Komunikasi Politik dan Budaya Pemangku Adat Suku di Minangkabau (Studi Etnografi Kritis Tentang Dominasi Pemangku Adat dalam Proses Demokrasi di Sumatera Barat)

Bersama istri Apt. Lili Iswari. S.Si, Nabiel Anjabie (putra sulung), ketua sidang, para promotor, dan para penguji. (foto; ist)

Ringkasan Disertasi Oleh : M.A. Dalmenda* (Bag-2/Habis)

POLA KOMUNIKASI BUDAYA MINANGKABAU
Pola komunikasi dalam budaya Minangkabau dipengaruhi oleh interaksi antara adat dan syariat Islam, dengan prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” sebagai landasan dalam pengambilan keputusan sosial dan politik.

Pemangku adat berperan sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas dalam era reformasi. Meskipun pola komunikasi dalam masyarakat Minangkabau pada dasarnya bersifat kolektif dengan keputusan yang diambil melalui musyawarah dan mufakat, terdapat pergeseran menuju pola komunikasi yang lebih instruktif.

Dalam pola ini, pemangku adat cenderung memberikan arahan langsung terkait pilihan politik kepada anak kemenakan tanpa membuka ruang dialog yang setara, yang mengakibatkan erosi prinsip demokrasi deliberatif dan membatasi ruang aspirasi politik anak kemenakan.

Sistem patron-klien dalam budaya Minangkabau, yang dikenal sebagai “Orang Dalam” atau “Induak Samang,” menggambarkan hubungan kompleks antara pemangku adat sebagai patron dan anak kemenakan sebagai klien. Hubungan ini menciptakan ketergantungan sosial dan ekonomi, di mana patron diharapkan memberikan dukungan kepada klien, sementara klien memberikan loyalitas kepada patron.

Namun, meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka telah mendorong klien untuk menuntut partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Komunikasi di lapau-lapau atau warung kopi menjadi ruang publik yang penting untuk interaksi sosial dan diskusi politik, di mana pemangku adat dapat mempengaruhi opini publik dan membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat, meskipun hal ini juga dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan patron-klien tradisional.

NILAI-NILAI ADAT DAN BUDAYA
Sistem kepemimpinan adat di Minangkabau mengalami transformasi signifikan sebagai respons terhadap modernisasi, di mana para pemangku adat menjalankan peran ganda sebagai penjaga warisan budaya dan pemimpin yang harus beradaptasi dengan sistem pemerintahan modern.

Dihadiri Alumni Angkatan 91 SMANSA Solok Cabang Bandung. (foto; ist)

Dalam menjalankan fungsinya, mereka tidak hanya memimpin musyawarah adat dan menyelesaikan masalah masyarakat secara tradisional, tetapi juga dituntut untuk menguasai teknologi dan sistem administrasi kontemporer. Proses adaptasi ini membawa dampak besar terhadap cara pemangku adat menjalankan perannya, di mana mereka harus mampu mengintegrasikan diri ke dalam struktur birokrasi formal sambil tetap mempertahankan legitimasi tradisional.

Tantangan ini semakin kompleks dengan hadirnya tuntutan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih akuntabel, meskipun juga membuka peluang bagi pemangku adat untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai kepemimpinan tradisional tetap relevan dalam konteks modern.

Dalam menghadapi tantangan modernisasi, pemangku adat Minangkabau mengembangkan pendekatan adaptif yang memungkinkan mereka mempertahankan esensi kepemimpinan tradisional sambil mengadopsi praktik-praktik modern. Proses ini mencakup transformasi dalam cara berkomunikasi, mengelola konflik, dan pengambilan keputusan.

Mereka kini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendokumentasikan dan menyebarkan informasi, serta mengadopsi metode manajemen modern dalam pengelolaan sumber daya komunal. Legitimasi kepemimpinan tradisional mengalami pergeseran, di mana otoritas tidak hanya bersumber dari warisan adat, tetapi juga dari kapasitas dalam menangani isu-isu kontemporer.

Filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” tetap menjadi landasan penting dalam interaksi antara nilai-nilai tradisional, agama, dan praktik demokrasi modern, yang membentuk pola komunikasi dan pengambilan keputusan para pemangku adat. Dalam konteks ini, pemangku adat dituntut untuk membuktikan relevansi kepemimpinan mereka dengan memberikan solusi terhadap permasalahan modern, yang menciptakan kebutuhan akan pengembangan kompetensi baru dalam kebijakan publik dan manajemen organisasi.

KONFLIK DALAM KOMUNIKASI POLITIK MINANGKABAU
Komunikasi politik di Minangkabau memiliki karakteristik unik yang berakar pada sistem adat dan budaya matrilineal. Struktur kepemimpinan yang dikenal dengan istilah tungku tigo sajarangan, yang melibatkan ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai, sering mengalami konflik ketika berhadapan dengan sistem politik modern yang lebih hierarkis.

Bersama istri APT. Lili Iswari. S.Si dan putra sulung Nabiel Anjabie. (foto; ist)

Aspek eksternal seperti modernisasi dan penetrasi teknologi informasi juga mempengaruhi dinamika komunikasi dan budaya di Minangkabau. Media sosial dan platform digital membawa tantangan baru dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara praktik merantau menciptakan interaksi dengan budaya luar yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Hal ini berpotensi menciptakan konflik antara generasi muda yang kembali dengan pandangan baru dan kelompok tradisionalis yang ingin mempertahankan adat.

Konflik adat dalam masyarakat Minangkabau sering dipicu oleh perbedaan interpretasi terhadap aturan adat yang diwariskan secara lisan dan perebutan sumber daya alam seperti tanah ulayat. Ketidakjelasan dalam penafsiran adat dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, sementara perubahan sosial budaya akibat modernisasi dan globalisasi menciptakan ketegangan antara generasi tua dan muda.

Penyelesaian konflik adat memerlukan pendekatan holistik dan partisipatif, dengan melibatkan peran Bundo Kanduang sebagai sosok sentral dalam struktur sosial Minangkabau. Sebagai penjaga nilai-nilai adat dan moral, Bundo Kanduang harus mampu menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernisasi, sambil menjaga netralitas dalam konflik politik. Upaya revitalisasi sistem penyelesaian konflik adat yang melibatkan generasi muda dan memanfaatkan teknologi modern menjadi kunci untuk memastikan solusi yang dihasilkan tetap relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Minangkabau di era globalisasi.

Komunikasi politik di Minangkabau memiliki karakteristik unik yang berakar pada sistem adat dan budaya matrilineal. Struktur kepemimpinan yang dikenal dengan istilah tungku tigo sajarangan, yang melibatkan ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai, sering mengalami konflik ketika berhadapan dengan sistem politik modern yang lebih hierarkis.

Aspek eksternal seperti modernisasi dan penetrasi teknologi informasi juga mempengaruhi dinamika komunikasi dan budaya di Minangkabau. Media sosial dan platform digital membawa tantangan baru dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara praktik merantau menciptakan interaksi dengan budaya luar yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Hal ini berpotensi menciptakan konflik antara generasi muda yang kembali dengan pandangan baru dan kelompok tradisionalis yang ingin mempertahankan adat.

Konflik adat dalam masyarakat Minangkabau sering dipicu oleh perbedaan interpretasi terhadap aturan adat yang diwariskan secara lisan dan perebutan sumber daya alam seperti tanah ulayat. Ketidakjelasan dalam penafsiran adat dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, sementara perubahan sosial budaya akibat modernisasi dan globalisasi menciptakan ketegangan antara generasi tua dan muda.

Penyelesaian konflik adat memerlukan pendekatan holistik dan partisipatif, dengan melibatkan peran Bundo Kanduang sebagai sosok sentral dalam struktur sosial Minangkabau. Sebagai penjaga nilai-nilai adat dan moral, Bundo Kanduang harus mampu menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernisasi, sambil menjaga netralitas dalam konflik politik. Upaya revitalisasi sistem penyelesaian konflik adat yang melibatkan generasi muda dan memanfaatkan teknologi modern menjadi kunci untuk memastikan solusi yang dihasilkan tetap relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Minangkabau di era globalisasi.

PENUTUP
KESIMPULAN

1. Pola Komunikasi Politik Pemangku Adat
Pola komunikasi politik pemangku adat Minangkabau mengalami transformasi fundamental dalam konteks demokrasi lokal, di mana otoritas tradisional yang seharusnya berfungsi untuk membimbing anak kemenakan kini lebih sering digunakan sebagai alat mobilisasi dukungan politik. Forum-forum adat yang dulunya merupakan ruang musyawarah mufakat telah beralih menjadi arena konsolidasi politik, yang berpotensi menciptakan ketegangan dalam relasi mamak-kemenakan dan mengancam kohesivitas sosial masyarakat nagari. Erosi kepercayaan terhadap kepemimpinan tradisional terjadi ketika pemangku adat lebih mengutamakan agenda politik dibandingkan fungsi pembinaan, yang berimplikasi pada efektivitas mereka dalam menjaga harmoni sosial.

2. Reinterpretasi Nilai dan Identitas Budaya
Nilai-nilai dan identitas budaya Minangkabau, yang berlandaskan pada sistem matrilineal dan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,” mengalami reinterpretasi ketika berhadapan dengan kepentingan politik praktis. Pemangku adat sering kali menggunakan simbol-simbol adat untuk melegitimasi kepentingan politik mereka, yang menciptakan ambiguitas dalam pemaknaan nilai-nilai tradisional. Pergeseran fokus dari perlindungan hak-hak perempuan dan kelestarian harta pusaka kaum menuju aktivitas politik dapat mengancam transmisi nilai-nilai adat kepada generasi muda, serta menciptakan kesenjangan dalam pemahaman identitas kultural Minangkabau.

3. Konflik dalam Komunikasi Politik
Konflik dalam komunikasi politik di Minangkabau sering kali dipicu oleh perbedaan pandangan dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat. Dinamika komunikasi politik tidak hanya melibatkan penyampaian informasi, tetapi juga strategi untuk membangun aliansi dan mengelola perbedaan. Ketegangan yang muncul dari perdebatan mengenai legitimasi dan otoritas antara pemimpin adat dan pejabat pemerintah dapat mengakibatkan konflik terbuka. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks budaya Minangkabau dalam komunikasi politik guna mengidentifikasi potensi konflik dan mencari solusi yang memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi.

SARAN

1. Penelitian Mendalam tentang Transformasi Digital
Dianjurkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai dampak transformasi digital terhadap komunikasi antara pemangku adat dan generasi muda. Penelitian ini penting untuk memahami kesenjangan digital yang semakin melebar dan mengembangkan model komunikasi politik yang mengintegrasikan platform digital dengan nilai-nilai musyawarah mufakat. Selain itu, kajian tentang strategi revitalisasi peran pemangku adat dalam era digital juga perlu dilakukan, dengan fokus pada metode pembelajaran yang adaptif terhadap karakteristik generasi milenial dan Gen-Z.

2. Kajian Implikasi Politisasi Pemangku Adat
Peneliti selanjutnya disarankan untuk mengkaji lebih dalam tentang implikasi politisasi pemangku adat terhadap sistem matrilineal dan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Mengingat sistem matrilineal merupakan pilar fundamental dalam masyarakat Minangkabau, penting untuk mengembangkan model tata kelola pemerintahan yang dapat mengakomodasi kearifan lokal dalam administrasi modern. Penelitian ini juga harus diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan adat dalam menghadapi dinamika politik kontemporer, termasuk pengembangan sistem kaderisasi pemangku adat yang memadukan nilai-nilai tradisional dengan kompetensi modern.

3. Dialog Terbuka dan Mediasi dalam Penyelesaian Konflik
Pemangku adat perlu mengimplementasikan dialog terbuka dan mediasi sebagai metode penyelesaian konflik dalam komunikasi politik di Minangkabau. Mereka harus berperan sebagai mediator yang mampu menjembatani perbedaan pandangan di antara kelompok masyarakat. Dengan menciptakan forum diskusi yang melibatkan semua pihak, pemangku adat dapat meredakan ketegangan dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Pelatihan dalam keterampilan mediasi dan resolusi konflik juga sangat penting untuk meningkatkan efektivitas pemangku adat dalam menangani permasalahan yang muncul di masyarakat.

    Tim Promotor :

    1. Prof. Dr. Engkus Kuswarno, MS
    2. Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos., SH., M.Si.
    3. Dr. Emeraldy Chatra, M.I.Kom

    Tim Penguj i:

    Prof.Dr. Atwar Bajari, M.Si.,Ketua Sidang
    Dr. Dadang Sugiana, M.Si., selaku Sekretaris Sidang Promosi Doktor
    Prof. Dr. Dian Wardiana Sjuchro, M.Si., selaku Representasi Guru Besar
    Opponent:
    1.Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si
    2.Prof.Dr.Suwandi Sumartias, M.Si
    3.Dr. Tine Silvana R, M.Si

    PROFIL
    M.A. Dalmenda, lahir pada 26 April 1972 di Kabupaten Solok, adalah seorang akademisi dan profesional di bidang komunikasi. Ia merupakan anak dari Baharuddin Dt. Sati Garang dan Agusti, serta menikah dengan Lili Iswari dan memiliki tiga anak: Nabil Anjabi, Alfaruqi Anjabi, dan Fayrel Kenzie Anjabi. Dalmenda memulai pendidikan dasarnya di SD Inpres Selayo pada tahun 1985, diikuti dengan pendidikan menengah di SMPN 1 Selayo (1988) dan SMA 1 Solok (1991). Ia melanjutkan pendidikan tinggi dengan meraih gelar D3 dari Akademi Ilmu Komunikasi Padang (1994) dan S1 di bidang Jurnalistik dari Fakultas Ilmu Komunikasi Usahid Jakarta (2001). Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan S3 dalam Kajian Komunikasi Politik di Universitas Padjadjaran.
    Dalam karier profesionalnya, Dalmenda telah menjabat di berbagai posisi penting, termasuk sebagai Kabag Humas Setdako Padang Panjang (2014-2015), Produser di Antara TV LKBN Antara Biro Sumbar (2016), dan Dosen Komunikasi di Fisipol Unand Padang (sejak 2015). Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Magister Ilmu Komunikasi Unand pada tahun 2017 dan diangkat kembali pada tahun 2023, serta sebagai Kepala Labor Film dan TV Fisip Unand. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Staff Ahli Rektor Unand di bidang Komunikasi dan Media (2020-2022).
    Dalmenda aktif dalam organisasi profesi dan sosial, menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar dan menjabat sebagai Penanggung Jawab Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) Daerah Sumbar sejak 2017. Pada tahun 2023, ia diangkat sebagai Kepala Biro Hak Sako dan Pusako di Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, menunjukkan komitmennya terhadap pelestarian budaya.
    Dalam dunia media, Dalmenda memiliki pengalaman luas sebagai reporter di TVRI Sumbar, Padang TV, presenter di Triarga TV, dan penulis untuk Harian Metro Andalas. Selain itu, ia juga aktif sebagai penyair dan seniman di Taman Budaya Sumatera Barat, sering menjuarai lomba penulisan antologi puisi tingkat nasional. Sekarang diamanahkan perkuat Dewan Redaksi portal berita www.fokussumbar.com sejak 16 Februari 2025.

    *) Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *