Resensi Buku Hipnotis Public Speaking Karya Dr. Sumartono, “Hipnotis Public Speaking: Dari Rasa Takut Menjadi Kekuatan”

Buku Hipnotis Public Speaking karya Dr. Sumartono. (foto; ist)


Judul : Hipnotis Public Speaking
Penulis : Dr. Sumartono,S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES.,FRAEL.,WRFL
Penerbit : Wawasan Ilmu
Jumlah Halaman : XIV + 272
Peresensi : Eko Muhardi

Public speaking selalu menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang. Tidak sedikit yang memilih mundur ketika diminta tampil di depan umum, entah itu di ruang kelas, rapat kantor, panggung seminar, atau bahkan sekadar forum keluarga besar.

Rasa cemas, grogi, dan takut salah seolah menjadi sahabat akrab yang muncul setiap kali kesempatan berbicara hadir. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, tetapi juga dialami oleh orang-orang berpendidikan, profesional, bahkan pejabat publik.

Rasa takut berbicara di depan umum terbukti menjadi salah satu ketakutan terbesar manusia, mengalahkan rasa takut terhadap ketinggian atau kegelapan. Dalam konteks inilah buku Hipnotis Public Speaking karya Dr. Sumartono,S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES.,FRAEL.,WRFL hadir sebagai jawaban.

Penulis yang juga dikenal sebagai dosen komunikasi dan penulis aktif ini mencoba menyingkap rahasia di balik keterampilan berbicara.

Ia tidak hanya menawarkan teknik teknis berbicara, melainkan juga pendekatan mental, psikologis, bahkan spiritual untuk membebaskan diri dari belenggu rasa takut. Dengan gaya penulisan yang ringan, penuh kisah inspiratif, dan sarat motivasi, buku ini ingin menghipnotis pembacanya agar berani berkata: “Selamat tinggal rasa cemas, selamat datang kesuksesan.”

Sejak awal pembaca sudah diajak memasuki ruang refleksi. Bab pertama buku ini menyajikan gagasan bahwa ketakutan bukanlah musuh yang harus dimusuhi habis-habisan, melainkan energi yang bisa diolah menjadi kekuatan.

Rasa gugup, menurut penulis, adalah tanda tubuh sedang mempersiapkan diri menghadapi situasi penting. Alih-alih melawan, pembaca diajak untuk berdamai dengan rasa takut itu dan menjadikannya pendorong semangat.

Di sinilah hipnotis yang dimaksud penulis bekerja: sebuah upaya sugestif untuk meyakinkan diri bahwa panggung bukan ancaman, melainkan kesempatan emas untuk bertumbuh. Bab kedua mengupas mitos-mitos menyesatkan tentang public speaking.

Banyak orang percaya bahwa hanya orang lahir dengan bakat luar biasa yang bisa menjadi pembicara hebat. Ada pula yang menganggap public speaking hanya milik orang percaya diri, ekstrovert, atau mereka yang pandai bersilat lidah.

Mitos semacam ini justru memperparah ketakutan, membuat orang enggan mencoba. Penulis secara tajam membongkar semua mitos tersebut, seraya menunjukkan bahwa keterampilan berbicara dapat dipelajari oleh siapa saja. Ia bahkan menghubungkannya dengan perspektif ilmu komunikasi, menunjukkan bagaimana konstruksi sosial memengaruhi cara kita memandang panggung.

Berlanjut ke bab ketiga, nuansa buku semakin personal. Dr. Sumartono menggunakan pendekatan emosional dengan menyebut public speaking sebagai sumber derita yang harus diubah menjadi sensasi bahagia.

Banyak orang mengalami trauma akibat pengalaman buruk saat tampil di masa lalu—misalnya salah ucap, diejek teman, atau dinilai membosankan. Trauma itu menempel hingga dewasa, membuat mereka menghindari panggung. Penulis menyodorkan langkah-langkah praktis untuk mengakhiri derita itu, seperti latihan relaksasi, persiapan matang, serta membangun mindset positif sebelum tampil.

Bab ini membuat pembaca merasa tidak sendirian, sebab penulis seakan memahami luka-luka batin yang sering mengiringi pengalaman berbicara. Bab keempat adalah salah satu bagian paling inspiratif. Penulis menghadirkan kisah orang-orang hebat seperti Mario Teguh dan Chairul Tanjung, figur publik yang berhasil mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Dari kisah mereka, pembaca belajar bahwa public speaking bukan sekadar seni berbicara, tetapi juga seni membangun makna hidup. Chairul Tanjung, misalnya, tidak lahir dari keluarga kaya raya, namun tekad dan kemampuannya berkomunikasi mengantarnya menjadi salah satu pengusaha paling berpengaruh di Indonesia.

Mario Teguh pun menunjukkan bahwa kata-kata yang tulus bisa mengubah hidup banyak orang. Bab ini menjadi bukti nyata bahwa keterampilan berbicara bisa mengubah jalan hidup, dari zero menjadi hero.

Setelah menggugah dengan kisah inspiratif, penulis membawa pembaca pada aspek teknis. Bab kelima membahas cara mengasah keterampilan berbicara. Dr. Sumartono menekankan pentingnya latihan konsisten, membiasakan diri berbicara di depan cermin, hingga berlatih di komunitas kecil.

Menurutnya, keterampilan berbicara sama seperti otot yang harus dilatih secara terus-menerus. Tanpa latihan, potensi yang ada tidak akan berkembang. Di bab ini pula ia menguraikan bagaimana teknik dasar seperti artikulasi, intonasi, kontak mata, dan bahasa tubuh bisa memengaruhi efektivitas komunikasi.

Bab keenam menjadi pengingat bahwa sejatinya semua orang adalah public speaker. Kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi setiap hari kita berbicara dengan berbagai audiens: keluarga, teman, kolega, hingga masyarakat luas.

Artinya, keterampilan public speaking bukan hanya milik orator politik atau pembicara seminar, melainkan keterampilan hidup yang wajib dimiliki semua orang. Penulis menegaskan bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari public speaking. Justru, semakin cepat kita menerima kenyataan ini, semakin cepat pula kita berani mengambil kesempatan emas.

Bagian yang sangat khas dari buku ini adalah bab ketujuh tentang prinsip FIGHT. Penulis memperkenalkan formula ini sebagai senjata mental menghadapi panggung. FIGHT, yang berarti bertarung dengan diri sendiri, dimaknai sebagai prinsip keberanian, ketekunan, dan daya tahan.

Penulis menggambarkan bagaimana prinsip ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menghadapi ujian di kelas, presentasi di kantor, atau negosiasi dengan klien. Setiap situasi menantang membutuhkan mental juang, bukan sekadar kemampuan berbicara.

Dengan pendekatan ini, public speaking tidak lagi dipandang sebagai keterampilan teknis semata, tetapi juga latihan karakter.

Bab kedelapan dan kesembilan semakin memperkuat kerangka praktis. Penulis menekankan pentingnya praktik berulang, latihan terarah, serta mengenali audiens sebelum tampil. Ia memperkenalkan konsep BBM (Bergaul, Berdiskusi, Membaca) sebagai modal utama menavigasi belantara public speaking.

Tanpa bergaul, wawasan pembicara akan sempit. Tanpa berdiskusi, ide-ide tidak terasah. Tanpa membaca, kata-kata kehilangan bobot. Konsep ini sederhana, tetapi sangat relevan di era banjir informasi. Banyak orang yang ingin tampil meyakinkan di panggung, tetapi tidak menyiapkan bahan bacaan atau wawasan yang cukup. Penulis mengingatkan bahwa isi berbicara sama pentingnya dengan gaya berbicara.

Puncak perjalanan buku ini ada pada bab kesepuluh, yang membahas transformasi besar dari kecemasan menjadi kekuatan. Penulis tidak menutupi kenyataan bahwa rasa gugup tidak pernah sepenuhnya hilang. Bahkan pembicara hebat sekalipun masih merasakannya. Bedanya, mereka mampu mengelola kecemasan itu menjadi energi positif.

Bab ini menghadirkan langkah-langkah transformatif untuk mengubah gugup menjadi percaya diri, antara lain dengan mengenali akar kecemasan, melakukan persiapan mental, serta membangun mentalitas pembelajar.

Penulis menutup bukunya dengan seruan bahwa menjadi pembicara hebat bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan seumur hidup untuk terus belajar, berbagi, dan menginspirasi.

Kekuatan utama buku ini terletak pada gaya bahasa yang sederhana, hangat, dan mudah dicerna. Dr. Sumartono tidak menggunakan istilah komunikasi yang rumit atau teori komunikasi yang kaku. Ia lebih memilih pendekatan populer, penuh analogi, dan dekat dengan pengalaman sehari-hari.

Hal ini membuat pembaca merasa diajak ngobrol, bukan diajar. Di sisi lain, buku ini tidak sekadar berisi motivasi kosong. Ada banyak tips praktis yang bisa langsung diterapkan, mulai dari latihan pernapasan sebelum tampil, teknik membuka pidato, hingga cara menghadapi audiens yang sulit.

Selain itu, kisah inspiratif yang diselipkan di berbagai bab membuat buku ini tidak monoton. Pembaca bisa merasakan bahwa public speaking bukan hanya teori, melainkan pengalaman nyata yang bisa mengubah hidup seseorang.

Konsep FIGHT dan BBM juga menjadi ciri khas buku ini, menawarkan kerangka kerja yang berbeda dibandingkan buku public speaking lain yang lebih fokus pada teknik teknis. Meski demikian, buku ini tentu memiliki keterbatasan.

Beberapa pembaca mungkin berharap penjelasan lebih mendetail tentang aspek teknis seperti penggunaan visual dalam presentasi, pengelolaan panggung, atau latihan vokal. Buku ini lebih condong ke arah motivasional dan inspiratif, sehingga pembaca yang mencari manual teknis bisa merasa belum sepenuhnya terjawab.

Namun, jika dipahami sebagai buku motivasi sekaligus panduan praktis awal, Hipnotis Public Speaking sangat layak dijadikan rujukan. Buku ini relevan bagi mahasiswa, profesional muda, karyawan, pengusaha, bahkan ibu rumah tangga yang ingin tampil percaya diri di forum sosial.

Dalam era media sosial dan komunikasi digital, public speaking bukan hanya soal pidato di panggung fisik, tetapi juga kemampuan menyampaikan pesan lewat layar, video, atau platform daring. Pesan utama buku ini tetap sama: keberanian berbicara lahir dari keberanian mengelola rasa takut.

Secara keseluruhan, Hipnotis Public Speaking adalah buku yang inspiratif, aplikatif, dan membangkitkan semangat.

Penulis berhasil meramu teori komunikasi, pengalaman nyata, serta teknik motivasi menjadi satu paket yang memikat. Bagi siapa pun yang masih merasa dihantui rasa cemas ketika harus tampil di depan umum, buku ini bisa menjadi teman seperjalanan yang setia.

Ia tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga keyakinan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, bisa menjadi public speaker hebat. Buku ini layak mendapat apresiasi tinggi karena berhasil menjembatani teori komunikasi dengan praktik kehidupan sehari-hari.

Dr. Sumartono tidak hanya menulis, tetapi juga menghadirkan pengalaman batin pembaca dalam setiap kalimat. Inilah buku yang tidak sekadar dibaca, tetapi juga dirasakan. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *