Oleh : Afdal Salputra*)
“Kita hidup di era di mana membaca bukan lagi soal memahami, tapi soal terlihat membaca. Buku hanya jadi latar estetika, bukan ruang berpikir. Banyak yang punya bacaan, tapi tak satu pun yang benar-benar dimengerti. Pada akhirnya, bukan lagi tentang seberapa pemahaman, tapi seberapa banyak judul yang bisa dipamerkan. Ironisnya, justru suara lantang lahir dari pemahaman paling dangkal dan perdebatan pun jadi panggung utama, bukan untuk mencari kebenaran, tapi pembenaran”.
Literasi. Kata yang terasa keren saat ditulis di CV, diucapkan dalam seminar, atau dicetak besar-besar dalam banner kampus. Tapi apakah kita benar-benar paham apa itu literasi? Atau jangan-jangan, selama ini kita hanya sedang menipu diri sendiri berpura-pura melek, padahal sebenarnya masih setengah sadar, atau bahkan belum sadar?
UNESCO menyatakan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya? Dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar suka membaca. Luar biasa, bukan? Di negeri yang katanya kaya akan budaya, kita miskin dalam satu hal paling mendasar: rasa ingin tahu.
Tentu, sebagian dari kita akan cepat membela diri, “Tapi kan saya kuliah, saya banyak baca jurnal.” Ya benar. Tapi mari jujur berapa dari kita yang benar-benar membaca karena ingin paham, bukan karena dikejar deadline dosen? Beberapa dari kita yang membaca tanpa membuka ChatGPT di tab sebelah?
Data dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 mengungkapkan skor literasi membaca Indonesia adalah 359 poin. Kalau kita bandingkan dengan rata rata global, 487 poin. Kita sangat jauh tertinggal, tapi anehnya, mahasiswa zaman sekarang justru makin lantang di media sosial berkoar tentang topik besar, membela isu-isu global, sambil menulis “ based on research ” padahal hanya baca satu thread di X.
Yang lebih mengkhawatirkan, kita sering kali menyamakan lulus kuliah dengan lulus berpikir. Padahal, dunia luar sana tidak peduli kamu S1 atau S2, jika kamu masih gagal membedakan informasi valid dengan opini viral.
Kita buka fakta selanjutnya: Kominfo mencatat 11.000 hoaks beredar di media sosial tahun 2024, dan mayoritas penyebarnya justru dari kalangan muda. Mahasiswa yang seharusnya jadi garis terdepan literasi digital, malah ikut menyebar informasi tanpa cek fakta. Miris? Tidak juga. Sudah biasa.
Dan jangan lupakan literasi finansial. OJK menyebut indeks literasi keuangan kita hanya 49,68%. Artinya separuh lebih orang Indonesia termasuk mahasiswa tidak tahu cara mengelola keuangan sendiri. Tapi tetap semangat ambil PayLater demi kopi mahal dan outfit “biar gak malu nongkrong”.
Aneh ya, kita hidup di era informasi tapi masih dikuasai kebodohan baru: overconfidence digital. Berani komentar soal geopolitik dunia, tapi masih bingung membedakan artikel ilmiah dan populer. Pandai menilai orang lain dari layar, tapi lupa bercermin pada isi kepala sendiri.
Padahal literasi bukan cuma baca buku, tapi juga kemampuan berpikir, mengolah, dan bertindak cerdas. Menurut Kemendikbudristek, ada 6 jenis literasi dasar: baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, dan budaya-kewargaan. Tapi, terkadang kita baru bisa satu saja: baca-tulis, itupun kalau tidak disingkat-singkat.
Lalu kita heran kenapa banyak lulusan bingung mau jadi apa. Padahal jawabannya jelas. Terlalu lama hidup di zona nyaman akademik tanpa pernah benar-benar berpikir. Sementara World Economic Forum tahun 2023 sudah bicara soal kebutuhan masa depan: critical thinking, problem solving, self-management .Sayangnya, yang lebih sering diasah justru copy-paste, repost, dan excuse management .
Literasi seharusnya jadi gaya hidup. Tapi yang kita jalani saat ini lebih mirip gaya-gayaan. Pamer buku tapi tak pernah dibaca. Ikut seminar tapi tidur saat materi. Bicara perubahan tapi lupa mulai dari diri sendiri.
“Di masa depan, orang yang tak punya literasi bukan cuma tidak relevan tapi akan dilindas perlahan oleh zaman yang tak menunggu. Lalu seperti biasa, mereka akan meratap di kolom komentar, bahkan mengambinghitamkan yang terdekat, kecuali dirinya.”
Jadi, mau sampai kapan kita merasa cukup hanya karena bisa baca?
Karena jika literasi hanya berhenti dimulut, maka tak heran jika isi kepala tetap kosong meski lemari penuh buku. []
Mahasiswa Hukum keluarga, Uda Literasi Duta Kampus UIN Imam Bonjol Padang*)