Ringkasan Disertasi Oleh : M.A. Dalmenda* (Bag-1)
ABSTRAK
PENELITIAN ini mengkaji dinamika komunikasi politik dan peran budaya pemimpin tradisional di Nagari Kubung Tigo Baleh, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, yang mencerminkan kompleksitas interaksi antara nilai-nilai tradisional dan demokrasi modern.
Politisasi pemimpin tradisional telah secara fundamental mengubah pola komunikasi dan proses pengambilan keputusan di tingkat nagari, di mana legitimasi kultural sering dimanfaatkan untuk dukungan politik. Forum-forum tradisional, yang seharusnya menjadi tempat musyawarah mufakat, telah bertransformasi menjadi arena konsolidasi politik, menciptakan ketegangan antara peran pemimpin tradisional sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan keterlibatan mereka dalam politik praktis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan etnografi kritis dan paradigma konstruktivisme, dengan fokus pada tiga aspek utama: pola komunikasi politik, identifikasi nilai-nilai budaya Minangkabau, dan konflik yang muncul antara otoritas tradisional dan sistem demokrasi modern.
Temuan menunjukkan bahwa keterkaitan antara adat dan hukum Islam secara signifikan mempengaruhi komunikasi politik, yang memerlukan reformasi dalam kepemimpinan tradisional untuk memastikan peran yang efektif dalam konteks kontemporer sambil tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional dan kohesi sosial.
1.LATAR BELAKANG
Komunikasi politik dan budaya pemangku adat suku Minangkabau, terutama di daerah Kubuang Tigo Baleh, terdapat dinamika yang kompleks antara tradisi dan modernitas. Teori konstruktivisme, seperti yang dijelaskan oleh Peter L. Berger, dapat digunakan untuk memahami bagaimana identitas dan struktur sosial dibentuk melalui interaksi sosial dan pengalaman kolektif masyarakat.
Dalam hal ini, pemangku adat tidak hanya berfungsi sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai aktor yang terlibat dalam proses demokrasi yang lebih luas, di mana nilai-nilai adat dan norma-norma politik saling berinteraksi dan membentuk satu sama lain (Roza & B.S, 2022; Afdhal, 2023).
Kubuang Tigo Baleh, sebagai bagian dari Luhak Tanah Datar, memiliki sejarah yang kaya dan struktur sosial yang unik. Nagari di Minangkabau, termasuk Kubuang Tigo Baleh, memiliki sistem pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai adat dan kearifan lokal. Pemimpin adat, atau ninik mamak, dipilih melalui musyawarah dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni sosial serta menerapkan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini mencerminkan prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang menjadi landasan bagi masyarakat Minangkabau dalam menjalankan kehidupan sosial dan politik mereka (Rahmasari et al., 2023; Kosasih, 2014).
Namun, dalam perkembangan politik modern, pemangku adat di Minangkabau menghadapi tantangan baru ketika banyak dari mereka terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan ini sering kali menimbulkan konflik kepentingan antara peran mereka sebagai penjaga nilai-nilai adat dan tuntutan politik yang harus mereka penuhi.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam fungsi pemangku adat, di mana mereka tidak hanya berperan sebagai mediator dalam konflik sosial, tetapi juga sebagai politisi yang harus mempertimbangkan kepentingan politik mereka sendiri (Afdhal, 2023; Andoni & Eros, 2019).
Dalam konteks ini, teori konstruktivisme membantu kita memahami bagaimana identitas pemangku adat dan masyarakat Minangkabau terbentuk melalui interaksi dan negosiasi antara tradisi dan modernitas (Roza & B.S, 2022; Afdhal, 2023).
Dinamika ini juga terlihat dalam cara masyarakat Minangkabau merespons perubahan yang terjadi. Masyarakat tidak hanya menerima perubahan, tetapi juga beradaptasi dan mengintegrasikan nilai-nilai baru ke dalam struktur sosial mereka.
Misalnya, meskipun ada pergeseran dalam peran pemangku adat, nilai-nilai demokrasi yang telah tertanam dalam budaya Minangkabau tetap menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Proses musyawarah dan mufakat tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, meskipun dalam konteks yang lebih kompleks (Rahmasari et al., 2023; Afdhal, 2023).
Dengan demikian, pemahaman tentang komunikasi politik dan budaya di Kubuang Tigo Baleh harus mempertimbangkan interaksi antara tradisi dan modernitas, serta bagaimana kedua elemen ini saling membentuk dalam konteks sosial yang lebih luas (Roza & B.S, 2022; Afdhal, 2023).
Dalam kesimpulannya, peran pemangku adat di Minangkabau, khususnya di Kubuang Tigo Baleh, mencerminkan kompleksitas hubungan antara budaya, politik, dan identitas. Teori konstruktivisme memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami bagaimana nilai-nilai adat dan praktik politik saling berinteraksi dan membentuk struktur sosial. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat lebih menghargai bagaimana masyarakat Minangkabau beradaptasi dengan perubahan sambil tetap mempertahankan identitas dan nilai-nilai budaya mereka (Roza & B.S, 2022; Afdhal, 2023).
2.TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dinamika komunikasi politik dan budaya pemangku adat di Nagari Kubung Tigo Baleh, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dengan fokus pada interaksi antara sistem nilai tradisional dan praktik demokrasi modern.
Dalam konteks ini, komunikasi menjadi elemen fundamental dalam pelaksanaan fungsi adat di kalangan kaum dan suku di Minangkabau. Gaya komunikasi yang digunakan oleh penghulu adat, seperti yang diungkapkan melalui konsep “kato manurun,” mencerminkan posisi superior penghulu dalam struktur sosial, di mana mereka berperan sebagai sumber nasihat dan bimbingan bagi anak kemenakan.
Namun, dominasi kekuasaan yang melekat pada pemangku adat tidak dapat dipandang sebagai hal yang tabu, melainkan sebagai bagian dari eksistensi kelompok adat yang memiliki otoritas di daerah mereka. Dalam praktiknya, meskipun pemangku adat terlibat dalam musyawarah untuk mufakat, terdapat kalanya keputusan tidak tercapai, yang dapat mengganggu proses demokrasi di nagari.
Oleh karena itu, penelitian ini akan mengeksplorasi pertanyaan mengenai mengapa dominasi kekuasaan dalam komunikasi politik oleh pemangku adat terjadi, serta implikasi yang ditimbulkan dalam konteks demokrasi deliberatif yang diterapkan oleh masyarakat Minangkabau.
Tujuan penelitian ini mencakup analisis pola komunikasi politik pemangku adat dalam konteks demokrasi lokal, identifikasi nilai-nilai dan identitas budaya yang tercermin dalam pola komunikasi tersebut, serta deskripsi konflik yang muncul antara otoritas pemangku adat dan sistem demokrasi modern dalam pengambilan keputusan politik.
Dengan pendekatan kualitatif dan metode etnografi kritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana dominasi pemangku adat mempengaruhi interaksi sosial dan politik di nagari. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan bagaimana keterlibatan pemangku adat dalam politik praktis dapat menyebabkan polarisasi di kalangan anak kemenakan dalam kaum dan suku.
Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis yang signifikan terhadap pengembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam kajian komunikasi politik dan budaya, serta memberikan rekomendasi bagi penguatan sistem kepemimpinan adat yang lebih responsif terhadap dinamika sosial dan politik yang berkembang di masyarakat Minangkabau..
3.METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode kualitatif, yang bertujuan untuk memahami bagaimana individu atau komunitas menerima isu tertentu (McCusker & Gunaydin, 2015). Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk mendapatkan deskripsi yang kaya tentang fenomena dan mendorong pemahaman yang lebih dalam mengenai substansi peristiwa (Sofaer, 1999).
Creswell (2007) mengidentifikasi karakteristik penelitian kualitatif yang baik, termasuk penggunaan prosedur pengumpulan data yang tepat, fokus penelitian yang jelas, dan analisis data yang mendalam. Proses penelitian dimulai dengan pertanyaan penelitian yang menentukan metode pengumpulan dan analisis data. Penelitian kualitatif bersifat dinamis, memungkinkan perubahan dan penyesuaian selama analisis (Srivastava & Thomson, 2009).
Mulyana (2004) menekankan bahwa penelitian kualitatif memiliki perspektif subjektif, dengan sembilan ciri yang mencakup sifat realitas yang kompleks, interaksi sosial yang saling mempengaruhi, dan penekanan pada makna dan konteks.
Karakteristik Penelitian Kualitatif ; Karakteristik utama dari metode penelitian kualitatif meliputi penggunaan lingkungan alami sebagai sumber data, sifat deskriptif analitik, fokus pada proses daripada hasil, pendekatan induktif, dan penekanan pada makna. Penelitian kualitatif mengandalkan pengamatan langsung dan interaksi dengan partisipan untuk memahami fenomena sosial dalam konteks yang spesifik.
Data yang dikumpulkan bersifat naratif dan tidak terukur dalam angka, memungkinkan peneliti untuk menggali makna di balik peristiwa yang terjadi. Penelitian ini juga mengutamakan pemahaman terhadap perspektif partisipan, di mana peneliti berperan sebagai instrumen kunci dalam pengumpulan dan analisis data (Sugiyono, 2005).
Dengan demikian, penelitian kualitatif berusaha untuk memberikan gambaran yang mendalam dan holistik tentang fenomena yang diteliti, tanpa mengabaikan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.
Penelitian ini berfokus pada pendekatan etnografi kritis untuk mengkaji fenomena dominasi kekuasaan pemangku adat dalam konteks politik di Minangkabau, dengan tujuan untuk mengungkap relasi kekuasaan yang tersembunyi dan struktur dominasi dalam masyarakat. Etnografi kritis dipilih karena kemampuannya untuk tidak hanya mendeskripsikan realitas sosial, tetapi juga untuk menganalisis interaksi antara kekuasaan tradisional pemangku adat dan sistem politik modern, serta dampaknya terhadap dinamika sosial di tingkat kaum, suku, dan nagari.
Sumber data penelitian mencakup para pemangku adat yang terlibat dalam politik praktis, seperti pengurus partai dan pejabat politik, serta akademisi dan pengamat budaya Minangkabau. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam, observasi partisipan, dan analisis dokumen, dengan penekanan pada kolaborasi aktif antara peneliti dan partisipan untuk mendorong perubahan sosial yang lebih adil.
Validasi data dilakukan melalui pengamatan yang teliti, triangulasi, dan pengecekan dengan rekan-rekan akademis. Penelitian ini dilaksanakan di nagari-nagari dalam Nagari Kubuang Tigo Baleh, Kabupaten Solok, yang terletak sekitar 55 kilometer dari Kota Padang, sebagai bagian dari upaya untuk memahami dan mengadvokasi ketimpangan serta dominasi yang terjadi dalam masyarakat adat Minangkabau.
4.PEMBAHASAN POLA KOMUNIKASI BUDAYA MINANGKABAU
Pola komunikasi dalam budaya Minangkabau dipengaruhi oleh interaksi antara adat dan syariat Islam, dengan prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” sebagai landasan dalam pengambilan keputusan sosial dan politik. Pemangku adat berperan sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas dalam era reformasi.
Meskipun pola komunikasi dalam masyarakat Minangkabau pada dasarnya bersifat kolektif dengan keputusan yang diambil melalui musyawarah dan mufakat, terdapat pergeseran menuju pola komunikasi yang lebih instruktif. Dalam pola ini, pemangku adat cenderung memberikan arahan langsung terkait pilihan politik kepada anak kemenakan tanpa membuka ruang dialog yang setara, yang mengakibatkan erosi prinsip demokrasi deliberatif dan membatasi ruang aspirasi politik anak kemenakan.
Sistem patron-klien dalam budaya Minangkabau, yang dikenal sebagai “Orang Dalam” atau “Induak Samang,” menggambarkan hubungan kompleks antara pemangku adat sebagai patron dan anak kemenakan sebagai klien. Hubungan ini menciptakan ketergantungan sosial dan ekonomi, di mana patron diharapkan memberikan dukungan kepada klien, sementara klien memberikan loyalitas kepada patron.
Namun, meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka telah mendorong klien untuk menuntut partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Komunikasi di lapau-lapau atau warung kopi menjadi ruang publik yang penting untuk interaksi sosial dan diskusi politik, di mana pemangku adat dapat mempengaruhi opini publik dan membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat, meskipun hal ini juga dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan patron-klien tradisional. []
*) Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung