“Rimal Manukallo: Nanas di Atas Batu, Cinta di Atas Harapan”

Sang Kepala Desa Tabarano yang Menumbuhkan Hidup dari Batu

Essay : Nurul Jannah*)

Pagi Menjelang Siang di Kebun Pondata

Udara Wasuponda pagi itu terasa segar. Cahaya matahari belum sepenuhnya garang, tapi cukup hangat untuk memantulkan kilau dari hamparan daun nanas berwarna hijau keperakan.

Di tengah kebun itu, langkah seorang perempuan memecah sunyi. Langkahnya sederhana, tegap, tapi mengandung daya juang yang sulit dijelaskan.

Ia adalah Rimal Manukallo, Kepala Desa Tabarano, yang dipanggil sehari-hari sebagai Ibu Desa.

Rimal saat ini telah memasuki periode kedua kepemimpinannya. Perempuan yang oleh warganya dijuluki sebagai “cahaya dari tanah batu.”

Kami duduk di bawah pohon rindang di tepi kebun. Angin lembah membawa aroma nanas matang dan tanah basah. Cangkir teh masih berembun di atas meja bambu. Dan di antara tawa ringan para warga, terdengar suara Rimal mantap, penuh keyakinan.

“Dulu, tanah ini terbakar setiap tahun. Tak ada yang mau menanam di sini. Tapi saya percaya, bahkan di tanah yang keras, kehidupan bisa tumbuh kalau kita menyiramnya dengan keyakinan.”

Apa yang Diperjuangkan Rimal?

Ia tidak membangun proyek, ia menanam kehidupan.

Program Agroindustri Kebun Nanas Pondata, yang kini menjadi kebanggaan Wasuponda, bukan hanya pertanian biasa. Ia adalah gerakan hati, perjalanan panjang dari lahan silika yang hangus menjadi kebun hijau penuh harapan.

Dengan dukungan penuh dari PT Vale Indonesia, Rimal mengubah tanah kritis menjadi ladang emas hijau. Ia menggandeng masyarakat bukan sebagai buruh, tapi sebagai pemilik masa depan. Kini lebih dari seratus warga aktif terlibat, dengan lima puluh petani utama yang menumbuhkan penghidupan dan kebanggaan dari tanah mereka sendiri.

“Kami tidak hanya menanam nanas,” katanya sambil mengangkat buah besar bermahkota tajam. “Kami sedang menanam harga diri.”

Di sekelilingnya, deretan nanas berdiri gagah, daun-daunnya menjulang seperti doa yang menghadap langit. Dari kebun itu lahir aneka olahan seperti selai, dodol, sirup, roti gulung, hingga nastar nanas. Semuanya karya tangan warga desa.

Kini Rimal menatap langkah baru: mengolah daun nanas menjadi serat tenun dan bubur kertas daur ulang.

“Kalau daun berduri saja bisa jadi kain lembut,” ujarnya sambil tersenyum, “kenapa manusia tak bisa berubah dari keras menjadi hangat?”

Mengapa Ia Begitu Penuh Semangat?

Karena Rimal percaya, desa bukan tempat menunggu keajaiban, tapi tempat menciptakan keajaibannya.

“Desa ini akan tumbuh kalau warganya percaya,” ujarnya. “Itu sebabnya kami menanam. Bukan hanya nanas, tapi juga keyakinan.”

Ia memimpin bukan dari podium, tapi dari ladang. Ia tidak berbicara soal proyek, tapi tentang keberlanjutan. Ketika orang lain melihat tanah berbatu, ia melihat tanah yang menunggu disentuh doa.

Dengan dukungan PT Vale, serta sinergi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, ia mencetuskan konsep “Pondata: Tumbuh Bersama.”

Kini, bukan hanya nanas yang tumbuh di Tabarano, tapi juga semangat baru. Peternakan sapi, pengolahan kompos, rumah maggot, dan rumah produk kemudian menjadi bagian dari ekosistem kemandirian desa tersebut.

“Kami mulai dengan modal nekat,” ujarnya sambil tertawa kecil, “tapi nekat yang disertai niat baik… selalu punya jalan.”

Siapa yang Tumbuh Bersamanya?

Hari itu, di sela wawancara, datang Pak Kadus Johanes Gusti, wajahnya kecokelatan terbakar matahari. Di tangannya sebilah parang, saksi bisu perjuangannya selama ini di kebun nanas.

“Kalau Ibu Desa datang ke lapangan, kami semua langsung semangat,” katanya sambil tertawa.

“Ibu Desa nggak bisa diam di kantor. Kadang kami sudah kelelahan, tapi Ibu Desa masih saja keliling kebun.”

Pak Johanes lalu mengangkat satu nanas besar seberat tujuh kilogram.

“Ini hasil kerja tangan kami semua. Tapi kalau nggak ada Ibu Desa, mungkin kebun ini masih kosong.”

Tak jauh dari situ, Ibu Sainab Husain dan Ibu Subaedah dari PT Vale ikut tersenyum bahagia sambil menata hasil panen nanas di anyaman bambu.

“Ibu Rimal bukan hanya kepala desa,” kata Ibu Sainab lembut, “tapi ibu bagi kami semua.”

Tawa, percakapan ringan, aroma tanah, dan manisnya nanas berpadu menjadi lagu kehidupan, sebuah simfoni sederhana dari desa yang bangkit dari luka.

Kapan Mimpi Itu Mulai Tumbuh?

Segalanya dimulai tahun 2022. Tanah di sana sangat gersang, dan hampir setiap tahun terjadi kebakaran, yang menghancurkan harapan.

Namun darisana ia justru bertekad kuat, “Kalau orang lain melihat batu, saya melihat ladang yang belum disiram doa.”

Ia mulai dengan 12 pengelola. PT Vale kemudian datang sebagai katalis program yang sedang berjalan; dengan memberikan pendampingan, pelatihan budidaya, pengelolaan limbah, dan pasca panen.

Dan kini, Tabarano bukan hanya desa semata, tapi sudah menjadi pusat belajar tentang ketahanan, keberanian, dan cinta terhadap bumi.

Di Mana Cinta Itu Ditanam?

Di Desa Tabarano, Kecamatan Wasuponda, tanah yang dulu hangus kini berubah menjadi permadani hijau. Wasu berarti batu, Ponda berarti nanas.

Dari filosofi itu lahirlah kehidupan baru. “Wasuponda adalah Nanas di Atas Batu, Hidup di Atas Keteguhan.”

“Saya ingin Tabarano jadi tempat belajar, bukan lagi sebagai tempat yang dikasihani,” katanya mantap. “Biar orang yang datang bisa bilang bahwa dari batu pun bisa tumbuh kehidupan.”

Di utara, sumber air siap dikembangkan untuk perikanan. Di selatan, kawasan wisata agro sudah dirancang. Dan di tengahnya berdiri perempuan tangguh yang menolak menyerah pada kata ‘tidak bisa’.

Bagaimana Ia Melakukannya?

Dengan cinta. Dengan keberanian. Dengan ketulusan yang menembus keterbatasan.

Ia menggandeng semua pihak. Pemerintah, swasta, masyarakat, berada dalam satu simpul kebersamaan. Ia membuktikan bahwa good governance sejati lahir dari nurani yang bekerja, bukan hanya dari sistem yang berjalan.

“Saya tidak ingin warga hanya jadi penerima bantuan,” katanya tegas. “Saya ingin mereka jadi pencipta perubahan.”

Dari daun nanas yang keras menjadi serat tenun lembut, dari limbah organik menjadi kompos yang menyuburkan. Rimal terus menanamkan semangat inovasi yang tak pernah berhenti.

Kini, produk-produk Tabarano mulai menembus pasar luar Luwu Timur, menjadi simbol kecil dari desa yang berani bermimpi besar.

Emas Itu Tumbuh di Hati

Menjelang siang, kami menutup wawancara dengan bahagia. Cahaya matahari menimpa daun nanas, menciptakan pantulan seperti emas yang menari di atas bumi.

Demikianlah adanya, PT Vale memperoleh PROPER Emas, tapi Desa Tabarano punya emasnya sendiri: emas yang tumbuh di hati manusia.

Rimal berdiri di tengah kebun, memandang hamparan kebun nanas yang telah mengangkat harkat dan martabat desa yang dipimpinnya.

“Saya tidak ingin dikenang karena jabatan,” katanya pelan, “Saya ingin dikenang karena pernah menanam harapan di tanah yang dulu dianggap mati.”

Dan seolah semesta mendengar, angin berhenti sejenak, suara kicauan burung dan rasa syukur warga berpadu jadi doa.

Di tanah Wasuponda yang dulu sunyi, lahirlah seorang perempuan yang menyalakan kehidupan, pemimpin yang mengajarkan manusia untuk mencintai bumi itu sendiri. Dari batu, ia menanam hidup. Dari desa, ia menulis masa depan. 🌹❤‍🔥🎀

Bogor, 3 November 2025

Nurul Jannah adalah seorang dosen lingkungan di IPB University, lulusan doktor lingkungan dari Hiroshima University, penulis produktif, dan penggerak literasi*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *