Padang 356 Tahun dan Utopia Kota Aksara

Oleh : MOHAMMAD ISA GAUTAMA*)

PADA bulan ini, tepatnya 7 Agustus, Kota Padang resmi berusia 356 tahun. Angka yang bukan sekadar catatan di almanak, melainkan juga penanda perjalanan panjang sebuah kota yang pernah menjadi simpul perdagangan, gerbang kebudayaan, dan pusat pendidikan di Sumatera Barat.

Selama lebih dari tiga setengah abad, Padang mengalami pasang surut zaman: dari geliat rempah-rempah di pelabuhan kolonial, gempa dahsyat yang mengguncang, hingga modernisasi yang menghadirkan mal, kafe, dan hotel-hotel berkilauan.

Di tengah gegap gempita perayaan ulang tahun kota, saya justru dihantui satu kerinduan yang semakin meraja: kerinduan akan Padang sebagai “Kota Aksara” yang sesungguhnya. Sebuah kota yang mengukur kemajuan bukan dari jumlah gedung bertingkat, panjang fly-over, atau angka kunjungan wisatawan semata, tetapi dari kedalaman warganya membaca, kemampuan mereka berpikir kritis, dan produktivitas menulis.

Masihkah Kota Cerdas?

Indeks Kota Cerdas (Smart City Index) di banyak negara modern tidak hanya menilai infrastruktur digital atau transportasi publik, tetapi juga tingkat literasi masyarakatnya. Literasi di sini tidak sekadar kemampuan mengeja huruf atau membaca paragraf, tetapi meliputi literasi informasi, literasi digital, literasi media, literasi sains, literasi finansial, hingga literasi budaya.

Kota yang cerdas adalah kota yang warganya tidak mudah terkecoh hoaks, kritis terhadap kebijakan publik, aktif berdialog soal masa depan, dan terlibat dalam penciptaan pengetahuan. Kota yang cerdas bukanlah kota yang warganya sekadar konsumen informasi, melainkan produsen gagasan.

Sayangnya, realitas Padang hari ini belum sampai di sana. Kita masih menyaksikan rendahnya minat baca di banyak kalangan, minimnya pustaka publik yang representatif, dan terbatasnya ruang diskusi warga yang sehat. Padahal, per 2023, kota ini pernah menyandang kota urutan ke-7 se-Indonesia dari segi Indeks Pembangunan Manusia.

Membaca: Fondasi Peradaban Kota

Padang seharusnya belajar dari kota-kota dunia yang sukses membangun reputasi sebagai city of literature. Edinburgh di Skotlandia, misalnya, berhasil mempertahankan identitas literasinya dengan menggelar festival buku internasional setiap tahun, membangun perpustakaan umum yang ramah warga, dan mengintegrasikan literasi ke dalam kebijakan kota.

Di Indonesia, Yogyakarta juga memberi teladan dengan keberadaan komunitas literasi yang merata hingga kampung-kampung, toko buku alternatif yang hidup, agenda sastra yang rutin, dan bazar buku murah yang nyaris ada saban tri-wulan.

Pertanyaannya: mengapa Padang yang memiliki sejarah pendidikan panjang, tradisi intelektual Minangkabau yang kaya, dan daftar panjang penulis nasional justru belum menjadi kota literasi yang mumpuni?

Bazar Buku, Ruang Baca, Pemerataan Pustaka

Mari bicara konkret. Sebuah kota aksara yang sehat tidak mungkin berdiri tanpa ekosistem buku yang hidup. Ekosistem ini mencakup, sebagai misal, bazar buku berkala. Buatlah bazar buku yang bukan sekadar acara tahunan atau festival dadakan.

Bazar buku harus menjadi denyut mingguan atau bulanan kota. Bayangkan setiap pekan ada lapak buku di pelataran Museum Adityawarman, halaman Masjid Raya, atau di GOR Agus Salim. Harga buku dibuat terjangkau, kalau perlu ada program “tukar buku” agar warga bisa menukar koleksinya.

Berikutnya, intensifikasi dan pemerataan jumlah pustaka di Setiap Pelosok. Pustaka bukan hanya milik sekolah. Kantor kelurahan, balai nagari, bahkan pos ronda seharusnya punya sudut baca. Di taman kota, kursi beton bisa ditemani rak buku kecil. Perpustakaan keliling perlu dihidupkan kembali, dengan jadwal tetap, sehingga anak-anak di pinggiran seperti di Lubuk Minturun, Balai Gadang, atau Kuranji, bisa mengakses buku tanpa harus ke pusat kota, tanpa harus membeli buku mahal di toko buku Gramedia.

Lebih jauh dari itu, pustaka fisik perlu dilengkapi dengan perpustakaan digital berbasis aplikasi. Warga bisa meminjam e-book gratis atau membaca majalah digital lokal. Ini akan menjangkau generasi muda yang sudah akrab dengan gawai. Untuk itu, perlu dipikirkan oleh Wali Kota Padang, melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan untuk meningkatkan infrastruktur perpustakaan menuju digitalisasi koleksi dan sistem peminjaman buku.

Komunitas Diskusi

Kota yang literasinya tinggi tidak hanya punya pembaca, tetapi juga punya komunitas diskusi, klub-klub baca. Memang, sudah ada beberapa kafe yang menggalakkan program-program literasi. Namun yang mendominasi masih seputar komunitas sastra.

Ke depan perlu ditumbuhkan komunitas lintas ilmu dan kajian. Semisal, komunitas kajian politik, kajian kebijakan publik, dan lain sebagainya. Padang juga membutuhkan ruang-ruang di mana warga bisa membicarakan isu-isu publik, dari pembangunan infrastruktur, perubahan iklim, sampai krisis pangan.

Sebenarnya, di masa lalu, warung kopi di Padang adalah tempat lahirnya ide. Dari sana, para perantau merancang strategi pergerakan, wartawan memburu isu, dan seniman mencipta karya. Sekarang, warung kopi banyak yang hanya jadi latar swafoto dan pertemuan bisnis singkat. Kita perlu menghidupkan kembali warung kopi sebagai kampus rakyat: ada sesi diskusi bulanan, pembacaan puisi, bedah buku, atau debat terbuka.

Pada gilirannya, tujuan akhir dari budaya literasi yang ditopang oleh berbagai program konkret di atas adalah agar dapat melahirkan penulis-penulis produktif. Penulis tidak hanya berarti sastrawan, tetapi juga jurnalis, peneliti, blogger, esais, hingga penulis konten yang berkualitas.

Kota Padang punya modal sejarah luar biasa: dari AA. Navis, Marah Rusli, Ali, Wisran Hadi, Mestika Zed, hingga generasi penulis muda hari ini. Target ini bisa semakin dikatalisasi dengan berbagai lomba dan sayembara menulis, dikelola oleh lembaga resmi dari pemerintah kita dan diselenggarakan secara serius dan profesional, hal mana yang akhir-akhir ini sudah amat langka.

Meninggalkan Seremonialitas

Sampai di sini, kita harus jujur. Peringatan HUT ke-356 Kota Padang akan hambar jika hanya diisi hal-hal seremonial dan terkesan mengejar pencitraan Pemerintah Kota semata. Itu semua sah-sah saja, namun harus segera dikurangi, karena terbukti tidak meninggalkan warisan intelektual.

Pemerintah Kota harus berani memprioritaskan anggaran literasi, meskipun tidak sepopuler pembangunan fisik. Literasi memang tidak bisa difoto seperti gedung baru, tetapi dampaknya jangka panjang: masyarakat yang cerdas akan mengawal kebijakan publik, mengurangi korupsi, meningkatkan inovasi, dan memperkuat ekonomi kreatif.

Ironisnya, anggaran untuk literasi di banyak daerah masih kalah jauh dari biaya seremonial. Di Padang, misalnya, banyak pustaka sekolah tidak mendapat jatah peremajaan koleksi baru selama bertahun-tahun. Perpustakaan daerah masih sepi promosi. Jika pola ini berlanjut, sulit membayangkan Padang bisa menjadi kota aksara. [*] 

Penyair, Kolumnis, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *