampah terpadu, maupun pendampingan hukum untuk perlindungan wilayah tangkap nelayan.

Selain itu, masyarakat bisa menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dari tingkat rumah tangga dengan memilah sampah dan mengaktifkan bank sampah lokal, serta merancang aturan adat atau kesepakatan kampung untuk melarang pembuangan sampah ke sungai dan laut. Di sisi lain, edukasi lingkungan yang berkelanjutan juga perlu digiatkan melalui sekolah, tempat ibadah, dan forum komunitas, agar kesadaran akan pentingnya menjaga laut tertanam kuat di semua lapisan usia. Lebih jauh lagi, masyarakat nelayan bisa menetapkan zona tangkap tradisional yang dilindungi dari aktivitas industri besar, dengan dukungan legal dari pemerintah daerah agar wilayah tersebut tetap lestari dan produktif.

Harapannya, dengan adanya upaya-upaya seperti edukasi lingkungan, pengelolaan sampah yang berkelanjutan, pengawasan berbasis komunitas, serta regulasi ketat terhadap aktivitas industri perikanan, kondisi laut dan pesisir Sumatera Barat terutama di wilayah Pantai Parkit dan Mentawai dapat pulih secara bertahap.

Intinya, kita tidak bisa menutup mata lebih lama lagi. Laut yang kotor bukan hanya tentang lingkungan yang rusak, tetapi tentang hilangnya penghidupan bagi ribuan keluarga nelayan. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan hanya ikan yang hilang dari laut kita, tetapi juga kehidupan masyarakat pesisir yang selama ini menjaga budaya dan tradisi maritim kita.

Laut bukanlah tempat sampah, ia adalah sumber kehidupan. Mari kita bergerak sekarang sebagai upaya mengurangi sampah, mendukung regulasi lingkungan, dan membangun budaya baru yang lebih menghargai laut kita. Karena menyelamatkan laut hari ini, berarti menyelamatkan masa depan kita semua. [*]

*) Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, Email: yolandasyafitri035@gmail.com 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *