DI sebuah sore yang tak begitu ramai di Kampus Universitas Andalas, Sabtu (15/11/2025), langkah Ketua KONI Sumatera Barat, Hamdanus, terasa berbeda. Ada satu tujuan penting yang ia bawa: memperjuangkan dispensasi akademik bagi seorang anak muda yang sedang menapaki jalan panjang sebagai atlet berprestasi, Genta Al Gifari.
Genta, wajah muda Sumatera Barat yang tengah bersinar berkat emas Pomnas 2025 dan perunggu PON Beladiri II 2025 di Kudus pada cabang Taekwondo, awalnya tak pernah membayangkan sore itu akan menjadi titik baru dalam perjalanan kariernya.
Telepon yang masuk tiba-tiba saja membuatnya terkejut. Ia pikir hanya panggilan biasa. Ternyata, itu adalah kabar bahwa dirinya akan difasilitasi langsung untuk menyampaikan kebutuhan sebagai atlet kepada pihak kampus.
“Awalnya kaget, saya nggak nyangka dipanggil untuk difasilitasi begini,” ujar atlet berpostur jangkung yang merupakan mahasiswa semester 3 Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Andalas itu dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Hamdanus dan beberapa jajaran pengurus KONI Sumbar lainnya yang mendampingi pertemuan itu menyampaikan harapan besar. Menurutnya, dukungan kampus merupakan salah satu energi penting agar atlet-atlet Sumatera Barat bisa terus melaju, bahkan menembus level tertinggi.
“Kami ingin Unand dapat mendukung penuh prestasi atlet-atlet Sumatera Barat. Genta adalah contoh nyata bahwa potensi besar itu ada, tinggal bagaimana kita bersama menjaga dan mendorongnya,” kata Hamdanus, penuh keyakinan.
Pihak Universitas Andalas pun merespons dengan hangat. Kepala Subdit Pengembangan Kreativitas Kemahasiswaan, Dr. Eng. Budi Rahmadya, M.Eng., menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka dan hati yang sama hangatnya. Tanpa banyak basa-basi, ia menegaskan bahwa kampus akan hadir untuk mempermudah langkah para mahasiswa berprestasi, termasuk Genta.
“Kami sangat menyambut baik keinginan Ketua KONI Sumbar. Untuk Genta, silakan terus berkomunikasi aktif dengan kami. Kita ingin memastikan bahwa apa yang kamu butuhkan sebagai atlet bisa kita fasilitasi,” ujar Budi sambil menepuk bahu Genta, seolah memberi dorongan moral tambahan.
Bagi Genta, dukungan seperti ini bukan hanya sekadar kemudahan administratif. Ini adalah bentuk pengakuan. Bentuk kepercayaan bahwa kerja kerasnya tak sia-sia. Bahwa setiap tetesan keringat, setiap rasa sakit ketika berlatih, dan setiap hari yang ia isi dengan disiplin akhirnya sampai juga pada telinga dan perhatian orang-orang yang bisa membantunya melangkah lebih jauh.
Momen kecil ini, pertemuan yang sederhana di sebuah sore yang biasa, justru menjadi pengingat betapa pentingnya jembatan antara dunia akademik dan dunia olahraga. Bahwa mahasiswa atlet bukan hanya mahasiswa dengan jadwal berbeda—mereka adalah aset daerah, aset bangsa.
Dan bagi Genta, perjalanan masih panjang. Namun sore itu, mungkin untuk pertama kalinya, ia merasa tidak berjalan sendirian. Ada kampusnya. Ada KONI Sumbar. Ada orang-orang yang percaya.
Dan kepercayaan itu, bagi seorang atlet, kadang lebih berharga dari medali apa pun. (hendri parjiga)



